Yogyakarta, zekriansyah.com – Belakangan ini, ada kabar kurang menyenangkan dari dunia kesehatan: kasus batuk rejan atau pertusis mengalami lonjakan drastis. Bayangkan, jumlahnya bisa mencapai lima kali lipat dibandingkan tahun lalu! Tentu saja, fenomena ini membuat banyak ahli khawatir, terutama karena penyakit ini sangat berbahaya, khususnya bagi bayi.
Lonjakan kasus batuk rejan mencapai lima kali lipat dibanding tahun lalu, ahli ungkap penurunan cakupan vaksinasi menjadi pemicu utama.
Jadi, mengapa ini bisa terjadi? Para ahli menunjuk satu faktor utama yang patut jadi perhatian kita bersama: penurunan tingkat vaksinasi. Artikel ini akan mengupas tuntas mengapa batuk rejan melonjak, seberapa berbahayanya, dan apa yang bisa kita lakukan untuk melindungi diri dan orang-orang terkasih.
Apa Itu Batuk Rejan dan Mengapa Berbahaya?
Mungkin Anda pernah mendengar istilah “batuk 100 hari” atau sekadar batuk berkepanjangan pada anak. Nah, itulah batuk rejan atau pertusis. Ini adalah penyakit pernapasan yang disebabkan oleh bakteri Bordetella pertussis. Awalnya, gejalanya seringkali mirip dengan pilek biasa, sehingga banyak yang tidak menyadarinya.
Gejala Awal yang Mirip Flu Biasa
Pada tahap awal, gejala batuk rejan memang mengecoh. Anda atau anak Anda mungkin hanya akan merasakan:
- Hidung berair
- Demam ringan
- Batuk yang terasa gatal
Namun, jangan sampai terkecoh. Seiring berjalannya waktu, batuk ini akan berubah menjadi serangan batuk hebat yang bisa sangat parah. Batuknya bisa datang bertubi-tubi hingga membuat penderitanya kesulitan bernapas dan bahkan muntah. Ciri khasnya adalah suara “whooping” atau “melengking” saat anak berusaha menarik napas setelah batuk.
Bahaya Batuk Rejan, Terutama untuk Bayi
Dr. Zachary Hoy, seorang spesialis penyakit menular anak, menegaskan bahwa bayi, terutama yang berusia di bawah 3 bulan, sangat rentan terhadap komplikasi serius akibat batuk rejan. Mengapa? Karena sistem kekebalan tubuh mereka belum sepenuhnya matang.
Sekitar satu dari tiga bayi di bawah usia 1 tahun yang terkena batuk rejan harus dirawat di rumah sakit. Semakin muda usia bayi, semakin tinggi risiko rawat inap dan komplikasi. Beberapa komplikasi serius yang bisa terjadi pada bayi antara lain:
- Apnea: Jeda pernapasan yang berkepanjangan, bisa menyebabkan kekurangan oksigen. Terjadi pada sekitar 2 dari 3 bayi (68%).
- Pneumonia: Infeksi paru-paru yang memperburuk kondisi pernapasan. Terjadi pada sekitar 1 dari 5 bayi (22%).
- Kejang: Bisa menjadi tanda gangguan serius pada otak akibat kurangnya oksigen. Terjadi pada sekitar 1 dari 50 bayi (2%).
- Ensefalopati: Kerusakan otak yang dapat menyebabkan gangguan fungsi otak jangka panjang. Terjadi pada sekitar 1 dari 150 bayi (0,6%).
- Kematian: Tragisnya, sekitar 1 dari 100 bayi (1%) meninggal akibat komplikasi batuk rejan.
Ini bukan sekadar statistik, Bunda. Di Inggris, kasus kematian bayi akibat batuk rejan bahkan menjadi sorotan serius karena angka vaksinasi yang menurun drastis.
Mengapa Kasus Batuk Rejan Melonjak Drastis? Ahli Menjelaskan
Lonjakan kasus batuk rejan bukan hanya terjadi di satu tempat. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) melaporkan peningkatan signifikan di Amerika Serikat, dan di Eropa, kasusnya melonjak ke titik tertinggi dalam dua dekade terakhir. Para ahli sepakat, ada beberapa faktor yang bekerja sama menyebabkan situasi ini.
Penurunan Angka Vaksinasi: Akar Masalahnya
Brian Labus, seorang ahli penyakit menular, serta para ahli dari UK Health Security Agency (UKHSA), menyoroti bahwa penurunan tingkat vaksinasi menjadi penyebab utama. Di Inggris, misalnya, cakupan vaksin anak-anak kini menyentuh titik terendah dalam 15 tahun terakhir. Situasi serupa terjadi pada vaksinasi ibu hamil, yang sempat anjlok drastis sebelum akhirnya meningkat kembali setelah adanya kasus kematian bayi.
“Dengan sangat sedih, dengan adanya kematian bayi lain pada kuartal kedua 2025, kita kembali diingatkan betapa seriusnya batuk rejan bagi bayi yang sangat muda. Doa dan belasungkawa kami bersama keluarga yang begitu tragis kehilangan bayinya,” ujar dr. Gayatri Amirthalingam, wakil direktur UKHSA.
Paul Hunter, profesor kedokteran di Universitas East Anglia, menjelaskan bahwa bayi yang baru lahir tidak memiliki perlindungan terhadap batuk rejan jika ibunya tidak menerima vaksinasi selama kehamilan. Padahal, sebagian besar penyakit yang paling parah sering terjadi sebelum anak-anak mulai divaksinasi pada usia sekitar delapan minggu.
Kekebalan yang Berkurang dan Peran Pandemi COVID-19
Selain penurunan vaksinasi, faktor lain adalah kekebalan tubuh yang berkurang seiring waktu. Penyakit menular sering mengikuti pola reguler, dan peningkatan pertusis diketahui terjadi setiap tujuh hingga 10 tahun.
Ditambah lagi, protokol ketat selama pandemi COVID-19 (seperti penggunaan masker dan pembatasan kontak) memang berhasil menekan kasus flu dan radang. Namun, setelah pandemi berakhir dan protokol dilonggarkan, kasus penyakit menular kembali meningkat. Para ahli menyebut ini sebagai “penurunan kekebalan masyarakat” yang mungkin juga berkontribusi pada lonjakan kasus batuk rejan.
Tantangan dengan Efektivitas Vaksin Pertusis Saat Ini
Para ahli juga menyoroti efektivitas vaksin batuk rejan itu sendiri. Vaksin generasi kedua yang banyak digunakan saat ini, meskipun minim efek samping, ternyata kurang efektif dan hanya memberikan kekebalan dalam jangka waktu yang lebih singkat dibandingkan vaksin generasi pertama. Ini berarti, bahkan mereka yang sudah divaksin pun bisa saja kembali rentan setelah beberapa waktu.
Andrew Preston, seorang profesor dan pakar batuk rejan, menyatakan bahwa “Booster mungkin merupakan pilihan untuk menurunkan penyebaran,” namun penerapannya tidak mudah karena vaksin pertusis sering digabungkan dengan lima vaksin lain dalam satu suntikan.
Pentingnya Vaksinasi: Lindungi Diri dan Orang Tersayang
Melihat semua fakta ini, satu hal menjadi sangat jelas: vaksinasi adalah benteng pertahanan utama kita melawan batuk rejan dan penyakit menular lainnya.
Vaksinasi Ibu Hamil: Tameng Pertama Bayi
Bagi ibu hamil, vaksinasi pertusis sangat direkomendasikan, idealnya antara usia kehamilan 20 hingga 32 minggu. Mengapa? Karena vaksinasi ini akan menyalurkan antibodi pelindung ke bayi dalam kandungan, sehingga mereka terlindungi sejak lahir – periode yang paling krusial dan rentan.
“Vaksinasi adalah perlindungan terbaik terhadap batuk rejan, dan sangat penting agar ibu hamil dan bayi mendapatkan vaksin di waktu yang tepat,” tegas dr. Gayatri Amirthalingam.
Jadwal Imunisasi Anak yang Tak Boleh Terlewat
Setelah lahir, pastikan anak Anda mendapatkan imunisasi rutin sesuai jadwal yang direkomendasikan oleh dokter. Jadwal imunisasi ini dirancang untuk memberikan perlindungan optimal pada waktu yang tepat. Jika anak Anda sedang sakit ringan seperti batuk pilek, konsultasikan dengan dokter anak. Umumnya, vaksinasi bisa ditunda hingga anak sembuh total untuk memastikan respons imun yang baik dan menghindari kebingungan antara efek samping vaksin dengan gejala penyakit.
Misinformasi seputar vaksin juga menjadi pendorong utama menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap vaksinasi secara umum, tidak hanya COVID-19 tetapi juga vaksin rutin lainnya seperti campak dan batuk rejan. Penting bagi kita untuk selalu mencari informasi dari sumber yang terpercaya dan tidak mudah termakan hoaks.
Kesimpulan
Lonjakan kasus batuk rejan yang kita saksikan saat ini adalah pengingat serius akan pentingnya vaksinasi. Penurunan tingkat imunisasi, baik pada anak-anak maupun ibu hamil, telah membuka celah bagi penyakit berbahaya ini untuk kembali merebak dan mengancam nyawa, terutama bayi.
Jangan anggap remeh batuk rejan. Mari kita lindungi diri dan keluarga dengan memastikan jadwal vaksinasi diikuti dengan disiplin. Konsultasikan selalu dengan tenaga medis terpercaya untuk informasi dan jadwal imunisasi yang tepat. Kesehatan kita dan orang-orang tersayang ada di tangan kita.
FAQ
Tanya: Apa penyebab utama lonjakan kasus batuk rejan (pertusis) saat ini?
Jawab: Penurunan tingkat vaksinasi menjadi pemicu utama lonjakan kasus batuk rejan.
Tanya: Apa saja gejala awal batuk rejan yang perlu diwaspadai?
Jawab: Gejala awal batuk rejan mirip flu biasa, meliputi hidung berair, demam ringan, dan batuk yang terasa gatal.
Tanya: Mengapa batuk rejan dianggap berbahaya, terutama bagi bayi?
Jawab: Batuk rejan dapat menyebabkan serangan batuk hebat yang mengganggu pernapasan, dan sangat berbahaya bagi bayi.