Aksi 1000 Lilin “Putihkan Kampung Pengok”: Doa Bersama Warga Yogyakarta Harapkan Kepastian Hukum Tanah

Dipublikasikan 30 Juni 2025 oleh admin
Sosial Politik

Yogyakarta, zekriansyah.com – Ratusan warga Kampung Pengok di Gondokusuman, Yogyakarta, baru-baru ini menggelar aksi damai yang menyentuh hati: Aksi 1000 Lilin dan Doa Bersama. Mengusung tema “Putihkan Kampung Pengok”, kegiatan ini menjadi simbol perjuangan dan harapan warga yang sudah puluhan tahun menempati tanah di wilayah tersebut, namun belum memiliki kepastian hukum atas tempat tinggal mereka.

Aksi 1000 Lilin

Ilustrasi: Ribuan lilin menerangi malam Yogyakarta, menyuarakan harapan warga Kampung Pengok untuk kepastian hukum tanah mereka.

Artikel ini akan mengajak Anda menyelami lebih dalam alasan di balik aksi solidaritas ini, memahami kompleksitas masalah kepemilikan tanah di Kampung Pengok, dan bagaimana semangat kebersamaan warga menjadi kekuatan di tengah ketidakpastian. Dengan membaca artikel ini, Anda akan mendapatkan gambaran jelas tentang isu kemanusiaan dan hak dasar yang diperjuangkan warga, serta betapa pentingnya kepastian hukum bagi setiap individu.

Latar Belakang Aksi: Perjuangan Panjang Warga Kampung Pengok

Aksi 1000 Lilin ini diadakan pada Sabtu malam, 29 Juni 2024, di Pertigaan Jalan Munggur dan Jalan Kusbini, Blok C, Gondokusuman. Suasana hening dan khidmat menyelimuti acara, dengan warga yang kompak mengenakan pakaian serba putih sebagai simbol ketulusan hati mereka. Nyala ribuan lilin menjadi representasi harapan yang tak pernah padam.

Ketua Pemuda Kampung Pengok, Resha Matantya Prabowo, mengungkapkan bahwa perjuangan untuk mendapatkan legalitas tanah di kampung ini sudah berlangsung sangat lama. “Sejak lama, jauh sebelum generasi kami, para orang tua kami sudah berusaha sekuat tenaga agar kampung ini memperoleh legalitas. Bahkan, sejak sekitar tahun 2012, berbagai upaya sudah dilakukan supaya ada kepastian hak tinggal bagi warga di sini—mulai dari pengajuan dokumen awal hingga permohonan pengakuan resmi. Namun sampai hari ini, belum ada satu pun pengurusan yang berhasil sepenuhnya,” jelas Resa.

Warga Kampung Pengok, khususnya di Blok A hingga C, telah menempati bangunan di kawasan sisi utara Balai Yasa Yogyakarta ini selama kurang lebih 50 tahun. Mereka tinggal di area yang dikenal sebagai Sultan Ground (SG), yaitu tanah milik Kasultanan Yogyakarta. Hal inilah yang membuat proses legalitas tanah menjadi sangat spesifik dan memerlukan izin dari pihak Keraton.

Tiga Tahap Penting Menuju Kepastian Hukum Tanah

Proses untuk mendapatkan kepastian hukum atas tanah di wilayah Sultan Ground tidaklah sederhana. Resa menjelaskan ada tahapan berurutan yang harus ditempuh, namun hingga kini warga masih terganjal di tahap awal:

  1. Surat Keterangan Tanah (SKT)

    • Ini adalah dokumen awal yang hanya menerangkan lokasi tanah, batas-batasnya, dan siapa yang menempati.
    • SKT menjadi syarat administratif pertama yang wajib dimiliki. Warga Kampung Pengok sudah mendapatkan SKT ini, bahkan yang terbaru pada tahun 2017.
  2. Palilah

    • Tahap ini adalah izin pemakaian tanah dari pihak Kasultanan Yogyakarta.
    • Jika Palilah berhasil didapatkan, itu menjadi tanda bahwa pemohon diakui memiliki hak tinggal yang sah atas tanah tersebut.
    • “Namun hingga hari ini, Palilah itu belum kami peroleh,” ungkap Resa. Ini menjadi hambatan utama yang membuat warga terus dilingkupi kecemasan.
  3. Kekancingan

    • Jika Palilah sudah di tangan, proses selanjutnya adalah pengajuan Kekancingan.
    • Kekancingan adalah pengakuan hak magersari yang lebih kuat dan bersifat turun-temurun.
    • Status Kekancingan ini dianggap sebagai dasar hukum paling aman bagi warga yang sudah puluhan tahun tinggal di tanah Sultan Ground.

Singkatnya, tanpa Palilah, warga tidak bisa melangkah ke tahap Kekancingan, sehingga status hukum tempat tinggal mereka masih menggantung.

Suara Hati Warga dan Peran Pemuda Kampung

Ketidakpastian status tanah ini berdampak besar pada kehidupan sehari-hari warga. Resa menekankan betapa beratnya beban emosional yang ditanggung banyak keluarga.

“Kami ini generasi muda yang lahir dan besar di Kampung Pengok. Kami juga punya hati, punya rasa. Setiap malam, di sudut-sudut gang kampung, kami masih sering mendengar perdebatan, kebingungan, bahkan tangisan—karena para orang tua kami resah memikirkan masa depan rumah yang sudah mereka rawat bertahun-tahun.”

Kondisi ekonomi mayoritas warga juga menambah pelik masalah ini. Sebagian besar dari mereka berjuang keras hanya untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari.

“Kita semua paham, kalau seseorang punya kemampuan ekonomi lebih, mungkin bisa memilih membeli rumah bersertifikat di pinggiran kota. Namun realitas di sini berbeda. Mayoritas warga di Kampung Pengok untuk makan sehari-hari saja sudah berat. Seringkali untuk sekadar menyiapkan kebutuhan dapur, para orang tua kami harus berhutang atau bekerja harian. Dalam kondisi seperti ini, bicara tentang membeli rumah baru hanyalah angan-angan.”

Melihat kondisi ini, para pemuda Kampung Pengok merasa terpanggil untuk beraksi. Meski dengan keterbatasan materi, mereka ingin mendampingi dan memberi kekuatan moral bagi orang tua mereka.

“Sebagai insan pemuda, kami turut prihatin. Kami tergerus hati, kami menangis. Kami ingin membantu lebih banyak, tetapi kalau bicara soal uang, kalau kita iuran untuk membantu tiap rumah yang kelaparan, itupun pas-pas an. Karena itulah, yang bisa kami lakukan hari ini adalah berkumpul, menyalakan lilin, berdoa bersama, dan menunjukkan kepada orang tua kami bahwa mereka tidak sendiri.”

Solidaritas dan Harapan di Tengah Ketidakpastian

Aksi 1000 Lilin ini bukan hanya sekadar ritual, melainkan manifestasi nyata dari solidaritas dan harapan. Kasus-kasus serupa di wilayah lain, seperti di Lempuyangan, menambah kecemasan warga Kampung Pengok. Mereka khawatir akan mengalami nasib yang sama jika status hukum tanah mereka tidak segera jelas.

Melalui doa bersama dan nyala lilin, warga Kampung Pengok berharap suara mereka didengar dan proses pengurusan hak tinggal dapat dipercepat. Mereka memohon agar pihak Kasultanan Yogyakarta dan pemerintah terkait dapat segera memberikan kepastian hukum, sehingga warga bisa hidup tenang tanpa dihantui rasa cemas akan masa depan rumah yang telah mereka bangun dan rawat selama puluhan tahun.

Kesimpulan

Aksi 1000 Lilin “Putihkan Kampung Pengok” adalah cerminan perjuangan damai warga yang mendambakan kepastian hukum atas tanah tempat tinggal mereka. Melalui doa bersama dan simbol lilin, mereka menyuarakan harapan akan masa depan yang lebih tenang dan aman. Semoga aksi ini menjadi pendorong bagi semua pihak terkait untuk segera menemukan solusi terbaik, sehingga warga Kampung Pengok dapat memperoleh haknya dan hidup dalam ketenangan di tanah kelahiran mereka. Mari kita dukung perjuangan mereka demi terwujudnya keadilan dan kemanusiaan.