Yogyakarta, zekriansyah.com – Simon Tahamata, nama yang tak asing lagi di kancah sepak bola, kini mengemban peran penting sebagai Kepala Pemandu Bakat PSSI. Dengan mata elangnya yang terlatih, ia bertugas mencari dan mengembangkan talenta terbaik untuk masa depan Garuda. Baru-baru ini, analisa Simon Tahamata usai menonton timnas U-23 berlaga melawan Laos menuai perhatian. Hanya dalam 30 menit tonton timnas, legenda Ajax ini langsung menemukan apa yang ia sebut sebagai kekurangan fundamental.
Legenda sepak bola Simon Tahamata soroti absennya playmaker dominan dalam timnas U-23 Indonesia setelah analisis singkat terhadap performa mereka.
Apa sebenarnya yang Simon lihat di lapangan dan mengapa pandangannya ini begitu penting bagi masa depan sepak bola kita? Artikel ini akan mengupas tuntas sorotan tajam Simon Tahamata, dari performa tim hingga kritik terhadap PSSI, serta peran vitalnya dalam pengembangan pemain muda Indonesia. Mari kita selami lebih dalam!
Momen Krusial 30 Menit dalam Laga Timnas U-23 vs Laos
Pertandingan Timnas U-23 Indonesia melawan Laos di Kualifikasi Piala Asia U-23 2026, yang berakhir imbang 0-0, menjadi sorotan banyak pihak. Hasil ini tentu kurang memuaskan, apalagi mengingat ambisi besar Timnas U-23 untuk lolos ke putaran final.
Simon Tahamata, dengan pengalamannya yang segudang sebagai mantan pemain dan pelatih akademi Ajax, mengaku hanya sempat menyaksikan 30 menit terakhir pertandingan tersebut. Namun, waktu singkat itu sudah cukup baginya untuk menarik kesimpulan penting tentang performa skuad asuhan Gerald Vanenburg.
“Kita Tak Punya Pemain yang Bisa Mendominasi”: Analisa Pedas Simon
Dari pengamatan singkatnya, Simon langsung menunjuk satu masalah utama: ketiadaan pemain pengendali permainan. Ia melihat kedua tim cenderung mengandalkan serangan balik, sebuah pola yang menurutnya kurang efektif jika tidak ada sosok sentral yang mampu mengatur irama.
Meskipun Timnas U-23 Indonesia mendominasi penguasaan bola, ada kekosongan sosok yang bisa ‘mengatur irama’ saat lawan bertahan total. “Menurut saya, kedua tim memainkan serangan-serangan balik, mungkin karena kita punya pemain yang seperti itu. Kita tidak punya pemain yang bisa mendominasi,” kata Simon Tahamata seperti dikutip dari Antaranews.com.
Bayangkan sebuah orkestra yang punya banyak instrumen hebat, tapi tanpa seorang konduktor yang bisa menyatukan semua irama. Begitulah kira-kira gambaran yang diberikan Simon mengenai kebutuhan akan pemain pengendali permainan di lini tengah.
Talenta Saja Tidak Cukup: Pentingnya Kerja Keras dan Strategi Pelatih
Selain menyoroti ketiadaan pemain dominan, Simon Tahamata juga menekankan bahwa talenta sepak bola yang melimpah tidak akan berarti banyak tanpa diimbangi kerja keras dan dedikasi penuh. Pesan ini ditujukan langsung kepada para pemain muda Timnas U-23.
Ia percaya bahwa staf kepelatihan Timnas U-23, di bawah Gerald Vanenburg, harus bisa memaksimalkan potensi pemain yang ada dan menciptakan sistem yang solid. Simon menaruh kepercayaan besar pada tim pelatih untuk meramu strategi terbaik dengan sumber daya yang tersedia.
“Kita punya talenta yang cukup di tim, tapi bukan hanya talenta yang dibutuhkan,” tutur Simon. “Mereka selalu bilang bahwa ketika pemain punya talenta, maka Anda tidak perlu bekerja keras. Anda bekerja keras tapi tidak punya talenta, Anda bisa sukses. Tapi akan lebih baik jika Anda memiliki keduanya.”
Ini adalah filosofi yang selalu dipegang teguh oleh Simon, yang telah lama berkarier di klub-klub besar Eropa seperti Ajax Amsterdam.
Kritik Lain dari Simon Tahamata: PSSI dan Pemilihan Kandang Timnas
Selain menyoroti performa di lapangan, analisa Simon Tahamata juga melontarkan kritik terhadap keputusan PSSI mengenai lokasi pertandingan Timnas. Menurutnya, laga-laga besar dan krusial seperti kualifikasi seharusnya selalu dimainkan di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Jakarta.
Simon menganggap GBK sebagai ‘rumah’ Timnas yang selalu dipenuhi suporter, menciptakan atmosfer luar biasa yang bisa memompa semangat pemain. Berbeda dengan pertandingan di luar Jakarta (seperti di Sidoarjo untuk U-23) yang seringkali sepi penonton dan tidak terjual habis.
“Di sini adalah rumah kita. Kita harus bermain di GBK. Itu adalah stadion yang bagus. Karena saya menyaksikan di televisi tidak banyak penonton yang hadir. Tidak terjual habis. Di sini selalu habis. Dan, bagaimana masyarakat Indonesia bereaksi terhadap pemain, itu sangat mengagumkan,” tegas Simon.
Ia bahkan membandingkannya dengan Timnas Belanda yang selalu bermain di Amsterdam atau Rotterdam untuk pertandingan penting. Namun, untuk laga persahabatan atau uji coba, ia tidak keberatan jika digelar di kota-kota lain seperti Medan atau Bali, untuk membantu mendekatkan tim dengan masyarakat.
Peran Vital Simon Tahamata: Menemukan ‘Berlian’ untuk Masa Depan Garuda
Terlepas dari kritiknya yang konstruktif, peran Simon Tahamata sebagai Kepala Pemandu Bakat PSSI sangatlah vital bagi pengembangan pemain muda Indonesia. Ia tidak hanya menganalisa, tetapi juga aktif mencari talenta-talenta potensial, baik dari dalam negeri maupun diaspora Indonesia di luar negeri, khususnya di Belanda dan Jerman.
Beberapa nama seperti Laurin Ulrich (gelandang serang VfB Stuttgart) dan Reno Munz (bek serba bisa yang pernah di Bayern Leverkusen), pemain berdarah Indonesia di Jerman, disebut-sebut sebagai ‘berlian’ yang ditemukan Simon. Ini menunjukkan komitmen PSSI untuk membangun fondasi sepak bola Indonesia yang kuat menuju Piala Dunia 2026 dan seterusnya. Dengan pengalaman dan keahliannya, Simon diharapkan mampu mengidentifikasi pemain-pemain yang tidak hanya bertalenta, tetapi juga memiliki mentalitas pekerja keras yang ia nilai sangat penting.
Kesimpulan
Dari analisa Simon Tahamata usai menonton timnas U-23, kita bisa melihat dua poin penting: kebutuhan akan pemain pengendali permainan di lapangan dan pentingnya pemilihan lokasi pertandingan yang strategis untuk dukungan maksimal. Kritik ini, meski tajam, adalah bentuk kepedulian seorang legenda yang ingin melihat Timnas Indonesia semakin maju dan berprestasi.
Dengan Simon Tahamata di posisi Kepala Pemandu Bakat, harapan akan lahirnya talenta-talenta baru yang berkualitas semakin besar. Ditambah dengan kerja keras dari para pemain dan staf pelatih, serta dukungan penuh dari PSSI dan masyarakat, masa depan sepak bola Indonesia terlihat cerah. Mari kita berharap kritik ini menjadi pemicu semangat untuk perbaikan demi Garuda yang lebih perkasa di kancah internasional.