Agam Rinjani Blak-blakan Ungkap Hal Paling Ditakuti Tim SAR Saat Evakuasi di Gunung Rinjani

Dipublikasikan 1 Juli 2025 oleh admin
Sosial Politik

Yogyakarta, zekriansyah.com – Siapa yang tak kenal Agam Rinjani? Namanya belakangan ini menjadi perbincangan hangat, terutama setelah aksinya yang heroik dalam evakuasi jenazah pendaki asal Brasil, Juliana Marins, di Gunung Rinjani. Banyak orang penasaran, seperti apa sih perjuangan tim SAR di medan ekstrem? Agam Rinjani akhirnya buka suara, membongkar hal-hal paling menakutkan yang harus dihadapi timnya.

Agam Rinjani Blak-blakan Ungkap Hal Paling Ditakuti Tim SAR Saat Evakuasi di Gunung Rinjani

Ilustrasi: Tim SAR berjuang menembus kabut tebal dan medan terjal Gunung Rinjani demi menyelamatkan pendaki.

Artikel ini akan membawa Anda masuk ke balik layar operasi penyelamatan yang penuh tantangan, dari kronologi insiden hingga kondisi medan yang membuat nyali ciut. Anda akan memahami betapa beratnya tugas para pahlawan kemanusiaan ini dan mengapa apresiasi yang mereka terima sangatlah layak.

Kronologi Misi Penyelamatan Juliana Marins yang Menegangkan

Semua bermula pada Sabtu, 21 Juni 2025, ketika Juliana Marins terjatuh di tebing Gunung Rinjani. Kedalamannya diperkirakan mencapai 600 meter. Saat kejadian nahas itu, Agam Rinjani justru sedang berada di Jakarta, menghadiri festival outdoor terbesar, INDOFEST 2025.

Awalnya, Agam mendapat informasi bahwa Juliana masih hidup dan terjatuh di kedalaman sekitar 200 meter. Namun, ia terkejut saat tim SAR Lombok Timur melaporkan bahwa korban tidak ditemukan di titik awal. Tanpa pikir panjang, Agam langsung bergegas kembali ke Lombok, membawa serta perlengkapan penyelamatan seadanya.

Sesampainya di basecamp Sembalun, Agam segera memerintahkan 6-7 porter untuk membawa tali sepanjang 1.400 meter. Mereka bahkan harus berlari-lari mengejar waktu hingga Pelawangan sampai larut malam. “Waktu itu sudah lelah dan emosional saat tim evakuasi bertanya kenapa saya terlambat,” ungkap Agam dalam sebuah podcast.

Medan Ekstrem, Tantangan Terbesar Tim SAR

Agam Rinjani, yang sudah sembilan tahun menjadi relawan dan menangani puluhan kasus evakuasi di Rinjani, menegaskan bahwa kasus Juliana Marins adalah yang paling sulit dan “paling sadis” yang pernah ia tangani. Apa saja yang membuat evakuasi ini begitu menakutkan?

  • Kedalaman Jurang yang Mengerikan: Juliana terjatuh hingga kedalaman kurang lebih 600 meter. Ini jauh lebih dalam dan sulit dibandingkan kasus pendaki Israel pada 2023 yang tergelincir di kedalaman 180 meter.
  • Medan Bebatuan Labil dan Curam: Lokasi jatuhnya Juliana memiliki medan yang sangat curam, dengan bebatuan yang rentan menggelinding dan longsor. Ini sangat berbahaya bagi tim penyelamat yang harus bergerak di area tersebut.
  • Keterbatasan Peralatan: Saat berada di kedalaman 400 meter, tim menghadapi kendala peralatan anchor (jangkar) yang terbatas dan sulit menjangkau hingga kedalaman 600 meter.
  • Kondisi Cuaca yang Buruk: Kabut tebal seringkali menyelimuti area pencarian, membuat jarak pandang sangat terbatas dan menyulitkan upaya pencarian serta evakuasi.

“Tadinya mau diturunkan ke bawah ke Danau Segara Anak, tetapi medannya semakin curam, bebatuan rentan menggelinding dan longsor,” jelas Agam, menggambarkan betapa berbahayanya opsi tersebut.

Tidur di Tebing Curam, Demi Menjaga Korban

Salah satu hal yang paling membuat tim SAR harus bertaruh nyawa adalah keputusan untuk bermalam di tebing curam bersama jenazah Juliana. Ini dikenal dengan istilah “flying camp”.

“Kami menginap di tebing yang curam 590 meter bersama Juliana satu malam dengan memasang anchor supaya tidak ikut meluncur lagi 300 meter,” tulis Agam di akun Instagram-nya.

Keputusan ini diambil karena hari sudah gelap dan jalur evakuasi terlalu berbahaya untuk dilanjutkan secara langsung. Tim harus memastikan kondisi korban dan menjaga agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan, seperti jenazah meluncur lebih jauh. Mereka tidur di tebing vertikal yang curam, hanya berjarak beberapa meter dari korban, sambil menunggu tim lain untuk membantu mengangkat jenazah dari atas.

Apresiasi dan Polemik “Pahlawan Tunggal”

Keberanian Agam dan timnya menuai pujian luas, bahkan dari masyarakat Brasil. Sebagai bentuk apresiasi, warga Brasil menggalang donasi untuk Agam Rinjani yang mencapai lebih dari Rp1,3 miliar. Agam sendiri menegaskan bahwa donasi tersebut tidak akan digunakan untuk kepentingan pribadi, melainkan untuk dua tujuan mulia:

  • Pembelian alat keselamatan bagi tim evakuasi.
  • Program penanaman pohon (reboisasi) di Gunung Rinjani.

Namun, di balik gelombang pujian, sempat muncul polemik. Beberapa anggota tim SAR lainnya merasa sorotan publik terlalu terpusat pada Agam seorang, seolah-olah Agam adalah “pahlawan tunggal”. Koordinator Lapangan Unit SAR Lombok Timur, Samsul Padli, juga membantah kabar bahwa tim SAR merasa kecewa atau meminta donasi. “Tidak ada sejarahnya Tim SAR meminta donasi untuk kegiatan operasi penyelamatan ataupun evakuasi korban, apalagi perasaan kecewa, itu hoaks,” tegas Padli. Ia menjelaskan, evakuasi Juliana adalah hasil kerja tim gabungan yang melibatkan Basarnas, BPBD, TNI-Polri, Damkar, relawan, hingga porter, semua bekerja secara sukarela.

Agam Rinjani sendiri telah meminta maaf karena tidak bisa membawa Juliana pulang dalam keadaan selamat, mengakui beratnya kondisi medan. Ia juga menjelaskan bahwa donasi tersebut akan dibagi dengan tim relawan lain dan digunakan untuk kemajuan pendakian Rinjani. Unggahan donasi di Instagram Agam pun kini sudah dihapus setelah masalah tersebut dijelaskan.

Kesimpulan

Kisah Agam Rinjani dan tim SAR dalam evakuasi Juliana Marins di Gunung Rinjani adalah gambaran nyata dari dedikasi dan keberanian. Medan ekstrem, cuaca tak menentu, dan risiko tinggi adalah bagian tak terpisahkan dari tugas mereka. Apa yang Agam blak-blakan ungkapkan adalah pengingat bahwa di balik setiap misi penyelamatan, ada perjuangan luar biasa yang patut kita apresiasi. Mereka adalah pahlawan yang bekerja tanpa pamrih, demi kemanusiaan dan keselamatan di gunung.