Babak Baru Isu Ijazah Jokowi: Menelisik Testimoni Orang Dekat dan Mengapa Ini Terus Bergulir?

Dipublikasikan 26 Juni 2025 oleh admin
Sosial Politik

Di tengah dinamika politik dan sosial Indonesia yang tak pernah sepi, isu mengenai keaslian ijazah Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali mencuat ke permukaan. Bukan sekadar desas-desus biasa, kali ini perdebatan memasuki babak baru isu ijazah Jokowi testimoni orang dekat dan pihak terkait yang memberikan perspektif mengejutkan. Polemik ini tidak hanya menghidupkan kembali pertanyaan lama tentang riwayat pendidikan seorang pemimpin negara, tetapi juga menguji batas kepercayaan publik terhadap institusi dan prosedur verifikasi. Mengapa isu ini seolah tak kunjung mereda, dan apa implikasinya bagi kita semua sebagai warga negara? Artikel ini akan mengupas tuntas berbagai dimensi dari isu yang kompleks ini, menganalisis klaim, respons, serta dampaknya pada lanskap kepercayaan publik di Indonesia.

Babak Baru Isu Ijazah Jokowi: Menelisik Testimoni Orang Dekat dan Mengapa Ini Terus Bergulir?

Kemunculan Kembali Isu: Testimoni yang Mengguncang

Api perdebatan tentang ijazah Jokowi kembali tersulut setelah sebuah video yang diunggah oleh aktivis dan advokat senior asal Surakarta, Muhammad Taufiq, menjadi viral di media sosial. Dalam video tersebut, Taufiq membeberkan hasil percakapannya dengan Eko Sulistyo, seorang figur yang ia sebut sebagai orang dekat Jokowi dan mantan Ketua Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Surakarta. Testimoni Eko Sulistyo inilah yang menjadi pemicu utama babak baru isu ijazah Jokowi testimoni orang ini.

Pengakuan Mantan Ketua KPUD Surakarta: Fokus pada Administrasi, Bukan Keaslian?

Poin paling krusial dari kesaksian Eko Sulistyo, seperti yang dituturkan Muhammad Taufiq, adalah mengenai proses verifikasi ijazah saat Jokowi mendaftar sebagai calon Wali Kota Surakarta. Eko Sulistyo, yang juga dikenal sebagai mantan Komisaris PLN dan mantan Deputi V Kantor Staf Kepresidenan, adalah sosok yang memiliki kredibilitas dalam lingkaran terdekat Jokowi dan di institusi KPU.

Menurut Taufiq, Eko Sulistyo menyatakan bahwa tugas KPUD Surakarta pada masa itu bukan untuk memverifikasi keaslian ijazah. Sebaliknya, fokus mereka hanyalah memastikan terpenuhinya syarat administrasi yang mensyaratkan pelampiran ijazah yang telah dilegalisir. “Dia mengatakan, ‘Ya ada Doktorandus, ada Insinyur, tapi memang tugas saya tidak memverifikasi. Tugas saya itu hanya memeriksa apakah persyaratan itu, syarat administrasi, terpenuhi’,” ungkap Taufiq menirukan ucapan Eko Sulistyo. Penjelasan ini menimbulkan pertanyaan besar: Jika KPU hanya memeriksa kelengkapan administrasi dan legalisir, lalu siapa yang berwenang mengecek keaslian dokumen pendidikan calon pejabat publik?

Penguat Klaim dari Pihak Lain dan Latar Belakang Gugatan

Muhammad Taufiq tidak berhenti pada kesaksian Eko Sulistyo. Ia juga mengklaim telah menghubungi Divisi Hukum Komisi Pemilihan Umum Kota Surakarta yang menurutnya mengonfirmasi ketiadaan proses verifikasi keaslian. Selain itu, percakapannya dengan F.X. Hadi Rudyatmo, Ketua DPC PDI Perjuangan Surakarta saat itu, juga menyinggung bahwa pengurusan berkas pencalonan dilakukan oleh tim internal Jokowi, bukan oleh partai pengusung. Keterangan ini seolah memperkuat narasi bahwa detail verifikasi keaslian ijazah tidak menjadi sorotan utama di tingkat partai maupun KPU daerah pada saat itu.

Latar belakang gugatan yang diajukan Muhammad Taufiq sendiri didasari oleh penolakan berbagai institusi untuk membuka data terkait ijazah Jokowi. Taufiq mengklaim telah mengirimkan surat resmi kepada KPU, SMAN 6, dan UGM untuk meminta klarifikasi dan data, namun jawabannya sama: mereka tidak berhak membuka data tersebut. Penolakan ini mendorongnya untuk menempuh jalur hukum, dengan keyakinan bahwa data seorang pejabat publik seharusnya dapat diakses secara terbuka.

Berbagai Sudut Pandang dan Respons Resmi

Mencuatnya kembali isu ijazah ini tentu saja memicu beragam respons dari berbagai pihak, mulai dari kalangan aktivis, akademisi, hingga institusi resmi. Setiap pihak membawa argumen dan data yang menambah kompleksitas perdebatan.

Pembelaan UGM: “Ijazah dan Skripsi Asli”

Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagai institusi asal Presiden Jokowi telah berulang kali memberikan klarifikasi dan menegaskan keaslian ijazah serta skripsi lulusannya. Dekan Fakultas Kehutanan UGM, Sigit Sunarta, menyesalkan informasi menyesatkan yang disebarkan, khususnya oleh Rismon Hasiholan Sianipar, seorang mantan dosen Universitas Mataram yang juga alumnus UGM. Rismon sebelumnya menyangsikan keaslian ijazah dan skripsi Jokowi karena penggunaan font Times New Roman pada sampul dan lembar pengesahan yang menurutnya belum ada di era 1980-an.

UGM membantah klaim tersebut dengan menjelaskan beberapa poin krusial:

  • Penggunaan Font Times New Roman: Sigit menegaskan bahwa di era 1980-an, penggunaan font serupa Times New Roman atau huruf yang hampir mirip sudah jamak digunakan, terutama untuk mencetak sampul dan lembar pengesahan di tempat percetakan sekitar kampus seperti Prima dan Sanur. Kakak angkatan Jokowi, San Afri Awang, juga mengamini hal ini, bahkan ia sendiri menggunakan jasa percetakan untuk sampul skripsinya.
  • Penomoran Ijazah: Mengenai nomor seri ijazah yang disebut tidak menggunakan klaster, Sigit menjelaskan bahwa Fakultas Kehutanan pada masa itu memiliki kebijakan penomoran sendiri dan belum ada penyeragaman dari tingkat universitas. Penomoran ini berdasarkan urutan nomor induk mahasiswa yang diluluskan dan ditambahkan singkatan fakultas (FKT).
  • Bukti Akademik yang Kuat: UGM menegaskan bahwa Jokowi tercatat sebagai mahasiswa, aktif dalam kegiatan mahasiswa (Silvagama), menempuh banyak mata kuliah, mengerjakan skripsi, dan lulus pada tahun 1985. Teman seangkatan Jokowi, Frono Jiwo, juga memberikan testimoni bahwa ia wisuda bareng Jokowi di tahun 1985 dan tampilan ijazahnya sama persis, kecuali nomor kelulusan. Frono juga menjelaskan bahwa isi skripsi ditulis dengan mesin ketik, sementara sampul dan lembar pengesahan dicetak di percetakan.
  • Perspektif Hukum: Guru Besar Hukum Pidana UGM, Marcus Priyo Gunarto, menilai tuduhan pemalsuan ijazah dan skripsi harus dibuktikan secara jelas, apakah “membuat palsu” (dokumen asli tidak pernah ada) atau “memalsukan” (membuat dokumen baru dari yang asli/rusak/hilang). Marcus menilai tuduhan ini sangat lemah karena UGM memiliki banyak data pendukung yang menunjukkan rekam jejak akademik Jokowi.

Respons Bareskrim Polri dan Persepsi “Identik Bukan Otentik”

Pihak kepolisian, dalam hal ini Bareskrim Polri, juga telah melakukan penyelidikan terkait laporan dugaan ijazah palsu Jokowi. Pengacara Jokowi, Yakup Hasibuan, telah menyerahkan dokumen ijazah asli dari SD hingga universitas kepada Bareskrim untuk keperluan penyelidikan dan uji laboratorium forensik. Jokowi sendiri telah melaporkan beberapa pihak, termasuk Roy Suryo dan Eggi Sudjana, atas tuduhan fitnah dan pencemaran nama baik terkait isu ijazah ini, menegaskan bahwa tuduhan tersebut sangat merendahkan dirinya.

Namun, meskipun Bareskrim Polri menyatakan telah menghentikan penyelidikan karena hasil uji menunjukkan ijazah Jokowi “identik” dengan dokumen pembanding, isu ini tidak serta-merta mereda di mata publik. Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul, Jamiluddin Ritonga, menjelaskan bahwa hal ini berkaitan dengan tingkat kepercayaan masyarakat kepada Polri. Sebagian masyarakat tetap meyakini ijazah Jokowi palsu, menunjukkan adanya predisposisi yang berbeda sejak awal.

Tagar “identik” bahkan sempat menggema di media sosial X, dengan banyak warganet berpendapat bahwa “identik bukan berarti otentik.” Akun @Chynthia_K dan @Yaniarsim mempertanyakan apakah hasil LabFor bisa menghentikan proses hukum selanjutnya, dan mempertanyakan kecepatan pemeriksaan. Akun @_AnakKolong menambahkan bahwa “identik tidak sama dengan otentik, kendati di republik ini otentik tak lagi penting, ketika jejak akademik bisa diketik, bahkan persepsi bisa menggantikan bukti.” Sentimen ini menyoroti jurang antara bukti teknis yang disampaikan institusi dan persepsi publik yang diwarnai ketidakpercayaan.

Mengapa Isu Ini Tak Kunjung Mereda? Analisis Kepercayaan Publik dan Konteks Sejarah

Keberlanjutan babak baru isu ijazah Jokowi testimoni orang ini, meskipun ada klarifikasi dari UGM dan penyelidikan dari Polri, menunjukkan adanya faktor yang lebih dalam dari sekadar verifikasi dokumen. Ini adalah cerminan dari dinamika kepercayaan publik dan bagaimana isu-isu sensitif dapat terus beresonansi di ruang publik, terutama di era informasi digital.

Erosi Kepercayaan pada Institusi

Seperti yang diutarakan Jamiluddin Ritonga, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap institusi, termasuk Polri dan bahkan lembaga pendidikan, memainkan peran kunci dalam penerimaan informasi. Ketika sebagian masyarakat sudah memiliki tingkat ketidakpercayaan yang tinggi, pernyataan resmi atau hasil penyelidikan sekalipun akan sulit diterima sebagai kebenaran mutlak. Hal ini menciptakan lingkaran setan di mana setiap klarifikasi justru bisa memicu keraguan baru.

Peran Media Sosial dan Narasi Alternatif

Media sosial menjadi panggung utama bagi isu-isu semacam ini. Video viral, tagar, dan komentar warganet dapat membentuk narasi alternatif yang mungkin tidak didasarkan pada fakta terverifikasi, tetapi memiliki daya tarik emosional atau resonansi dengan pandangan politik tertentu. Dalam kasus ijazah Jokowi, pihak-pihak yang meragukan terus menyuarakan argumen mereka, bahkan ketika bukti dan penjelasan telah diberikan. Ini menunjukkan tantangan dalam mengelola informasi di era disrupsi digital, di mana “kebenaran” seringkali menjadi kontes narasi.

Konteks Sejarah dan Persepsi Publik

Menariknya, isu ijazah palsu bukanlah hal baru di Indonesia. Jejak digital menunjukkan bahwa mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan, pernah melakukan sidak terkait praktik jual beli ijazah dan ijazah palsu saat menjabat di Kabinet Kerja Jokowi. Anies kala itu mendukung penuh upaya penelusuran universitas yang disinyalir mengeluarkan ijazah palsu, bahkan menyamakan praktik tersebut dengan kejahatan korupsi.

Momen lawas ini kini kembali menjadi perbincangan, dengan sebagian publik mengaitkan pencopotan Anies dari jabatan menteri dengan kemungkinan upayanya membongkar isu ijazah palsu. Meskipun tidak ada bukti langsung yang menghubungkan keduanya, persepsi dan asumsi publik ini menunjukkan bagaimana isu lama dapat dihidupkan kembali dan menjadi amunisi dalam perdebatan politik kontemporer, memperkuat keraguan yang sudah ada.

Implikasi bagi Demokrasi dan Transparansi

Babak baru isu ijazah Jokowi testimoni orang ini memiliki implikasi yang signifikan bagi kesehatan demokrasi dan transparansi di Indonesia.

  • Pentingnya Keterbukaan Data: Jika seorang pejabat publik, apalagi kepala negara, terus-menerus digoyang oleh isu keaslian dokumen dasar seperti ijazah, hal ini dapat mengikis legitimasi dan kepercayaan. Permintaan untuk “public expose” atau keterbukaan data secara transparan menjadi sangat relevan. Mekanisme yang jelas dan kredibel untuk verifikasi dokumen pejabat publik, yang independen dan dapat diakses oleh publik, menjadi krusial untuk mencegah polemik berulang.
  • Edukasi Literasi Digital: Masyarakat perlu dibekali dengan literasi digital yang kuat agar mampu membedakan informasi yang faktual dari hoaks atau narasi yang bias. Tanpa kemampuan ini, isu-isu sensitif akan terus dieksploitasi dan menciptakan polarisasi.
  • Peran Institusi Penegak Hukum dan Pendidikan: Institusi seperti Polri dan UGM, yang telah memberikan klarifikasi, memiliki tanggung jawab besar untuk tidak hanya menyatakan kebenaran, tetapi juga membangun kembali dan mempertahankan kepercayaan publik melalui komunikasi yang lebih efektif dan transparan. Pembentukan tim independen yang kredibel, seperti yang disarankan oleh Jamiluddin Ritonga, bisa menjadi salah satu solusi untuk memberikan putusan yang diterima semua pihak.

Kesimpulan

Babak baru isu ijazah Jokowi testimoni orang dekat ini menunjukkan bahwa isu keaslian dokumen pendidikan seorang pemimpin negara bukanlah sekadar persoalan teknis administrasi semata, melainkan telah menjadi cerminan kompleks dari dinamika kepercayaan publik, polarisasi politik, dan tantangan informasi di era digital. Meskipun UGM telah berulang kali menegaskan keaslian ijazah dan skripsi, dan Bareskrim Polri telah menghentikan penyelidikan dengan kesimpulan “identik,” narasi keraguan tetap hidup subur di ruang publik.

Ini adalah pengingat penting tentang bagaimana kepercayaan pada institusi dan proses verifikasi menjadi krusial dalam sebuah demokrasi. Untuk meredakan polemik semacam ini di masa depan, diperlukan tidak hanya klarifikasi yang solid, tetapi juga mekanisme verifikasi yang transparan dan independen, serta peningkatan literasi digital di tengah masyarakat. Dengan demikian, setiap babak baru isu ijazah Jokowi testimoni orang atau isu serupa dapat dihadapi dengan kepala dingin, berdasarkan fakta, dan demi kepentingan bersama untuk membangun kepercayaan yang lebih kuat antara pemerintah dan rakyatnya.

Bagaimana menurut Anda? Apakah isu ini akan benar-benar mereda, ataukah akan terus menjadi bagian dari diskursus publik di masa mendatang? Mari berdiskusi di kolom komentar.

FAQ

Berikut adalah 4 pertanyaan dan jawaban singkat dalam format Markdown untuk bagian FAQ artikel “Babak Baru Isu Ijazah Jokowi: Menelisik Testimoni Orang Dekat dan Mengapa Ini Terus Bergulir?”:

  • Mengapa isu ijazah Jokowi kembali mencuat?
    Isu ini kembali mencuat karena adanya laporan dan gugatan hukum yang mempertanyakan keabsahan ijazah Jokowi, serta munculnya testimoni baru dari orang-orang dekat.

  • Apa yang menjadi fokus utama dalam penelusuran keabsahan ijazah Jokowi?
    Fokus utamanya adalah pada dokumen ijazah yang dimiliki Jokowi, kesesuaian data, serta kesaksian dari pihak-pihak yang terkait dengan masa sekolah Jokowi.

  • Siapa saja yang memberikan testimoni dalam isu ini?
    Testimoni datang dari berbagai pihak, termasuk teman sekolah, guru, dan pejabat yang mengetahui riwayat pendidikan Jokowi.