Dunia kembali menahan napas. Kepala Badan Energi Atom Internasional (IAEA), Rafael Grossi, baru-baru ini melontarkan peringatan keras kepada Iran. Ia mengancam akan ada krisis baru yang jauh lebih serius jika Teheran nekat menghalangi akses para pengawas nuklir PBB ke fasilitas-fasilitas penting di negaranya.
Kenapa isu ini penting dan perlu kita pahami? Konflik seputar program nuklir Iran ini bukan sekadar masalah diplomasi antarnegara. Ini bisa memicu ketidakstabilan global yang lebih luas, bahkan berdampak pada harga minyak dunia dan stabilitas ekonomi kita semua. Mari kita bedah lebih dalam apa yang sebenarnya terjadi.
Latar Belakang Ketegangan Nuklir Iran
Ketegangan antara Iran dan komunitas internasional, khususnya Amerika Serikat (AS) dan Israel, sudah berlangsung lama terkait program nuklir Teheran. Iran selalu menegaskan bahwa program nuklirnya murni untuk tujuan damai, seperti energi dan medis. Namun, AS dan Israel menuduh Iran diam-diam mengembangkan senjata nuklir.
Situasi makin memanas setelah serangkaian serangan terjadi pada Juni 2025. Israel melancarkan operasi besar-besaran pada 13 Juni 2025, menargetkan fasilitas nuklir Iran. Iran membalasnya dengan “Operasi True Promise 3” di malam yang sama. Tak lama kemudian, pada 22 Juni 2025, AS juga menyerang tiga lokasi nuklir utama Iran: Natanz, Fordow, dan Isfahan. Serangan ini disebut AS sebagai upaya untuk mencegah Iran memiliki senjata paling berbahaya di dunia.
Meskipun serangan ini menghancurkan fasilitas penting, Badan Energi Atom Iran memastikan tidak ada pencemaran radioaktif. Pernyataan itu juga dikonfirmasi oleh IAEA.
Ancaman Krisis Baru dari Kepala IAEA
Dalam wawancara terbarunya, Rafael Grossi, Direktur Jenderal IAEA, mengungkapkan kekhawatiran mendalamnya. Ia menyebut program nuklir Iran telah mengalami “kerusakan yang sangat, sangat, sangat besar” akibat serangan-serangan tersebut.
“Yang dapat saya katakan kepada Anda, dan saya pikir semua orang setuju tentang hal ini, ada kerusakan yang sangat, sangat, sangat besar,” ujar Grossi.
Grossi menegaskan bahwa kehadiran IAEA di Iran bukanlah “sikap murah hati,” melainkan “tanggung jawab internasional” yang wajib dipatuhi Iran sebagai anggota Perjanjian Non-Proliferasi (NPT). Menurutnya, jika Iran secara sepihak menangguhkan keterlibatannya dan memblokir inspektur untuk mengakses situs nuklir, maka “kita akan berada di ambang krisis baru.”
Mengapa Iran Memblokir Pengawas? Ini Alasannya
Ancaman Grossi ini muncul setelah Parlemen Iran pada 25 Juni 2025 menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) untuk menangguhkan kerja sama dengan IAEA. Keputusan ini bukan tanpa alasan.
Menurut Ketua Parlemen Iran, Mohammad Bagher Ghalibaf, langkah ini diambil karena IAEA dinilai gagal mengutuk serangan yang dilakukan AS dan Israel terhadap situs nuklir utama Iran.
“IAEA bahkan tidak mengeluarkan kecaman simbolis,” tegas Mohammad Bagher Ghalibaf.
Iran menyatakan tidak akan lagi bekerja sama dengan IAEA sampai fasilitas nuklirnya diamankan sepenuhnya. Bahkan, Kepala Organisasi Energi Atom Iran (AEOI), Mohammad Eslami, mengirim surat kepada Grossi dan mengancam akan menempuh jalur hukum karena sikap diam IAEA terhadap agresi Israel.
Dampak Serangan Terhadap Fasilitas Nuklir Iran
Serangan AS dan Israel pada Juni 2025 menyebabkan kerusakan fisik yang signifikan di tiga lokasi utama fasilitas nuklir Iran: Natanz, Isfahan, dan Fordow. Lokasi-lokasi ini adalah tempat Iran memusatkan sebagian besar kegiatan pengayaan dan konversi uraniumnya.
Grossi menyebutkan bahwa sentrifus di fasilitas nuklir Fordow “tidak lagi beroperasi,” dan kerusakannya dipastikan “total.” Meski begitu, Grossi juga menyatakan bahwa Iran memiliki pengetahuan teknologi dan kapasitas industri untuk membangun kembali infrastruktur nuklirnya. Ini berarti, meskipun program mereka mengalami hambatan, kemampuan nuklir Iran tidak hilang sepenuhnya dan kerja sama dengan IAEA tetap harus berlanjut.
Potensi Krisis Global dan Peran Indonesia
Situasi yang memanas antara IAEA dan Iran, ditambah dengan konflik yang sudah ada, berpotensi memicu “spiral kekacauan” seperti yang diperingatkan oleh Sekretaris Jenderal PBB António Guterres. Pengamat militer Khairul Fahmi juga menekankan bahwa serangan AS ke Iran menandai babak baru yang memperbesar ancaman krisis global dengan efek domino yang luas.
Dampak yang paling terasa bisa berupa:
- Lonjakan Harga Minyak dan Gas: Ketegangan di Timur Tengah, terutama di Selat Hormuz yang merupakan jalur vital pengiriman minyak, dapat memicu kenaikan harga energi secara drastis.
- Tekanan Inflasi Domestik: Kenaikan harga energi akan berdampak pada biaya logistik dan produksi, yang pada akhirnya bisa memicu inflasi di berbagai negara, termasuk Indonesia.
- Ketidakpastian Ekonomi: Investor cenderung menarik diri dari pasar yang tidak stabil, yang bisa berdampak pada investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Bagi Indonesia, situasi ini menjadi alarm keras untuk meningkatkan kesiapsiagaan. Indonesia didorong untuk mengambil peran sebagai aktor moral dan penyeimbang yang independen di forum internasional seperti G20, OKI, ASEAN, dan PBB, serta mendorong de-eskalasi konflik dan penyelesaian damai.
Kesimpulan
Ancaman krisis baru dari Kepala IAEA Rafael Grossi kepada Iran adalah sinyal serius akan ketidakpastian di Timur Tengah. Iran bersikeras menangguhkan kerja sama dengan pengawas PBB sebagai bentuk protes atas diamnya IAEA terhadap serangan AS dan Israel ke fasilitas nuklirnya. Sementara itu, fasilitas nuklir Iran memang mengalami kerusakan signifikan, namun kemampuan untuk membangun kembali tetap ada.
Situasi ini mengingatkan kita semua bahwa konflik di satu wilayah bisa memiliki dampak global, mulai dari ekonomi hingga stabilitas politik. Penting bagi kita untuk terus memantau perkembangan ini dan berharap solusi diplomatik dapat ditemukan untuk menghindari krisis yang lebih besar.