Andong Malioboro, Ikon Klasik Jogja: Bertahan di Tengah Gempuran Transportasi Modern

Dipublikasikan 10 Juli 2025 oleh admin
Hiburan dan Lifestyle

Yogyakarta, zekriansyah.com – Jika Anda berkunjung ke Yogyakarta, khususnya kawasan Malioboro, pasti tak asing dengan pemandangan andong yang berjejer rapi. Kereta beroda empat yang ditarik kuda ini bukan sekadar alat transportasi biasa. Andong adalah ikon budaya, saksi bisu sejarah, sekaligus daya tarik wisata yang tak lekang oleh waktu.

Andong Malioboro, Ikon Klasik Jogja: Bertahan di Tengah Gempuran Transportasi Modern

Ilustrasi: Seekor kuda menarik andong di sepanjang Jalan Malioboro yang ramai, menawarkan sentuhan nostalgia di tengah hiruk pikuk transportasi modern Yogyakarta.

Di tengah hiruk pikuk modernisasi dan gempuran transportasi online yang serba cepat, andong tetap setia melayani wisatawan. Artikel ini akan mengajak Anda menyelami lebih dalam kisah perjuangan andong, dari sejarahnya yang panjang hingga perannya di era kini, serta mengapa ia tetap dicintai banyak orang. Siap-siap merasakan nostalgia dan memahami betapa berharganya warisan budaya ini!

Sejarah Andong: Dari Kendaraan Bangsawan hingga Ikon Wisata

Andong memiliki akar sejarah yang sangat panjang di Jawa, khususnya Yogyakarta. Jauh sebelum andong, masyarakat Nusantara lebih dulu mengenal pedati, kereta beroda dua yang ditarik sapi. Pedati ini bahkan menjadi moda transportasi andalan para raja Majapahit.

Memasuki abad ke-19, pedati bertransformasi. Jumlah rodanya ditambah menjadi empat dan hewan penariknya beralih ke kuda yang dianggap lebih bertenaga dan cepat. Konon, istilah “delman” (nama lain andong) berasal dari nama Ir. Charles Theodore Deeleman, seorang insinyur Belanda yang berperan dalam pengembangan transportasi ini.

Pada awalnya, andong bukanlah kendaraan rakyat jelata. Ia adalah simbol status sosial dan kemewahan, digunakan oleh para bangsawan dan keluarga Keraton Yogyakarta Hadiningrat, termasuk para Raja Mataram seperti Sultan Hamengkubuwono VII. “Kereto Kencono”, kereta pribadi raja yang ditarik kuda, menjadi cikal bakal andong yang kini bisa kita nikmati.

Namun, seiring waktu, fungsi andong bergeser. Pada masa kepemimpinan Sultan Hamengkubuwono VIII, andong mulai bisa digunakan oleh masyarakat umum, meskipun masih terbatas untuk pedagang. Lambat laun, andong menjadi alat transportasi harian yang melayani masyarakat luas, sebelum akhirnya lebih banyak ditemukan di kawasan wisata seperti Malioboro.

Gempuran Modernisasi: Tantangan Andong di Era Digital

Bertahan di tengah arus modernisasi bukanlah hal mudah bagi para kusir andong. Mereka menghadapi berbagai tantangan berat:

  • Persaingan Transportasi Online: Kehadiran ojek online dan taksi daring membuat banyak orang beralih karena kemudahan pemesanan dan tarif yang seringkali lebih murah. Bagus Imam, seorang kusir andong asal Bantul, mengungkapkan,
    > “Dulu sebelum ada kendaraan online atau GoCar, mencari penumpang di Malioboro lebih mudah. Sekarang, banyak orang lebih memilih transportasi online karena harganya lebih murah. Namun, tetap ada yang memilih andong meski tarifnya lebih tinggi.”
  • Biaya Perawatan Tinggi: Merawat kuda dan andong membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Mulai dari pakan kuda, perawatan kesehatan, hingga perbaikan andong yang suku cadangnya tidak dijual di pasaran dan harus dibuat sendiri.
  • Pendapatan Tidak Stabil: Terutama di musim sepi wisatawan, pendapatan kusir andong bisa sangat menurun, membuat mereka kesulitan memenuhi kebutuhan hidup dan biaya perawatan.
  • Persoalan Tarif: Tarif andong yang belum diatur secara resmi kadang menjadi kendala, meski para kusir berupaya menetapkan standar.

Jumlah andong di Yogyakarta sendiri mengalami penurunan drastis. Pada tahun 1990, tercatat ada sekitar 700 andong, namun kini jumlahnya jauh berkurang.

Andong Bukan Sekadar Transportasi, tapi Pengalaman Budaya

Meski menghadapi tantangan, andong tetap bertahan karena ia menawarkan sesuatu yang tak bisa diberikan transportasi modern: pengalaman yang unik dan mendalam.

  • Simbol Budaya Jawa: Andong adalah representasi keramahan dan kekayaan budaya Jawa. Para kusir yang mengenakan pakaian adat Jawa semakin memperkuat nuansa tradisional ini.
  • Sensasi Nostalgia: Banyak wisatawan merasa “kembali ke masa lalu” saat menaiki andong. Indah, seorang wisatawan, berbagi kesannya:
    > “Naik andong membuat saya merasa seperti kembali ke masa lalu, dengan suasana yang seru serta melihat keramaian dan keindahan Malioboro menjadi sebuah pengalaman yang tak terlupakan.”
  • Wisata Edukasi: Bagi keluarga, andong menjadi cara yang sempurna untuk mengenalkan budaya Jawa kepada anak-anak. Suwati, seorang ibu, mengatakan:
    > “Saya ingin anak-anak saya memahami bahwa teknologi modern bukan satu-satunya cara untuk menikmati hidup. Ada nilai budaya dan tradisi yang harus mereka kenali, pelajari, dan hargai. Dengan naik andong, mereka bisa merasakan bagaimana kehidupan di masa lalu dan melihat langsung betapa kayanya budaya Jawa yang penuh makna.”
  • Karya Seni Berjalan: Andong bukan hanya alat transportasi, ia adalah karya seni dengan ukiran kayu rumit dan desain khas yang mencerminkan keahlian pengrajin lokal.

Peran Penting Kusir dan Upaya Pelestarian Andong

Di balik setiap andong yang melaju, ada dedikasi luar biasa dari para kusir dan pihak-pihak yang mendukungnya. Mereka adalah garda terdepan dalam menjaga warisan ini.

  • Menjaga Penampilan: Untuk menarik wisatawan, andong dan kudanya selalu dijaga kebersihannya dan dipercantik. Kusir juga mengenakan baju adat Jawa.
  • Penetapan Tarif Standar: Para kusir berupaya menetapkan tarif yang disepakati agar transparan bagi wisatawan dan memberikan keuntungan yang adil bagi mereka.
  • Pelatihan dan Pelayanan: Beberapa kusir mengikuti pelatihan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada wisatawan.
  • Edukasi Budaya: Kusir seringkali berbagi cerita dan informasi tentang sejarah serta filosofi andong dan Malioboro, menambah nilai edukatif perjalanan.
  • Pemanfaatan Teknologi: Beberapa kusir mulai memanfaatkan platform digital untuk mempromosikan dan memudahkan pemesanan andong.
  • Dukungan Komunitas dan Pemerintah: Pemerintah daerah dan komunitas lokal juga turut serta dalam melestarikan andong melalui festival, promosi budaya, dan dukungan lainnya.

Selain kusir, ada juga profesi lain yang tak kalah penting dalam ekosistem andong, seperti bengkel dokar dan andong (contohnya bengkel Lustarmaji di Ambarawa dan Darmo Sugono di Magelang) yang setia mereparasi andong, hingga tukang pijat kuda (seperti Abdul Rohman di Yogyakarta) yang merawat kesehatan kuda. Mereka semua adalah bagian dari mata rantai pelestarian andong.

Tarif Andong Malioboro: Berapa Biayanya dan Apa Saja Rutenya?

Bagi Anda yang tertarik mencoba pengalaman unik naik andong di Malioboro, berikut gambaran tarif dan rute yang biasanya ditawarkan:

  • Tarif: Umumnya, tarif naik andong di Malioboro berkisar antara Rp100.000 hingga Rp250.000 per perjalanan. Harga ini bisa bervariasi tergantung:
    • Jumlah penumpang.
    • Jarak atau rute yang diambil.
    • Kemampuan negosiasi dengan kusir.

Meskipun terlihat lebih mahal dibanding transportasi modern, banyak wisatawan yang merasa harga tersebut sepadan dengan pengalaman nostalgia dan keunikan yang didapat. Yasmin, seorang wisatawan asal Malang, berujar:

“Andong bukan sekadar alat transportasi biasa untuk berpindah tempat, melainkan bagian dari pengalaman wisata yang unik dan tak tergantikan. Jadi, kalau saya pribadi, meskipun lebih mahal, saya merasa tarifnya masih cukup sepadan dengan nilai pengalaman yang didapat.”

  • Rute Populer: Perjalanan andong biasanya dimulai dari kawasan Malioboro dan melewati beberapa titik wisata menarik di sekitar pusat kota Yogyakarta. Beberapa rute yang sering ditawarkan meliputi:
    • Titik Nol Kilometer: Pusat pertemuan berbagai aktivitas wisata di Jogja.
    • Keraton Yogyakarta: Istana resmi Sultan yang menyimpan banyak sejarah.
    • Jalan Rotowijayan: Kawasan yang dikenal dengan toko-toko batik dan suvenir khas Jogja.
    • Alun-Alun Kidul (Alkid): Tempat populer untuk bersantai di malam hari.
    • Pusat Oleh-oleh: Termasuk kawasan penjualan bakpia dan camilan khas Jogja lainnya.

Selama perjalanan, kusir andong seringkali berbagi cerita dan informasi menarik tentang Malioboro dan Yogyakarta, membuat perjalanan semakin berkesan dan edukatif.

Andong: Warisan yang Harus Terus Dilestarikan

Andong adalah bukti nyata bahwa transportasi tradisional dapat bertahan di tengah gempuran modernisasi. Ia bukan hanya sekadar alat transportasi, melainkan sebuah warisan budaya yang hidup, simbol keistimewaan Yogyakarta, dan daya tarik wisata yang tak tergantikan.

Melestarikan andong berarti menjaga identitas budaya bangsa. Oleh karena itu, mari kita dukung para kusir andong dan nikmati pengalaman unik berkeliling Yogyakarta dengan andong. Dengan begitu, kita turut berkontribusi menjaga agar “Kereta Rakyat” ini akan terus melaju, mewarnai jalanan kota budaya, dan menjadi kebanggaan kita semua di masa depan.

FAQ

Tanya: Apa perbedaan antara andong dan pedati?
Jawab: Pedati adalah kereta beroda dua yang ditarik sapi, sedangkan andong adalah kereta beroda empat yang ditarik kuda dan merupakan evolusi dari pedati.

Tanya: Dari mana asal usul nama “delman” untuk andong?
Jawab: Nama “delman” diperkirakan berasal dari nama Ir. Charles Theodore Deeleman, seorang insinyur Belanda yang berperan dalam pengembangan transportasi ini.

Tanya: Siapa saja yang awalnya menggunakan andong?
Jawab: Awalnya, andong bukan kendaraan rakyat jelata, melainkan simbol status sosial yang digunakan oleh para bangsawan dan keluarga kaya.