Bandara YIA Kulon Progo: Megah tapi Benarkah Solusi Tepat untuk Jogja?

Dipublikasikan 28 Juni 2025 oleh admin
Sosial Politik

Yogyakarta, zekriansyah.com – Bandara Internasional Yogyakarta (YIA) di Kulon Progo berdiri megah, digadang-gadang sebagai wajah baru transportasi udara di Jogja. Dibangun untuk menggantikan Bandara Adisutjipto yang sudah sesak, YIA diharapkan jadi solusi jitu. Namun, di balik kemegahannya, muncul pertanyaan: benarkah YIA sudah menjadi solusi yang sepenuhnya tepat bagi Jogja dan masyarakatnya?

Bandara YIA Kulon Progo: Megah tapi Benarkah Solusi Tepat untuk Jogja?

Ilustrasi: Kemegahan Bandara YIA Kulon Progo memunculkan pertanyaan tentang efektivitasnya sebagai solusi transportasi bagi Yogyakarta.

Banyak pihak merasa keberadaan YIA justru membawa tantangan baru yang tidak kalah kompleks. Artikel ini akan mengupas tuntas berbagai sisi Bandara YIA, dari alasan pembangunannya hingga tantangan yang masih harus dihadapi, agar Anda bisa melihat gambaran utuh.

Mengapa Bandara Adisutjipto Harus “Pensiun” dari Penerbangan Komersil?

Sebelum YIA lahir, Bandara Adisutjipto sudah seperti “Malioboro di akhir pekan” alias padat luar biasa. Kepadatan ini jadi alasan utama mengapa pemerintah memutuskan membangun bandara baru.

  • Lalu Lintas Pesawat “Macet”: Adisutjipto bukan hanya melayani penerbangan sipil, tapi juga aktif digunakan oleh TNI AU, termasuk sekolah penerbang militer. Bayangkan, pesawat komersil harus antre lama untuk mendarat atau lepas landas karena menunggu giliran pesawat militer yang sedang latihan.
  • Landasan Pacu Terbatas: Panjang landasan Adisutjipto tidak bisa lagi ditambah. Mau diperpanjang ke timur terhalang perbukitan dan Candi Ijo, ke barat terlalu dekat dengan perkotaan padat penduduk. Ini membuat pesawat sering kali harus bermanuver cepat setelah lepas landas.
  • Terlalu Dekat Pemukiman: Banyak warga di sekitar Adisutjipto, seperti di “Blok O” dekat Jalan Layang Janti, setiap hari harus mendengar deru pesawat yang melintas sangat dekat. Ini tentu menimbulkan masalah kebisingan dan potensi risiko keselamatan.

Dengan kondisi seperti itu, pembangunan YIA dengan landasan pacu yang luas dan modern (3.250 x 45 meter) dianggap sebagai keniscayaan untuk mengatasi overload penumpang yang mencapai 8,4 juta per tahun, jauh di atas kapasitas Adisutjipto yang hanya 1,7 juta.

Jauhnya Lokasi YIA Jadi Tantangan Tersendiri

Meskipun megah dan modern, lokasi YIA di Kulon Progo yang cukup jauh dari pusat Kota Jogja menjadi sorotan utama. Jarak sekitar 42 kilometer ini membuat perjalanan dari pusat kota bisa memakan waktu hingga 1,5 jam dalam kondisi normal, bahkan lebih lama jika macet.

Para sopir rental, misalnya, merasakan betul beratnya tantangan ini. Mereka harus menghadapi berbagai jenis pengguna jalan di jalur Jogja-YIA yang mayoritas diisi:

  • Bapak-bapak naik motor matik buluk tanpa helm yang jalannya pelan dan kadang serobot.
  • Orang mau mancing atau mbak-mbak pulang kerja yang takut berkendara di sisi kanan.
  • Rombongan truk tronton yang berjalan lambat tapi berdekatan.
  • Bus antar-kota yang “kejar setoran” dan mobil boks paket yang mengejar waktu.
  • Banyaknya persimpangan tanpa lampu lalu lintas yang rawan diserobot pengendara “ngawur”.

“Tidak sedikit jantung saya dibuat berdegup kencang ketika sedang melaju ada saja motor atau mobil yang nyelonong keluar dari persimpangan mengarah ke Jalan Raya Wates.” – Ungkap seorang sopir rental berpengalaman.

Kondisi jalan yang ramai dan karakter pengendara yang beragam ini membuat perjalanan terasa menguras energi, apalagi jika harus berangkat mepet waktu. Menteri Perhubungan sendiri mengakui bahwa sinergi antarmoda transportasi di YIA (kereta api dan bus DAMRI) belum maksimal, sehingga perlu ada kepastian headway atau jadwal keberangkatan yang jelas agar penumpang bisa memperkirakan waktu tempuh.

Sisi Gelap Pembangunan YIA: Warga Terdampak dan Isu Lingkungan

Pembangunan YIA tidak lepas dari kisah pilu warga yang terdampak. Banyak lahan dan rumah warga yang digusur untuk proyek ini. Bahkan, hingga kini masih ada kelompok warga yang tergabung dalam Paguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulonprogo (PWPP-KP) yang tetap menolak keberadaan bandara dan merasa hak-hak mereka terampas.

  • Perjuangan Warga: Sejak awal, PWPP-KP menolak menjual tanah pertanian dan rumah mereka, menganggapnya sebagai warisan budaya dan jaminan masa depan. Mereka mengklaim proses konsinyasi (penitipan ganti rugi di pengadilan) dilakukan tanpa kesepakatan.
  • Kekerasan dan Intimidasi: Warga juga melaporkan adanya berbagai bentuk kekerasan dan intimidasi selama proses pembangunan, namun pengaduan hukum mereka mandek di kepolisian.
  • Isu Lokasi Rawan Bencana: Para ahli bahkan menemukan bahwa lokasi YIA berada di wilayah rawan bencana gempa dan tsunami, yang bertolak belakang dengan klaim awal pembangunan.
  • Krisis Sosial-Ekologis: Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Yogyakarta juga menyoroti YIA sebagai salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) yang berkontribusi pada “perampasan ruang hidup” dan krisis sosial-ekologis, seperti yang terjadi di Desa Wadas akibat Bendungan Bener yang merupakan bagian dari proyek KSPN Borobudur Highland, salah satu kawasan penunjang YIA.

Infrastruktur Penunjang dan Kesiapan Lokal yang Belum Optimal

Meski YIA adalah bandara modern yang siap melayani penerbangan internasional, sarana dan prasarana penunjang di sekitarnya masih perlu banyak pembenahan.

  • Minimnya Akomodasi: Mayoritas hotel berbintang masih terpusat di Kota Jogja. Wisatawan yang tiba di YIA harus menempuh perjalanan jauh untuk mencapai akomodasi yang diinginkan, terutama di area populer seperti Malioboro.
  • Fasilitas Penunjang Terbatas: Di area sekitar bandara, modernitas belum sepenuhnya tumbuh. Hotel, restoran, fasilitas umum, rumah sakit, agen perjalanan, dan perusahaan transportasi belum banyak tersedia.
  • Kesiapan SDM Lokal: Meskipun YIA membuka banyak lapangan kerja, masyarakat lokal di sekitar bandara masih banyak yang belum memiliki skill memadai sebagai pelaku wisata yang siap menyambut wisatawan, sehingga dibutuhkan pelatihan dan pembinaan lebih lanjut.
  • Insiden di Bandara: Pernah viral kasus puluhan calon jemaah umrah dari Rembang dan Magelang yang terlantar di YIA karena penipuan biro perjalanan. Meski ini masalah biro perjalanan, insiden tersebut terjadi di YIA, menyoroti bahwa sebagai gerbang internasional, YIA juga dihadapkan pada berbagai dinamika dan tantangan yang perlu diantisipasi.

Jadi, Bandara YIA Solusi atau Masalah Baru?

Bandara YIA memang sebuah pencapaian infrastruktur yang luar biasa bagi Yogyakarta. Ia berhasil mengatasi masalah kepadatan Bandara Adisutjipto dan membuka pintu bagi penerbangan internasional dengan kapasitas yang jauh lebih besar.

Namun, seperti koin bermata dua, keberadaannya juga memunculkan berbagai tantangan baru: mulai dari aksesibilitas yang menguras tenaga dan waktu, dampak sosial yang dirasakan warga terdampak, hingga infrastruktur penunjang dan kesiapan sumber daya manusia lokal yang masih perlu digenjot.

Agar Bandara YIA benar-benar menjadi solusi menyeluruh bagi Jogja, bukan hanya memindahkan masalah, diperlukan sinergi yang lebih kuat antara pemerintah, pengelola bandara, penyedia transportasi, dan seluruh elemen masyarakat. Dengan begitu, YIA bisa menjadi gerbang pariwisata dan ekonomi yang tidak hanya megah, tapi juga humanis dan berkelanjutan.