Yogyakarta, zekriansyah.com – Suasana rapat kerja di Komisi XII DPR RI mendadak memanas pada Rabu (2/7/2025). Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia meluapkan kekesalannya di hadapan jajaran kementerian dan Direktur Utama PT PLN (Persero), Darmawan Prasodjo. Kenapa Bahlil murka? Ini semua gara-gara perbedaan data soal target desa yang belum teraliri listrik dan program swasembada energi.
Ilustrasi: Kemarahan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia membahana di DPR akibat perbedaan data listrik desa yang krusial, menyemprot Dirjen dan Dirut PLN.
Artikel ini akan mengupas tuntas insiden tersebut, mulai dari penyebab kemarahan Bahlil, perbedaan data yang menjadi pangkal masalah, hingga visi besar pemerintah terkait energi desa. Dengan memahami ini, Anda akan tahu betapa krusialnya data yang akurat dalam setiap program pembangunan nasional.
Bahlil Murka di Rapat DPR: Data Listrik Desa Bikin Geram
Momen ketegangan ini terjadi saat Bahlil memaparkan target-target terkait program swasembada energi di desa-desa. Ia tengah menjelaskan visi besar Presiden Prabowo Subianto mengenai pemerataan akses energi, khususnya listrik, hingga ke pelosok negeri.
Namun, di tengah paparannya, Bahlil tiba-tiba terhenti. Ia menemukan ketidaksesuaian data yang ia pegang dengan laporan terbaru dari PLN.
“Tapi saya dapat laporan katanya PLN 10 ribu desa ya? Oh 10 ribu? Ini tambang? 10 ribu?” tanya Bahlil kepada jajaran Ditjen Ketenagalistrikan ESDM dan Dirut PLN Darmawan Prasodjo dengan nada kesal.
Kemarahan Bahlil semakin memuncak karena merasa tidak mendapatkan data yang mutakhir dan akurat dari bawahannya. Ia lantas melontarkan teguran keras.
“Ini nggak tahu dirjen saya yang nggak benar atau dirut PLN-nya yang nggak benar? Kalian habis ini ketemu sama saya ya, kurang ajar kalian ini,” tegas Bahlil. Ia bahkan melanjutkan, “Masih mau jadi dirjen kau? Ini direksi PLN kelihatannya baru juga, jadi materinya baru, padahal Dirutnya cuma 1, nggak berubah-ubah.”
Perbedaan Data: 5.600 Desa vs 10.000 Desa
Pangkal masalah kemarahan Bahlil adalah perbedaan angka target desa yang akan menjadi objek program swasembada energi atau yang akan dialiri listrik. Kementerian ESDM, berdasarkan perhitungan Bahlil, menargetkan sekitar 5.600 desa. Namun, laporan dari PLN menyebutkan angka yang jauh berbeda, yaitu sekitar 10.000 desa.
Perbedaan data yang signifikan ini tentu saja menghambat perencanaan dan pelaksanaan program. Data yang tidak sinkron bisa menyebabkan alokasi anggaran tidak tepat sasaran, program berjalan tidak efektif, bahkan menimbulkan kerugian negara.
Komitmen Swasembada Energi dan Arahan Presiden Prabowo
Dalam rapat tersebut, Bahlil juga mengungkapkan komitmennya yang kuat terhadap program swasembada energi di desa-desa. Ia bahkan bercerita kepada Presiden Prabowo bahwa mungkin hanya dirinya di Kabinet Merah Putih yang pernah merasakan hidup tanpa listrik, belajar menggunakan “lampu pelita” dari kaleng susu bekas dan minyak tanah.
“Itu kita pakai itu loh kaleng susu, pakai sumbu, pakai minyak tanah. Kalau belajar, bangun pagi, di sini hitam. Syukur kalau ke sekolah kita mandi. Kalau nggak mandi, pasti kelihatan hitamnya,” kenang Bahlil, menunjukkan betapa ia memahami penderitaan masyarakat di daerah terpencil.
Visi besar Presiden Prabowo adalah menghadirkan swasembada energi yang merata, sehingga energi harus juga diletakkan di desa-desa. Untuk mewujudkan ini, akurasi data menjadi pondasi utama agar program bisa berjalan sesuai rencana.
Solusi Jangka Panjang: PLTS untuk Desa Terpencil
Terlepas dari insiden perbedaan data, Bahlil juga memaparkan arahan penting dari Presiden Prabowo terkait solusi listrik di desa-desa yang belum terjangkau jaringan PLN. Presiden meminta agar desa-desa tersebut memanfaatkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).
Konsepnya adalah membangun PLTS di lokasi terpencil, sehingga tidak perlu lagi menarik jaringan listrik yang panjang dan mahal dari ibu kota kabupaten atau kecamatan.
“Dan desa-desa yang belum ada jaringannya, itu tidak perlu menarik jaringan dari ibu kota kabupaten atau kecamatan. Tapi, kalau dia mempergunakan PLTS, jaringan lokal saja yang kita pakai,” jelas Bahlil.
Skema pembiayaan program PLTS ini nantinya akan dibahas bersama Kementerian Keuangan dan dananya akan dialokasikan melalui Kementerian ESDM, bukan semata-mata menjadi anggaran PLN. Ini menunjukkan bahwa program ini adalah bagian dari anggaran negara dan harus mengikuti rencana pemerintah yang telah diputuskan.
Kesimpulan
Insiden kemarahan Menteri Bahlil Lahadalia di DPR menjadi pengingat pentingnya akurasi data dalam setiap program pemerintah. Perbedaan data antara Kementerian ESDM dan PLN menunjukkan adanya kurangnya koordinasi yang bisa menghambat visi besar swasembada energi nasional.
Pemerintah, melalui Kementerian ESDM, berkomitmen penuh untuk menghadirkan listrik hingga ke pelosok desa, salah satunya dengan memanfaatkan teknologi PLTS. Semoga dengan adanya teguran keras ini, koordinasi data antar lembaga bisa lebih baik, sehingga program pemerataan energi dapat berjalan lancar dan membawa manfaat nyata bagi seluruh masyarakat Indonesia.