Yogyakarta, zekriansyah.com – Bayangkan saja Lanang, seorang pemuda berusia 25 tahun, tiba-tiba panik saat menemukan borok kecil di kemaluannya. Tak sakit, tak gatal, namun vonis dokter membuatnya lemas: sifilis, salah satu penyakit menular seksual (PMS) yang serius. Kisah Lanang ini bukan sekadar cerita pribadi, melainkan cerminan dari fenomena yang kini marak terjadi di kalangan Generasi Z. Lonjakan kasus PMS seperti sifilis, yang mencapai lebih dari 23 ribu kasus pada tahun 2024 menurut data Kementerian Kesehatan, menjadi alarm bagi kita semua.
Peningkatan kasus penyakit menular seksual di kalangan Gen Z diduga berkaitan dengan fenomena penundaan pernikahan, menuntut kesadaran dan edukasi kesehatan seksual yang lebih luas.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Salah satu faktor besar yang sering dikaitkan adalah fenomena waithood atau kecenderungan menunda pernikahan. Artikel ini akan membahas lebih dalam bagaimana waithood dapat membuka pintu bagi peningkatan penyakit menular seksual di kalangan Gen Z, serta pentingnya pemahaman dan pendidikan yang tepat. Mari kita selami bersama agar kita bisa lebih waspada dan melindungi diri serta orang-orang terdekat.
Lonjakan Kasus PMS di Kalangan Gen Z: Fenomena Gunung Es yang Mengkhawatirkan
Kasus sifilis yang menimpa Lanang hanyalah puncak dari gunung es. Penyakit menular seksual seringkali tidak berdiri sendiri; pada individu yang sering berganti pasangan, ko-infeksi atau terpapar beberapa jenis PMS sekaligus bukanlah hal aneh. Sifilis, yang dikenal juga sebagai “raja singa” atau “peniru ulung”, bisa menunjukkan gejala yang bervariasi atau bahkan tidak bergejala sama sekali hingga bertahun-tahun, padahal tetap menular. Borok kemerahan (chancre) seperti yang dialami Lanang biasanya muncul 10-90 hari setelah tertular.
Selain sifilis, infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) juga memiliki pola “gunung es” serupa. Banyak kasus HIV tidak terdeteksi hingga mencapai fase AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome), di mana sistem imun tubuh sudah sangat lemah. Periode transisi ini bisa berlangsung bertahun-tahun, dan selama itu, pengidapnya bisa terus menularkan virus, terutama melalui kontak seksual. Hingga Maret 2023, tercatat lebih dari 522 ribu orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Indonesia. Angka-angka ini menunjukkan betapa krusialnya kesadaran akan penyakit menular seksual di masyarakat, khususnya Gen Z.
Mengenal Fenomena Waithood: Mengapa Gen Z Menunda Pernikahan?
Istilah waithood pertama kali diperkenalkan oleh Profesor Diane Singerman dari American University. Secara sederhana, waithood adalah “masa tunggu” atau periode penundaan pernikahan yang bisa berlangsung lama, seringkali karena berbagai faktor. Fenomena ini kini menjadi tren global, termasuk di Indonesia, dan banyak dialami oleh Generasi Z (mereka yang lahir antara 1997-2012).
Mengapa Gen Z cenderung menunda pernikahan? Ada banyak alasan kompleks yang melatarbelakanginya:
- Kemandirian Ekonomi dan Karier: Banyak Gen Z ingin mapan secara finansial dan mengejar karier impian terlebih dahulu. Mereka merasa perlu memiliki rumah, tabungan pendidikan anak, dan dana darurat sebelum menikah.
- Trauma Masa Lalu: Peningkatan kasus perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) membuat beberapa Gen Z, terutama perempuan, trauma dan khawatir akan “neraka pernikahan”.
- Pendidikan Tinggi: Akses pendidikan yang lebih luas membuat banyak perempuan Gen Z memprioritaskan pendidikan tinggi sebagai sarana aktualisasi diri dan peningkatan status sosial.
- Generasi Sandwich: Sebagian Gen Z berada dalam posisi “generasi sandwich”, yaitu mereka harus menopang kebutuhan finansial orang tua dan adik-adiknya. Hal ini membuat pernikahan menjadi prioritas kedua.
- Sulit Menemukan Pasangan yang Tepat: Banyak yang merasa sulit menemukan pasangan yang benar-benar cocok dan siap berkomitmen seumur hidup.
- Pergeseran Paradigma: Adanya pemahaman kesetaraan gender dan isu feminisme membuat perempuan merasa perlu memiliki kendali atas hidup mereka, termasuk menunda pernikahan. Tak jarang juga muncul “Peterpan Syndrome” atau “Cinderella Complex”, di mana seseorang masih ingin hidup bebas tanpa beban tanggung jawab.
Jembatan Berbahaya: Waithood dan Risiko Penyakit Menular Seksual
Fenomena waithood menciptakan kesenjangan waktu yang signifikan antara masa pubertas (di mana hasrat seksual mulai muncul) dan usia pernikahan yang semakin mundur. Kesenjangan ini menjadi tantangan besar dalam mengelola hasrat seksual dalam jangka waktu yang lebih panjang. Ketika hasrat ini tidak dikelola dengan baik, ia dapat memicu perilaku seksual berisiko.
Contohnya, hubungan seksual pranikah, berganti-ganti pasangan, atau terlibat dalam hubungan tanpa komitmen (seperti HTS, ONS, FWB). Perilaku-perilaku ini secara langsung meningkatkan probabilitas terpapar penyakit menular seksual seperti sifilis, gonore, klamidia, hingga HIV/AIDS. Ironisnya, banyak dari mereka yang terlibat dalam perilaku ini belum memiliki pengetahuan memadai tentang cara pencegahan PMS. Selain itu, waithood juga dapat berdampak pada masalah lain seperti kehamilan yang tidak diinginkan dan aborsi ilegal, yang selanjutnya memicu masalah kesehatan reproduksi dan dampak sosial-psikologis seperti depresi dan terhentinya pendidikan.
Pentingnya Pendidikan Kesehatan Reproduksi yang Komprehensif
Melihat kompleksitas masalah ini, pentingnya pendidikan kesehatan reproduksi yang terarah dan bertanggung jawab menjadi sangat krusial. Hingga kini, materi ini masih sering dianggap sensitif dan belum terintegrasi secara komprehensif dalam kurikulum pendidikan formal. Akibatnya, banyak Gen Z mencari informasi dari berbagai platform media sosial, yang sayangnya seringkali menyajikan disinformasi.
Pendidikan yang tepat dapat membekali Gen Z dengan pengetahuan memadai tentang:
- Anatomi dan fungsi organ reproduksi.
- Perkembangan seksual dan pubertas.
- Risiko dan pencegahan penyakit menular seksual.
- Konsekuensi dari perilaku seksual berisiko.
- Hubungan yang sehat dan konsensual.
- Perencanaan keluarga dan pentingnya pernikahan.
Dengan pemahaman yang kuat, Gen Z dapat mengambil keputusan yang tepat untuk melindungi diri mereka dari penyakit menular seksual dan masalah kesehatan reproduksi lainnya, serta mempersiapkan diri untuk masa depan yang lebih sehat dan bertanggung jawab.
Kesimpulan
Fenomena waithood di kalangan Gen Z adalah isu multi-dimensi yang perlu kita pahami dengan serius. Meskipun keputusan menunda pernikahan didasari oleh berbagai alasan personal, kita tidak bisa mengabaikan potensi risiko yang menyertainya, terutama peningkatan kasus penyakit menular seksual. Sifilis dan HIV/AIDS hanyalah sebagian kecil dari ancaman yang mengintai jika perilaku seksual berisiko tidak diantisipasi.
Penting bagi kita semua, baik individu, keluarga, maupun pemerintah, untuk meningkatkan kesadaran dan menyediakan akses informasi serta pendidikan kesehatan reproduksi yang akurat dan mudah diakses. Dengan begitu, Gen Z dapat dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk membuat pilihan yang bertanggung jawab, menjaga kesehatan mereka, dan membangun masa depan yang lebih cerah, terhindar dari ancaman penyakit menular seksual. Mari bersama-sama menciptakan lingkungan yang mendukung Generasi Z untuk tumbuh menjadi pribadi yang sehat secara fisik, mental, dan sosial.
FAQ
Tanya: Apa itu fenomena waithood yang dikaitkan dengan peningkatan kasus PMS di kalangan Gen Z?
Jawab: Waithood adalah kecenderungan Gen Z untuk menunda pernikahan, yang berpotensi meningkatkan risiko terpapar penyakit menular seksual karena hubungan seksual di luar pernikahan.
Tanya: Mengapa penundaan pernikahan bisa meningkatkan risiko penyakit menular seksual (PMS)?
Jawab: Penundaan pernikahan dapat menyebabkan individu memiliki lebih banyak pasangan seksual dalam jangka waktu yang lebih lama, sehingga meningkatkan kemungkinan terpapar PMS.
Tanya: Apa saja contoh penyakit menular seksual (PMS) yang disebutkan dalam artikel dan bagaimana gejalanya?
Jawab: Artikel menyebutkan sifilis, yang gejalanya bisa berupa borok kecil yang tidak sakit atau gatal, namun bisa juga tidak bergejala sama sekali.