Yogyakarta, zekriansyah.com – Pernahkah Anda membayangkan bahwa di balik setiap klik, pencarian di Google, atau penggunaan aplikasi kecerdasan buatan (AI) seperti ChatGPT, ada jejak air yang sangat besar? Ya, infrastruktur digital yang kita gunakan sehari-hari, yang sering disebut “awan” atau cloud, sebenarnya sangatlah fisik. Ia hidup di dalam ribuan pusat data (data center) yang tersebar di seluruh dunia, dan kehadirannya mulai menimbulkan masalah serius, terutama terkait ketersediaan air bersih bagi masyarakat sekitar.
Ilustrasi: Di tengah kemajuan teknologi, kenyataan pahit: sumur warga kering di samping menara pendingin raksasa pusat data.
Artikel ini akan mengupas tuntas mengapa pusat data membutuhkan begitu banyak air, bagaimana dampaknya terhadap lingkungan dan kehidupan warga, serta upaya apa saja yang sedang dilakukan untuk mengatasi masalah ini. Dengan membaca artikel ini, Anda akan lebih memahami sisi lain dari kemajuan teknologi dan pentingnya keberlanjutan.
Gemuruh Pusat Data, Sumur Warga Kering
Bagi sebagian orang, kehadiran pusat data raksasa di dekat rumah adalah mimpi buruk yang menjadi kenyataan. Ambil contoh Beverly Morris, seorang pensiunan di Fayette County, Georgia, Amerika Serikat. Pada tahun 2016, ia merasa telah menemukan rumah impiannya di pedesaan Georgia yang tenang. Namun, kini ketenangan itu sirna. Hanya sekitar 366 meter dari berandanya, berdiri sebuah bangunan besar tanpa jendela, penuh dengan server, kabel, dan lampu berkedip. Itu adalah pusat data milik Meta, induk perusahaan Facebook.
Morris menceritakan bagaimana kehidupannya berubah drastis:
“Saya tidak bisa hidup di rumah saya dengan setengahnya berfungsi dan tanpa air. Saya tidak bisa minum airnya.”
Ia yakin pembangunan pusat data tersebut mengganggu sumur pribadinya, menyebabkan penumpukan sedimen berlebihan. Kini, ia harus mengangkut air dengan ember untuk menyiram toiletnya, dan air dari keran masih berampas. Meta sendiri membantah bahwa pusat data mereka menyebabkan masalah air Morris. Sebuah studi air tanah independen yang mereka pesan menyatakan bahwa operasi pusat data tidak “memengaruhi kondisi air tanah di daerah tersebut secara negatif”. Namun, bagi Beverly Morris, Meta sudah tidak lagi menjadi tetangga yang baik.
Kisah Beverly Morris bukan satu-satunya. Di seluruh Amerika Serikat dan dunia, semakin banyak pusat data bermunculan, dan bersamaan dengan itu, keluhan dari warga sekitar pun meningkat. Di AS, proyek pusat data senilai miliaran dolar tertunda atau dibatalkan karena protes warga. Kekhawatiran tidak hanya soal kebisingan atau pembangunan, tetapi yang paling utama adalah penggunaan air.
Mengapa Pusat Data Haus Air?
Server dan peralatan teknologi informasi lainnya yang mengisi pusat data menghasilkan panas yang luar biasa. Bahkan, Mark Mills dari National Center for Energy Analytics bersaksi di hadapan Kongres bahwa “permukaan setiap chip lebih panas dari permukaan matahari.” Untuk menjaga suhu ideal (sekitar 20-22°C agar peralatan berfungsi optimal), pusat data membutuhkan sistem pendingin yang masif.
Salah satu metode pendinginan yang paling umum digunakan adalah sistem pendingin evaporatif (evaporative cooling). Sistem ini bekerja mirip dengan cara tubuh manusia berkeringat: air menyerap panas lalu menguap. Metode ini memang lebih hemat listrik, tetapi boros air.
Bayangkan saja skala konsumsi airnya:
- Satu fasilitas tunggal di hari-hari panas bisa menggunakan jutaan galon air.
- Studi memperkirakan pusat data berbasis AI bisa mengonsumsi 1,7 triliun galon air secara global pada tahun 2027.
- Satu kueri AI sederhana (misalnya, permintaan ke ChatGPT) bisa menggunakan air sebanyak satu botol kecil air kemasan.
Untuk memberi gambaran lebih jelas, berikut adalah perkiraan konsumsi air beberapa pusat data:
Jenis Pusat Data/Aktivitas | Konsumsi Air Perkiraan |
---|---|
Pusat Data 1 MW Kecil | Hingga 25,5 juta liter/tahun |
Pusat Data Besar (mis. Google) | Lebih dari 1 miliar liter/tahun |
Seluruh Pusat Data di AS | 130 miliar liter/tahun |
Satu kueri AI (ChatGPT) | Setara satu botol air kecil |
Data ini menunjukkan betapa besar jejak air yang ditinggalkan oleh dunia digital kita.
Dampak Lebih Luas: Dari Lumpur Sungai hingga Krisis Global
Konsumsi air yang masif ini memiliki konsekuensi serius. Di Georgia, misalnya, Gordon Rogers dari Flint Riverkeeper, sebuah kelompok advokasi yang memantau kesehatan Sungai Flint, menunjukkan kepada BBC sampel air yang keruh dan berwarna cokelat di dekat lokasi pembangunan pusat data QTS. Menurutnya, ini adalah tanda limpasan sedimen dan kemungkinan penggunaan flocculant (bahan kimia untuk mengikat tanah) yang mencemari sistem air.
Di India, kota-kota seperti Pali menghadapi krisis air setiap tahun, bahkan harus mendatangkan air dengan kereta api. Sementara itu, beberapa pusat data di Jaipur, yang hanya berjarak 300 km, mengonsumsi air lebih banyak dari seluruh kota Pali. Di London, perusahaan air Thames Water mengakui bahwa pusat data menggunakan air minum kota, tanpa mengetahui persis berapa banyak.
Masalah ini diperparah oleh fakta bahwa lebih dari 4,4 miliar orang di negara berpenghasilan rendah dan menengah tidak memiliki akses air minum yang aman di rumah. Angka ini jauh lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya. Air yang terkontaminasi dan sanitasi yang buruk terkait langsung dengan penyebaran penyakit seperti diare, kolera, dan tifus. Diperkirakan 1 juta orang meninggal setiap tahun karena diare akibat air minum yang tidak aman. Ini bukan hanya masalah kesehatan, tetapi juga memengaruhi pendidikan anak-anak dan produktivitas ekonomi.
Upaya Mengurangi Jejak Air Pusat Data
Meskipun masalahnya besar, kesadaran dan upaya untuk mencari solusi mulai tumbuh. Para raksasa teknologi menyatakan bahwa mereka menyadari isu ini dan mengambil tindakan. Amazon Web Services (AWS), operator pusat data terbesar di dunia, memiliki target ambisius:
“Tujuan kami adalah pada tahun 2030, kami akan mengembalikan lebih banyak air ke DAS dan komunitas tempat kami mengoperasikan pusat data, daripada yang kami ambil.”
AWS berinvestasi dalam berbagai proyek, termasuk perbaikan kebocoran, pemanenan air hujan, dan penggunaan air limbah yang telah diolah untuk pendinginan. Di Virginia, mereka bekerja sama dengan petani untuk mengurangi polusi nutrisi di Chesapeake Bay. Di Afrika Selatan dan India, di mana AWS tidak menggunakan air untuk pendinginan, perusahaan ini tetap berinvestasi dalam inisiatif akses dan kualitas air.
Profesor Rajiv Garg, pakar komputasi awan dari Emory University, menyatakan bahwa pusat data tidak akan hilang; mereka adalah tulang punggung kehidupan modern. “Tidak ada jalan untuk kembali,” katanya. Namun, ada jalan ke depan: sistem pendingin yang lebih cerdas, pemanenan air hujan, dan infrastruktur yang lebih efisien. Industri ini mulai bergerak menuju keberlanjutan.
Selain itu, ada juga solusi yang lebih sederhana namun efektif, seperti filter membran serat berongga portabel yang dapat menghilangkan 99,99999% bakteri berbahaya dari air, serta teknologi seperti pemurnian UV dan mesin pemanen atmosfer.
Masa Depan Digital yang Lebih Bertanggung Jawab
Kisah Beverly Morris dan jutaan orang lainnya menjadi pengingat yang kuat: kemajuan teknologi, seberapa pun inovatifnya, tidak boleh mengorbankan sumber daya paling dasar kita—air. Permintaan akan kapasitas pusat data, terutama yang didorong oleh pertumbuhan AI, akan terus meningkat. Tantangannya jelas: bagaimana kita bisa menggerakkan dunia digital masa depan tanpa menguras sumber daya paling esensial?
Penting bagi kita, sebagai konsumen teknologi, untuk juga menyadari dampak di balik layar. Dukungan terhadap perusahaan dan kebijakan yang memprioritaskan keberlanjutan, serta kesadaran akan jejak lingkungan dari setiap interaksi digital kita, akan membantu mendorong industri ini menuju praktik yang lebih bertanggung jawab. Masa depan digital yang kita inginkan adalah yang tidak hanya cerdas dan cepat, tetapi juga berkelanjutan dan adil bagi semua.