21 Bulan Invasi Israel di Gaza, Warga Palestina: ‘Ini Bukan Kehidupan Lagi’

Dipublikasikan 5 Juli 2025 oleh admin
Sosial Politik

Yogyakarta, zekriansyah.com – Selama 21 bulan terakhir, warga di Jalur Gaza hidup dalam kondisi yang jauh dari normal. Invasi militer Israel yang terus berlanjut telah mengubah wilayah kecil ini menjadi lautan puing dan penderitaan. Artikel ini akan membawa Anda memahami lebih dalam bagaimana kehidupan warga Palestina di Gaza saat ini, kondisi krisis kemanusiaan yang terjadi, serta suara hati mereka yang merindukan kedamaian.

21 Bulan Invasi Israel di Gaza, Warga Palestina: 'Ini Bukan Kehidupan Lagi'

Ilustrasi: Penderitaan warga Palestina di Gaza terungkap setelah 21 bulan invasi Israel, merindukan kehidupan yang hilang.

Dengan membaca artikel ini, Anda akan mendapatkan gambaran nyata tentang dampak konflik berkepanjangan terhadap manusia, bukan hanya angka-angka di berita. Ini penting agar kita bisa lebih peka terhadap apa yang sebenarnya terjadi di sana.

Kehancuran dan Pengungsian Massal di Gaza

Bayangkan anak-anak kecil bermain di antara reruntuhan sekolah yang dulunya menjadi tempat mereka berlindung. Puing-puing bangunan masih berasap, dan noda darah menghiasi tanah. Pakaian compang-camping, kursi rusak, dan kaleng makanan berserakan di mana-mana. Inilah pemandangan sehari-hari yang harus dihadapi warga Gaza.

“Ini bukan kehidupan,” keluh Umm Yassin Abu Awda, seorang warga Kota Gaza, dengan nada putus asa. Ia menambahkan, “Anda harus menyerang kami dengan bom nuklir dan mengakhiri semuanya, atau hati nurani orang-orang harus akhirnya terbangun.”

Hampir seluruh penduduk Gaza, yang berjumlah sekitar 2,1 juta jiwa, telah mengungsi setidaknya sekali sejak perang dimulai pada 7 Oktober 2023. Sebanyak 90% dari mereka kini menjadi pengungsi internal, terpaksa berpindah-pindah hingga belasan kali mencari tempat yang aman. Sekolah-sekolah yang seharusnya menjadi tempat perlindungan justru berulang kali menjadi sasaran serangan.

Skala kehancuran di Gaza sungguh tak terbayangkan. Lebih dari 70 persen rumah di Gaza rusak atau hancur. Akibatnya, lebih dari 40 juta ton puing bangunan menumpuk di seluruh wilayah, setara dengan setiap meter persegi tanah di Gaza ditutupi oleh 115 kilogram puing. Para ahli menyebut tingkat kehancuran ini sebagai salah satu yang paling parah dalam sejarah konflik modern.

Militer Israel juga telah menguasai kembali Koridor Netzarim, sebuah jalur yang membelah Gaza utara dan selatan. Hal ini semakin mempersulit pergerakan warga Palestina, memisahkan keluarga, dan menghambat mereka untuk kembali ke rumah.

Krisis Kemanusiaan yang Memburuk: Kelaparan dan Penyakit Mengintai

Invasi yang berkepanjangan telah menciptakan krisis kemanusiaan yang mengerikan. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berulang kali memperingatkan potensi kelaparan di Gaza. Jumlah bantuan kemanusiaan yang masuk menurun drastis, dengan penyeberangan Rafah dari Mesir seringkali ditutup. Akibatnya, antrean truk bantuan mengular dan banyak makanan membusuk di bawah terik matahari.

Kondisi ini diperparah dengan hancurnya sektor kesehatan. Dari 36 rumah sakit di Gaza, hanya 14 yang masih berfungsi. Transfer pasien dan pasokan medis terhambat, membuat banyak warga sakit parah, termasuk anak-anak penderita kanker, tidak bisa mendapatkan perawatan yang memadai.

Sanitasi menjadi masalah besar. Air limbah mengalir di jalan-jalan, dan akses terhadap air bersih sangat terbatas. Data menunjukkan bahwa hanya 10,4% dari anak-anak yang diperiksa mengalami malnutrisi, dengan 1,7% menderita malnutrisi akut yang parah. Israel dituding sengaja menciptakan kondisi kehidupan yang mengerikan ini, menggabungkan malnutrisi, kelaparan, dan penyakit yang secara perlahan membuat warga Palestina menuju kematian.

Tuduhan Genosida dan Pelanggaran Hukum Internasional

Konflik ini juga diwarnai dengan tuduhan serius pelanggaran hukum internasional. Amnesty International dalam laporannya menemukan bukti kuat bahwa Israel telah, dan terus, melakukan tindakan genosida terhadap warga Palestina di Jalur Gaza. Ini mencakup pembunuhan, serangan fisik dan mental, serta secara sengaja menciptakan kondisi hidup yang bertujuan menghancurkan mereka secara fisik. Afrika Selatan bahkan telah mengajukan tuntutan terhadap Israel di Mahkamah Internasional (ICJ) atas tuduhan genosida.

Yang lebih mengejutkan, beberapa tentara Israel sendiri mengaku diperintahkan untuk menembaki warga Palestina yang tidak bersenjata yang mencari bantuan, meskipun kerumunan itu tidak menimbulkan ancaman.

“Itu adalah medan pembantaian… di tempat saya, antara satu hingga lima orang terbunuh setiap hari,” ujar seorang tentara Israel.

“Mereka menembaki mereka seolah-olah mereka adalah pasukan penyerang: mereka tidak menggunakan alat pengendali kerusuhan, mereka tidak menembakkan gas air mata, mereka menembakkan apa pun yang dapat Anda pikirkan, senapan mesin berat, peluncur granat, mortir,” tambah tentara tersebut.

Sejak invasi dimulai pada 27 Oktober 2023, lebih dari 46.000 warga Palestina, dengan 70% di antaranya adalah anak-anak dan wanita, dilaporkan tewas. Selain itu, penggunaan fosfor putih oleh Israel dalam operasi militer di Gaza juga menjadi sorotan karena bertentangan dengan hukum humaniter internasional.

Suara Hati dan Harapan di Tengah Puing-puing

Di tengah kehancuran, ada kisah-kisah pribadi yang menggambarkan betapa beratnya hidup di Gaza. Fatma Edaama, seorang warga Gaza utara, menggambarkan kondisinya seperti “mengalami koma selama setahun” dan berharap suatu hari bisa terbangun melihat Gaza yang indah dan semarak kembali. Ia tetap optimis, “Kami akan membangunnya kembali dan menghidupkannya kembali.”

Namun, banyak pula yang kehilangan segalanya. Ashraf al Attar, seorang perawat, kehilangan istri dan keenam anaknya dalam serangan udara Israel. Anak bungsunya baru berusia 20 bulan. Njoud Abu Kaloub dan keempat anaknya harus pindah 11 kali karena terus-menerus menghindari serangan dan mencari tempat yang aman.

Mohammed, yang terpaksa mengungsi beberapa kali, menggambarkan perasaannya di Deir al-Balah:

“Disini di Deir al-Balah seperti kiamat. Kamu harus melindungi anak-anakmu dari serangga, panas dan tidak terdapat air bersih beserta toilet. Ini semua terjadi saat bom-bom terus berjatuhan tanpa henti. Kamu akan merasa seperti bukan manusia.”

Jalan Menuju Perdamaian yang Sulit

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah menyatakan niatnya untuk memperluas serangan dan merebut seluruh Jalur Gaza, dengan dalih demi keselamatan warga Palestina. Namun, rencana ini justru memicu protes internasional dan memperburuk krisis kemanusiaan. Di Israel sendiri, ribuan warga menggelar demonstrasi menuntut kesepakatan untuk membebaskan para sandera yang masih ditahan Hamas.

Para analis politik sepakat bahwa mengalahkan Hamas secara militer adalah sebuah khayalan. Satu-satunya hal yang dapat mengubah dinamika di lapangan secara signifikan adalah solusi politik yang langgeng. Namun, hal ini tampaknya belum menjadi prioritas utama.

Konflik berkepanjangan ini bukan hanya pertarungan antara dua pihak, melainkan penderitaan yang tak berujung bagi jutaan warga sipil. Diperlukan upaya serius dari komunitas internasional untuk mewujudkan gencatan senjata permanen dan mencari solusi politik yang adil, agar warga Palestina bisa kembali merasakan “kehidupan” yang sesungguhnya, bukan hanya sekadar bertahan hidup di tengah reruntuhan.

FAQ

Tanya: Berapa lama invasi Israel di Gaza telah berlangsung menurut artikel ini?
Jawab: Artikel ini menyebutkan invasi Israel di Gaza telah berlangsung selama 21 bulan.

Tanya: Bagaimana kondisi kehidupan warga Palestina di Gaza saat ini berdasarkan artikel?
Jawab: Kehidupan warga Gaza digambarkan sebagai kondisi yang jauh dari normal, dengan kehancuran luas, puing-puing bangunan, dan penderitaan akibat invasi militer.

Tanya: Berapa banyak warga Gaza yang mengungsi akibat konflik ini?
Jawab: Hampir seluruh penduduk Gaza yang berjumlah sekitar 2,1 juta jiwa telah mengungsi setidaknya sekali, dengan 90% di antaranya menjadi pengungsi internal.