Yogyakarta, zekriansyah.com – Sering dengar ungkapan “Bantul itu ndeso”? Mungkin sudah saatnya kita ubah persepsi itu. Diam-diam, salah satu kecamatan di Bantul, yaitu Banguntapan, kini menjelma menjadi kekuatan ekonomi yang tak bisa dianggap remeh. Bahkan, banyak yang bilang Banguntapan ini punya “rasa kota” yang kuat, menyaingi Kota Jogja sendiri.
Ilustrasi: Persaingan sengit memperebutkan supremasi ekonomi baru Yogyakarta antara Banguntapan Bantul yang bangkit dan Kota Jogja yang mapan.
Artikel ini akan membahas tuntas bagaimana Banguntapan, yang dulunya sering dipandang sebelah mata, kini unjuk gigi dalam berbagai sektor ekonomi dan pembangunan. Yuk, kita lihat adu kekuatan ekonomi antara Kota Jogja yang ikonik dan Banguntapan Bantul yang sedang naik daun ini. Dengan membaca ini, Anda akan lebih paham potensi tersembunyi di sekitar Jogja dan mengapa Banguntapan layak jadi perhatian.
Adu Kekuatan Geografis dan “Rasa Kota” yang Menipu
Mungkin banyak dari kita yang tidak sadar saat berpindah dari Kota Jogja ke Banguntapan Bantul. Batas paling jelas ada di Jalan Gedong Kuning. Sisi barat adalah Kota Jogja, sedangkan sisi timur adalah Banguntapan. Coba deh, berdiri di tengah jalan itu. Sulit sekali melihat perbedaannya, kan?
Sebagian wilayah Banguntapan memang masuk dalam area ringroad Jogja. Ini yang membuat warga Banguntapan (khususnya yang tinggal di dalam ringroad) sering merasa hidup di Kota Jogja. Mereka ikut merasakan pembangunan pesat, kemegahan, dan bahkan masalah yang sama dengan kota sebelahnya. Jadi, jangan heran kalau ada warga Banguntapan bilang, “Aku tinggal di kota, kok!” Ini ibarat bonus geografis yang bikin Banguntapan punya “rasa Jogja” yang kental.
Sektor Pendidikan: Banguntapan Unggul Jauh!
Kalau Anda berpikir kampus-kampus besar seperti UGM atau UNY ada di Kota Jogja, mari kita luruskan. Kedua kampus kebanggaan DIY itu sebenarnya ada di Sleman! Kota Jogja sendiri memang punya sejarah pendidikan yang kuat lewat Taman Siswa dan UST, tapi jumlah kampus utamanya tidak sebanyak yang dibayangkan, kebanyakan adalah kampus kecil atau cabang.
Nah, Banguntapan Bantul justru punya “berlian” di sektor pendidikan:
- STIPRAM: Sekolah tinggi pariwisata yang jadi motor penggerak industri turisme.
- ITDA (Institut Teknologi Dirgantara Adisutjipto): Institut kedirgantaraan yang sangat bergengsi.
- Kampus 4 UAD (Universitas Ahmad Dahlan): Meskipun Kampus 1 UAD ada di Kota Jogja, Kampus 4 di Banguntapan ini jauh lebih besar, megah, dan prestisius.
Kehadiran kampus-kampus ini membuat Banguntapan Bantul menampung ribuan mahasiswa. Mahasiswa ini bukan hanya sekadar angka, lho. Mereka adalah penggerak ekonomi yang diam-diam lebih menguntungkan daripada pariwisata semata, karena mereka butuh tempat tinggal, makan, belanja, dan berbagai kebutuhan lainnya. Dalam urusan pendidikan, Banguntapan jelas lebih superior.
Pariwisata, Industri, dan MICE: Duel Berimbang
Kota Jogja memang identik dengan pariwisata. Hotel-hotel megah bertebaran, seolah menjadi napas utama kota ini. Namun, Banguntapan Bantul punya “kartu AS” yang tak kalah kuat, bahkan mampu mendorong sektor industri lain, termasuk industri kreatif.
“Berlian” itu tak lain adalah Jogja Expo Center (JEC). JEC bukan sekadar gedung pameran biasa. Ini adalah pusat segala perhelatan, dari pameran berskala nasional, acara-acara cosplay dan anime (event wibu), sampai venue pernikahan dan wisuda kolosal. Kehadiran JEC ini sangat vital. Kota Jogja bahkan tidak akan mampu menyelenggarakan perhelatan besar tanpa “kulonuwun” ke Banguntapan.
Selain JEC, Banguntapan Bantul juga diberkahi dengan Jalan Majapahit dan Jalan Ahmad Yani, ruas jalan dari ringroad timur. Kedua jalan ini tidak hanya berfungsi sebagai penghubung, tapi juga menghidupkan sektor industri yang beragam:
- Gudang-gudang logistik
- Pabrik pengolahan semen ready mix
- Perkantoran dan pusat bisnis
Sektor industri semacam ini sulit berkembang di Kota Jogja yang sudah kelewat padat. Sementara Kota Jogja kuat di pariwisata, Banguntapan punya JEC dan industri yang lebih beragam. Jadi, kalau bicara soal sektor ini, pertarungan antara keduanya bisa dibilang berimbang.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno bahkan menyebut Bantul sebagai pusat ekonomi kreatif, terutama untuk produk kerajinan ekspor. “Saya melihat resellers di Amerika dan Eropa menganggap Indonesia memiliki produk yang jauh lebih unggul daripada China,” ungkapnya, mengacu pada kualitas produk buatan tangan dari Bantul.
Sejarah dan Akar Budaya: Poin Telak untuk Banguntapan
Ketika berbicara sejarah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, sudah pasti Keraton Jogja ada di jantung Kota Jogja. Mungkin Anda berpikir Kota Jogja sudah menang telak secara sejarah. Tapi tunggu dulu! Mari kita mundur sedikit ke sejarah kerajaan cikal bakal Kasultanan dan Kasunanan, yaitu Kerajaan Mataram Islam.
Tepatnya di Kraton Kotagede. Secara administrasi, sebagian besar Kotagede memang masuk Kota Jogja. Namun, perhatikan peta baik-baik. Ada satu “irisan” kecil yang menonjol di barat Pasar Kotagede, dan itu adalah milik Banguntapan Bantul. Di dalam wilayah ini, terdapat Masjid Agung Mataram yang punya nilai sejarah sangat kuat sebagai kerajaan bernapas Islam.
Tidak hanya masjid, makam sang pendiri Mataram, Panembahan Senopati, juga ada di belakang masjid tersebut, tepatnya di Kompleks Makam Raja-Raja Mataram. Jadi, di mana lokasi masjid dan makam bersejarah ini? Ya, di Banguntapan! Kota Jogja boleh punya Kasultanan, Solo punya Kasunanan, tapi makam pendiri Mataram ada di Banguntapan. Ini adalah poin telak yang mengejutkan untuk Banguntapan Bantul.
Tantangan dan Masalah yang Mirip
Seiring dengan kemajuan dan potensi yang luar biasa, Banguntapan Bantul juga merasakan masalah yang sama dengan Kota Jogja, karena letaknya yang bersinggungan langsung. Inilah yang membuat Banguntapan jadi “Bantul rasa Jogja” tak hanya dari sisi potensi, tapi juga masalahnya.
Beberapa masalah umum yang dihadapi Banguntapan antara lain:
- Kemacetan: Peningkatan aktivitas ekonomi dan jumlah penduduk tentu berujung pada kepadatan lalu lintas.
- Gentrifikasi: Perubahan sosial dan ekonomi akibat masuknya investasi dan penduduk baru yang berdampak pada masyarakat lokal.
- Pembangunan yang Ugal-ugalan: Pertumbuhan yang pesat terkadang tidak diiringi perencanaan yang matang, menimbulkan masalah tata kota.
Meskipun dulu dipandang “ndeso”, kini Banguntapan juga merasakan dampak negatif dari kemajuan kota, termasuk gesekan sosial akibat urbanisasi.
Kesimpulan: Banguntapan, Kekuatan Baru Ekonomi DIY
Dari berbagai perbandingan di atas, terlihat jelas bahwa Banguntapan Bantul bukan lagi kecamatan yang bisa diremehkan. Dalam beberapa sektor penting seperti pendidikan dan sejarah, Banguntapan bahkan mampu mengungguli Kota Jogja. Sementara di sektor pariwisata dan industri, keduanya memiliki kekuatan unik yang saling melengkapi.
Banguntapan Bantul telah menjelma menjadi kekuatan ekonomi baru bagi DIY, dengan potensi dan masalah yang setara dengan kota besar. Jadi, bagi Anda yang berasal dari Banguntapan, jangan lagi ragu menyebut diri “Aku cah Banguntapan”! Anda tinggal di daerah yang terus berkembang, megah, dan penuh potensi. Siapa tahu, beberapa tahun lagi Banguntapan Bantul akan semakin besar, semakin maju, dan semakin membanggakan bagi kita semua.