Yogyakarta, zekriansyah.com – Pernahkah Anda membayangkan bisa punya rumah di Menteng, kawasan elite yang dikenal dengan harga propertinya yang selangit? Bagi banyak orang, mimpi ini terasa jauh di awang-awang. Tanah seharga ratusan juta per meter persegi, rumah miliaran rupiah, rasanya hanya bisa dijangkau oleh segelintir orang. Tapi, bagaimana jika ada cara untuk mewujudkan mimpi itu dengan harga yang jauh lebih terjangkau, bahkan mengubah cara kita memandang hunian di tengah kota? Inilah kisah di balik rumah flat Menteng yang sedang viral, sebuah konsep hunian kolektif yang mendobrak stigma dan menawarkan solusi hunian terjangkau di Jakarta.
Konsep hunian kolektif Rumah Flat Menteng tawarkan kenyamanan dan kebersamaan di jantung ibu kota, hadirkan alternatif gaya hidup terjangkau di tengah kawasan elite Jakarta.
Apa Itu Rumah Flat Menteng? Konsep Unik Hunian Komunal
Rumah flat Menteng bukanlah apartemen pada umumnya, juga bukan rumah susun biasa. Ini adalah sebuah inovasi hunian yang lahir dari semangat gotong royong dan kebutuhan nyata masyarakat kelas menengah akan tempat tinggal yang layak di pusat kota. Bangunan empat lantai ini menaungi tujuh unit hunian, menjadi rumah bagi sekitar 15 orang yang berbagi visi.
Gotong Royong Mewujudkan Mimpi
Ide ini bermula dari Marco Kusumawijaya, seorang arsitek dan aktivis kota yang juga pemilik tanah di Menteng. Saat rumah tapaknya membutuhkan renovasi, ia terpikir untuk tidak membangunnya kembali hanya untuk dirinya sendiri. Marco mengajak keluarga, rekan kerja, dan teman-teman untuk bersama-sama membangun hunian yang lebih efisien dan terjangkau. Mereka kemudian membentuk koperasi khusus untuk mengelola rumah flat ini, memangkas banyak biaya yang biasanya muncul dalam proyek properti konvensional.
Bukan Sekadar Apartemen Biasa
Berbeda dengan apartemen yang umumnya berorientasi bisnis dan seringkali terasa impersonal, konsep rumah flat Menteng ini lebih mengedepankan nilai-nilai sosial dan komunitas. Bangunannya dirancang dengan mempertimbangkan kenyamanan dan keberlanjutan. Setiap unit memiliki balkon dan jendela besar yang memastikan sirkulasi udara dan cahaya alami berlimpah, mengurangi kebutuhan akan AC. Bahkan, tidak ada carport pribadi di sini, karena para penghuni memang berkomitmen untuk lebih banyak menggunakan transportasi umum.
Hidup Nyaman, Kantong Tetap Aman
Salah satu daya tarik utama rumah flat Menteng adalah biayanya yang jauh di bawah ekspektasi untuk ukuran kawasan Menteng. Konsep kolektif melalui koperasi membuat harga unit dan biaya operasional menjadi sangat efisien.
Biaya yang Mengejutkan
Elisa Sutanudjaja, Ketua Koperasi Serba Usaha Rumah Flat Menteng, mengungkapkan bahwa total biaya untuk tinggal dan membangun unit di sini selama 60 tahun tidak sampai Rp 2 miliar. Angka ini mungkin terdengar besar, tetapi bandingkan dengan harga properti konvensional di Menteng yang bisa mencapai puluhan hingga ratusan miliar rupiah!
Berikut gambaran biaya yang dikeluarkan penghuni:
- Biaya Konstruksi Unit: Mulai dari Rp 380 juta (untuk unit 40 m2) hingga Rp 1,2 miliar (untuk unit 128 m2). Rata-rata sekitar Rp 700 juta untuk unit 53 m2.
- Sewa Tanah: Sekitar Rp 90 juta per tahun, dibagi secara proporsional antar penghuni (sekitar Rp 1,3 juta per bulan untuk Elisa).
- Iuran Pengelolaan Lingkungan (IPL): Rp 4 ribu per meter persegi.
Menariknya, meskipun tidak memiliki sertifikat hak milik (SHM Sarusun atau SKBG Sarusun), para penghuni punya perjanjian hukum yang kuat. Mereka menyewa unit minimal 5 tahun hingga maksimal 60 tahun, dan hak sewa ini bahkan bisa dijual, diwariskan, atau dipindahkan kepada orang lain melalui koperasi.
Aksesibilitas Juara, Kualitas Hidup Meningkat
Salah satu keuntungan paling terasa adalah lokasi strategis rumah flat Menteng. Berada di Dukuh Atas, Menteng, hunian ini sangat dekat dengan Stasiun Sudirman (KRL), Stasiun MRT Dukuh Atas, LRT, dan halte Transjakarta.
Imanuel Gulo, seorang pengacara muda, bercerita bagaimana hidupnya berubah drastis setelah pindah ke sini. Dulu, ia menghabiskan 2-3 jam sehari untuk perjalanan pulang pergi kantor dari kos atau apartemennya di Jakarta Timur. Kini? Hanya butuh lima menit jalan kaki!
“Tentunya hidup saya jauh lebih berkualitas di sini,” kata Imanuel. “Dulu itu kami butuh waktu dua sampai tiga jam di perjalanan untuk pulang pergi dari tempat kerja, sehingga waktu untuk keluarga itu berkurang. Di sini, jauh lebih baik. Jadi bisa dibayangkan bagaimana berkurangnya beban itu.”
Selain hemat waktu dan biaya transportasi, Imanuel dan penghuni lain merasakan kualitas hidup yang lebih baik. Mereka bisa lebih banyak berjalan kaki, menikmati udara Menteng yang relatif lebih segar, dan bahkan mendengar kicauan burung.
Dinamika Kehidupan Komunal: Susah Senang Bersama
Tinggal di rumah flat Menteng juga berarti hidup dalam sebuah komunitas yang erat. Konsep ini menuntut adaptasi dan kesepakatan bersama, menciptakan dinamika bertetangga yang unik.
Harmoni Bertetangga dan Aturan Bersama
Famega Syavira Putri, penghuni lain, mengungkapkan bahwa rumah flat ini bukan sekadar tempat tinggal, tapi juga komunitas. Ada rapat bulanan antarpenghuni untuk membahas berbagai hal, mulai dari perbaikan talang air hingga aturan bersama seperti tidak menggunakan pemanas air listrik berdaya besar atau ketentuan parkir kendaraan pribadi yang harus dicari di luar.
“Awalnya enggak gampang, tapi selama saling menghormati, semua bisa jalan,” ujar Famega. “Misalnya soal menjemur pakaian, waktu tamu berkunjung, atau jam istirahat malam. Semuanya ada kesepakatannya.”
Kebersamaan ini bahkan meluas ke hal-hal praktis. Elisa Sutanudjaja menyebutkan mereka memiliki mesin cuci bersama. “Toh ngapain satu lantai, kebetulan balkonnya itu, balkon saya sama balkon tetangga saya itu kan nyatu,” jelasnya. Ini menunjukkan bagaimana kolektivitas bisa memangkas biaya dan mempererat hubungan.
Tantangan yang Ada
Meski banyak keuntungannya, tinggal di hunian kolektif seperti ini tentu ada tantangannya. Elisa misalnya, sempat kesulitan mencari pasar tradisional terdekat karena sudah dibongkar pemerintah. Selain itu, adaptasi dengan kehidupan bersama dalam satu gedung dengan banyak keluarga juga butuh proses. Namun, dengan komunikasi yang baik dan kesepakatan yang jelas, semua tantangan ini bisa diatasi.
Masa Depan Hunian Kota: Solusi atau Sekadar Tren?
Rumah flat Menteng ini telah menjadi perbincangan hangat, bahkan menarik minat ratusan orang yang ingin menjadi penghuni. Konsep ini dinilai sebagai jawaban atas krisis perumahan di Jakarta yang lahannya terbatas dan harganya mahal.
Rujak Center for Urban Studies, lembaga yang mengadvokasi konsep ini sejak lama, bahkan sudah berencana mengembangkan rumah flat serupa di Matraman dan Pancoran. Ini adalah bukti bahwa semangat kolektivitas dan inovasi bisa menciptakan hunian terjangkau yang layak, mengubah pandangan bahwa hanya orang kaya yang bisa menikmati kenyamanan tinggal di pusat kota.
Kesimpulan
Gimana rasanya tinggal di rumah flat Menteng begini? Dari cerita para penghuni, jawabannya jelas: sebuah pengalaman yang mengubah hidup. Lebih dari sekadar hunian fisik, ini adalah tentang kualitas hidup yang lebih baik, kemudahan akses, kebersamaan komunitas, dan tentu saja, keterjangkauan finansial di tengah mahalnya ibu kota.
Rumah flat Menteng membuktikan bahwa punya rumah di pusat kota bukan lagi mimpi yang mustahil. Dengan pendekatan yang berbeda, mengedepankan kolektivitas dan nilai sosial di atas keuntungan semata, solusi hunian di Jakarta yang berkelanjutan dan manusiawi bisa terwujud. Mungkin ini adalah awal dari pergeseran paradigma tentang bagaimana kita hidup dan bertetangga di kota-kota besar.