Pentingnya Peningkatan **Jumlah Tes Kasus Malaria di Daerah**: Kunci Eliminasi 2030

Dipublikasikan 3 September 2025 oleh admin
Kesehatan

Yogyakarta, zekriansyah.com – Malaria, penyakit yang ditularkan oleh gigitan nyamuk Anopheles betina, masih menjadi momok serius di banyak daerah di Indonesia, terutama yang terpencil dan sulit dijangkau. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah menargetkan Indonesia bebas malaria pada tahun 2030, sebuah cita-cita mulia yang membutuhkan kerja keras dan strategi matang. Namun, di balik angka-angka penurunan kasus yang kadang terlihat menjanjikan, ada sinyal bahaya yang perlu diwaspadai: jumlah tes kasus malaria di daerah dinilai perlu ditingkatkan secara signifikan. Mengapa demikian? Mari kita telusuri lebih dalam mengapa peningkatan deteksi dini ini menjadi fondasi utama untuk mencapai Indonesia bebas malaria.

Pentingnya Peningkatan **Jumlah Tes Kasus Malaria di Daerah**: Kunci Eliminasi 2030

Peningkatan jumlah tes kasus malaria di daerah menjadi kunci krusial untuk mencapai target eliminasi 2030, demi deteksi dini yang akurat dan pencegahan kesalahpahaman progres.

Mengapa Deteksi Dini Malaria Sangat Penting?

Deteksi dini malaria bukan sekadar prosedur medis, melainkan benteng pertama dalam upaya pencegahan dan pengendalian penyakit ini. Tanpa deteksi yang akurat dan masif, kita berisiko terjebak dalam ilusi penurunan kasus yang justru bisa membahayakan.

Ancaman di Balik Angka Penurunan yang “Semu”

Epidemiolog Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI), Masdalina Pane, pernah mengungkapkan bahwa penurunan kasus malaria di Indonesia bisa jadi “semu”. Ia menyoroti bahwa meskipun Annual Parasite Incidence (API) atau angka kesakitan malaria per 1.000 penduduk berisiko terlihat menurun, jumlah tes yang dilakukan tidak kuat atau kurang memadai. Ironisnya, di saat yang sama, positivity rate (persentase hasil tes positif) justru cenderung meningkat. Ini bukan indikator yang baik, karena bisa berarti banyak kasus yang tidak terdeteksi.

Fenomena lain yang sering terjadi adalah klaim “kasus impor” oleh pemerintah daerah untuk menjaga status eliminasi malaria mereka. Namun, Masdalina Pane menekankan bahwa penyelidikan epidemiologi (PE) sebagai bukti kasus impor seringkali sangat rendah, menunjukkan kurangnya transparansi data yang akurat. Jika kasus tidak terdeteksi atau dikategorikan keliru, upaya pengendalian penyakit akan menjadi sia-sia.

Potret Malaria di Indonesia: Tantangan di Wilayah Endemis

Indonesia menyumbang kasus malaria terbanyak kedua di Asia setelah India, dengan estimasi 811.636 kasus positif pada tahun 2021. Meskipun pada 2023 angka positif malaria mengalami penurunan menjadi 418.546 kasus, target nasional Positivity Rate (PR) malaria di bawah 5% masih belum tercapai, dengan capaian nasional pada 2023 sebesar 12,08%. Ini menunjukkan bahwa masih banyak orang yang dites positif dari jumlah tes yang ada.

Tantangan terbesar berada di wilayah endemis tinggi, terutama di Provinsi Papua yang menyumbang hingga 80-90% dari total kasus malaria di Indonesia. Dari 514 kabupaten/kota, masih ada 196 yang belum bebas malaria, dan 23 di antaranya merupakan wilayah endemis tinggi. Kelompok populasi berisiko seperti pekerja tambang, pekerja hutan, personel TNI/POLRI yang mobilitasnya tinggi, serta ibu hamil dan balita, seringkali menjadi sasaran empuk penularan. Parahnya, masyarakat di daerah endemis terkadang masih menganggap malaria sebagai penyakit biasa sehingga kurang waspada, padahal jika tidak diobati, malaria bisa menyebabkan kematian.

Peran Kunci Peningkatan Jumlah Tes Malaria untuk Eliminasi

Untuk memutus rantai penularan dan mencapai eliminasi malaria, peningkatan jumlah tes kasus malaria di daerah adalah langkah krusial. Ini berarti lebih banyak orang yang dites, terutama di wilayah rawan.

Memaksimalkan Metode Diagnosis: RDT dan Mikroskopis

Ada dua metode utama dalam mendiagnosis malaria:

  • Rapid Diagnostic Test (RDT) Malaria: Metode ini mendeteksi parasit dalam sampel darah secara cepat, relatif terjangkau, dan dapat dilakukan di lokasi yang minim fasilitas laboratorium. Kelebihan RDT ini sangat vital untuk daerah terpencil. Di Kota Jayapura misalnya, kader malaria dilengkapi dengan alat RDT untuk melakukan pemeriksaan dari pintu ke pintu, menjangkau lebih banyak warga.
  • Pemeriksaan Mikroskopis: Ini adalah metode diagnosis pilihan karena mudah dan murah. Namun, studi menunjukkan bahwa kesalahan diagnosis mikroskopik sering terjadi akibat kurangnya keterampilan dan pengalaman pemeriksa. Penelitian di Sawahlunto, Sumatera Barat, bahkan menemukan reliabilitas diagnosis mikroskopis tenaga laboratorium puskesmas masih diragukan. Oleh karena itu, peningkatan pelatihan dan standarisasi kualitas tenaga laboratorium sangat diperlukan.

Inovasi dan Strategi Penemuan Kasus Aktif

Kemenkes menekankan pentingnya peningkatan penemuan kasus, baik secara aktif maupun pasif, di daerah endemis maupun daerah bebas malaria yang berisiko. Beberapa strategi inovatif telah diterapkan:

  • Strategi “Token” (Temukan, Obati, Kendalikan): Diterapkan di Kota Jayapura, strategi ini berfokus pada penemuan kasus secara proaktif, pengobatan yang tepat, dan pengendalian vektor nyamuk.
  • Peran Juru Malaria Desa (JMD): Kader-kader terlatih ini menjadi garda terdepan dalam surveilans malaria di tingkat masyarakat. Mereka melakukan deteksi cepat (menggunakan RDT), pendampingan pengobatan, bahkan skrining terhadap pendatang dari daerah endemis untuk mencegah kasus impor. Kabupaten Purworejo adalah contoh sukses di mana peran JMD berhasil menurunkan kasus lokal malaria dari 1.400 kasus pada 2015 menjadi nol kasus lokal pada 2019.
  • Targeted Drug Administration (TDA) dan Intermittent Preventive Treatment in Forest Goers (IPTF): Di Penajam Paser Utara (PPU), strategi ini berhasil menurunkan kasus malaria secara signifikan. Skrining massal di segmen pekerjaan seperti pekerja Ibu Kota Nusantara (IKN) dan pekerja hutan juga dilakukan.

Sebuah penelitian di negara-negara Afrika Sub-Sahara menunjukkan bahwa peningkatan distribusi RDT malaria tidak hanya berkorelasi dengan peningkatan tes darah, tetapi juga menurunkan angka kematian anak secara signifikan. Ini membuktikan bahwa akses terhadap diagnosis cepat secara langsung menyelamatkan nyawa.

Komitmen Bersama Menuju Indonesia Bebas Malaria 2030

Pencapaian target Indonesia bebas malaria pada 2030 membutuhkan komitmen kuat dari semua pihak. Pemerintah daerah memiliki peran sentral dalam menggerakkan masyarakat, memastikan transparansi data, dan mengaudit setiap rupiah anggaran yang dikeluarkan untuk pengendalian malaria.

Selain itu, keterlibatan lintas sektor, termasuk swasta melalui program CSR, serta edukasi masif kepada masyarakat tentang bahaya malaria dan cara pencegahannya, sangatlah penting. Mengingat tantangan seperti mobilitas penduduk dan akses fasilitas kesehatan yang terbatas di beberapa daerah, upaya deteksi dini harus terus digalakkan.

Kesimpulan

Jelaslah bahwa jumlah tes kasus malaria di daerah dinilai perlu ditingkatkan secara serius dan berkelanjutan. Ini bukan hanya tentang memenuhi target, tetapi tentang menyelamatkan nyawa dan meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat. Dengan memperkuat kapasitas diagnosis, mengoptimalkan peran Juru Malaria Desa, menerapkan strategi penemuan kasus aktif, serta menjalin komitmen kuat dari pemerintah dan masyarakat, cita-cita Indonesia bebas malaria 2030 akan semakin nyata. Mari bersama-sama menjadi bagian dari solusi untuk memberantas malaria dari bumi pertiwi!