Yogyakarta, zekriansyah.com – Siapa sangka, sebuah tarian spontan dari seorang anak di atas perahu tradisional bisa mengguncang dunia maya? Ya, itulah yang terjadi dengan aksi Rayyan Arkan Dikha, bocah penari Pacu Jalur dari Kuantan Singingi, Riau. Videonya yang memperlihatkan kelincahannya menari di ujung perahu yang melaju kencang, kini viral dan memicu tren “Aura Farming” di berbagai platform media sosial.
Ilustrasi: Aksi Rayyan Dikha, bocah penari Pacu Jalur Riau, memicu Aura Farming mendunia dengan tarian spontannya yang memukau.
Artikel ini akan membahas tuntas siapa Rayyan Dikha, apa itu fenomena “Aura Farming” yang bikin banyak pesohor dunia ikut-ikutan, serta bagaimana peran penting para penari cilik ini dalam tradisi Pacu Jalur. Yuk, kenali lebih dekat warisan budaya Indonesia yang kini jadi sorotan global ini!
Aksi Spontan Rayyan Dikha: Bocah Penari Pacu Jalur yang Mendunia
Rayyan Arkan Dikha, atau akrab disapa Dika, adalah bocah berusia 11 tahun yang berasal dari Desa Pintu Lobang Kari, Kecamatan Kuantan Tengah, Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Riau. Sosoknya mendadak viral di media sosial karena aksinya menari di bagian depan perahu panjang atau “jalur” saat lomba Pacu Jalur berlangsung.
Dalam video yang menyebar luas, Dika tampak mengenakan stelan teluk belanga warna hitam, tanjak khas Melayu Riau, dan kacamata hitam. Dengan kaki sedikit tertekuk, ia menari-nari pelan di haluan sampan, seolah tanpa takut tercebur ke sungai. Gerakan tangannya sederhana, namun seirama dengan dayungan puluhan pendayung dewasa di belakangnya.
“Saya tidak menyangka bisa se-viral itu. Tahunya setelah melihat media sosial banyak orang luar yang menirukan tarian itu,” ujar Rayyan saat ditemui di rumahnya. Dika mengaku tariannya itu murni spontan, tanpa latihan atau koreografi khusus sebelumnya.
Menjadi penari Pacu Jalur atau yang disebut “Togak Luan” adalah cita-cita Rayyan sejak kecil. Ia tumbuh besar di pinggir Sungai Kuantan dan terbiasa berenang serta naik sampan. Ayahnya adalah mantan peserta Pacu Jalur, dan kakaknya juga pernah menjadi Togak Luan. Dika sendiri sudah dua tahun bergabung sebagai Togak Luan di tim ayahnya. Kini, bocah kelas 5 SD ini memiliki cita-cita mulia untuk menjadi seorang Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Fenomena ‘Aura Farming’: Kenapa Tarian Rayyan Begitu Viral?
Tarian Rayyan Arkan Dikha yang spontan ini melahirkan tren baru di media sosial yang disebut “Aura Farming”. Istilah ini merujuk pada tindakan atau penampilan seseorang yang terlihat sangat percaya diri, keren, dan memikat secara alami, seolah menjadi pusat perhatian dalam suatu adegan dramatis. Gerakan Dika yang jujur dan ekspresif di atas perahu dianggap mencerminkan pesona keren yang sesungguhnya.
Popularitas “Aura Farming” ini tak main-main. Fenomena ini dengan cepat menyebar ke mancanegara. Banyak warganet global membuat video meme atau parodi menirukan gerakan khas Dika. Bahkan, akun resmi klub sepak bola ternama dunia seperti Paris Saint-Germain (PSG) dan AC Milan turut meramaikan tren ini, mengunggah video selebrasi pemainnya dengan gerakan serupa. Bintang sepak bola seperti Neymar Jr dan Achraf Hakimi, hingga bintang NFL Travis Kelce, kekasih Taylor Swift, juga ikut menirukan tarian ini.
Pemerintah Provinsi Riau dan Kementerian Budaya RI pun menyambut positif fenomena viral ini. Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Riau, Roni Rakhmat, bersyukur event Pacu Jalur di Kuansing kembali viral, yang tentu positif untuk kemajuan pariwisata Riau. Bahkan, Menteri Budaya RI Fadli Zon melalui stafnya sempat menghubungi Kepala Dinas Budaya dan Pariwisata Kuansing untuk bertemu dengan Rayyan Arkan Dikha.
Peran Penting Penari Cilik dalam Pacu Jalur
Dalam tradisi Pacu Jalur, bocah penari seperti Rayyan Arkan Dikha dikenal dengan beberapa sebutan, yaitu “Togak Luan” (tegak di haluan), “Anak Tari”, “Anak Coki”, atau “Anak Joki”. Mereka punya peran yang sangat penting dalam tim Pacu Jalur:
- Penyemangat: Tugas utama mereka adalah memberikan semangat kepada para pendayung yang sedang berpacu.
- Pemberi Isyarat: Gerakan tarian mereka sekaligus menjadi isyarat bagi penonton di tepi sungai. Jika penari berdiri dan menari, itu menandakan bahwa jalur tim mereka sedang unggul atau memimpin perlombaan. Jika masih berimbang, penari biasanya hanya berayun-ayun saja, dan akan duduk jika jalur mereka tertinggal.
- Pengurang Beban: Karena bobot tubuh anak-anak yang ringan, mereka ditempatkan di ujung depan jalur yang lebarnya hanya sekitar 25 cm. Terkadang, jika jalur mulai tertinggal atau banyak air masuk, penari ini bahkan bisa melompat ke sungai untuk mengurangi beban perahu agar bisa melaju lebih kencang.
- Penghibur: Tarian mereka yang spontan dan penuh semangat juga menjadi daya tarik tersendiri bagi penonton, menambah kemeriahan suasana lomba.
Selain Togak Luan, ada juga peran lain di dalam perahu Pacu Jalur:
- Timbo Ruang: Berada di tengah jalur, bertugas sebagai pemberi komando bagi para anak pacu atau atlet.
- Tukang Onjai: Berada di posisi paling belakang, fungsinya untuk mengarahkan jalur dan memompa semangat pendayung.
- Boruang: Koordinator atau pelatih di dalam perahu, pengatur strategi dan pemberi kode kepada pendayung.
Pentingnya peran penari cilik ini sempat dihilangkan dalam beberapa event Pacu Jalur sebelumnya, namun kini Pemprov Riau mewajibkan kembali keberadaan ketiga elemen ini (penari, timbo ruang, dan onjai) di setiap jalur, sebagai upaya melestarikan budaya dan bukan hanya fokus pada juara.
Pacu Jalur: Warisan Budaya Riau yang Mendunia
Festival Pacu Jalur adalah tradisi tua yang telah diwariskan turun-temurun oleh masyarakat Kuantan Singingi (Kuansing), Riau, sejak abad ke-17 atau sekitar tahun 1890-an. Awalnya, tradisi ini dilombakan saat hari besar Islam, namun belakangan menjadi event tahunan yang digelar menjelang Hari Kemerdekaan RI, puncaknya pada bulan Agustus di Sungai Batang Kuantan, Kuansing.
Pacu Jalur bukan sekadar lomba perahu biasa. Perahu-perahu yang digunakan, disebut “jalur”, terbuat dari kayu pohon Marsawa, memiliki panjang 30 hingga 40 meter, dan bisa menampung hingga 50-61 orang (pendayung, penari, pemberi aba-aba, dan pelatih). Tradisi ini mencerminkan semangat kolektif, kehormatan kampung, serta nilai spiritual dan sosial yang mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat.
Festival ini telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia pada tahun 2015 oleh Kementerian Kebudayaan. Pemerintah, termasuk Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) dan Kapolda Riau, terus mendukung promosi dan pelestarian Pacu Jalur sebagai bagian penting dari budaya lokal yang harus terus hidup dan relevan di tengah arus modernisasi.
Dukungan Keluarga dan Harapan untuk Tradisi Lokal
Di balik aksi heroik Rayyan Dikha, ada dukungan penuh dari sang ibu, Rani. Rani mengaku senang dan bangga melihat putranya viral hingga ke luar negeri. Telepon dari berbagai negara seperti Inggris dan Dubai pun kerap ia terima.
Meski demikian, Rani tak bisa menyembunyikan rasa cemas setiap kali Rayyan naik jalur. Ia selalu mengingatkan putranya untuk menjaga keseimbangan agar tidak terjatuh ke sungai, meskipun ada tim penyelamat yang siaga.
Keluarga Rayyan sangat mendukung putranya untuk melanjutkan tradisi ini. Mereka berharap, momen viralnya Rayyan Dikha dan tren “Aura Farming” ini dapat membawa dampak positif yang lebih besar, yaitu memperkenalkan budaya Pacu Jalur Kuansing ke mata dunia dan menjadikannya semakin dikenal luas. Ini adalah bukti nyata bagaimana sebuah tradisi lokal bisa menembus batas dan menjadi fenomena global yang membanggakan.