Pemerintah Dorong Kolaborasi Kuat: Kunci Sukses Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia

Dipublikasikan 6 Agustus 2025 oleh admin
Sosial Politik

Yogyakarta, zekriansyah.com – Penyebaran Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) masih menjadi salah satu tantangan kesehatan paling serius yang kita hadapi, baik di tingkat global maupun nasional. Di Indonesia, berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk menekan angka kasus dan memberikan dukungan bagi mereka yang hidup dengan HIV (ODHIV). Namun, faktanya, persoalan ini tak bisa diatasi sendirian oleh pemerintah. Di sinilah kolaborasi pemerintah dengan berbagai pihak menjadi sangat krusial.

Pemerintah Dorong Kolaborasi Kuat: Kunci Sukses Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia

Pemerintah memperkuat kolaborasi pentahelix untuk menanggulangi HIV/AIDS di Indonesia, menyasar target pencegahan dan pengobatan yang lebih efektif.

Artikel ini akan mengupas tuntas mengapa penguatan kolaborasi pemerintah penanggulangan HIV/AIDS adalah langkah mutlak, bagaimana Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) memegang peran vital, dan target ambisius apa yang ingin kita capai bersama. Mari kita selami lebih dalam.

Mengapa Kolaborasi Lintas Sektor Sangat Mendesak?

Meski upaya telah digalakkan, data menunjukkan bahwa penanganan HIV/AIDS di Indonesia masih menghadapi banyak kendala. Misalnya, jumlah ODHIV yang mengetahui statusnya, menjalani pengobatan Antiretroviral (ARV), dan mencapai supresi virus masih jauh dari target. Pada tahun 2023, hanya sekitar 38% ODHIV yang menjalani pengobatan ARV, dan 35% yang tersupresi virus. Ini angka yang cukup rendah, mengingat target global yang ingin dicapai.

Kantor Staf Presiden (KSP) bahkan mengakui bahwa setelah pembubaran Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) pada 2017, koordinasi dan sinkronisasi program menjadi kurang optimal. Hal ini semakin memperjelas bahwa pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Tenaga Ahli Utama KSP, Brian Sri Prahastuti, menegaskan:

“Pemerintah tentunya tidak bisa bekerja sendiri. Penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS dan PIMS ini juga perlu dukungan dari sektor dunia usaha, akademisi, media, dan tentunya masyarakat dan komunitas.”

Konsep kolaborasi multipihak atau yang dikenal dengan pendekatan pentahelix (melibatkan pemerintah, akademisi, dunia usaha, komunitas, dan media) menjadi kebutuhan mendesak. Ini bukan hanya tentang dukungan dana, tetapi juga tentang berbagi keahlian, jangkauan, dan perspektif untuk intervensi yang lebih efektif.

Potret Kasus HIV/AIDS di Indonesia (Data Pertengahan 2025)

Data terbaru menunjukkan bahwa tantangan masih besar.

Indikator (Nasional) Data
ODHIV Total 564.000 orang
Mengetahui Status 63%
Menjalani Terapi ARV 67%
Mencapai Viral Load Tersupresi 55%

Sumber: Kementerian Kesehatan RI dan Pelaporan Provinsi

Khusus di Sulawesi Selatan, terjadi peningkatan signifikan: 1.636 kasus baru HIV/AIDS hingga September 2024. Kasus didominasi oleh seks berisiko sesama jenis (LSL) sekitar 40–45% dan pekerja seks komersial (WPS) sekitar 39%. Kota Makassar menjadi penyumbang terbesar dengan 702 kasus.

Peran Vital Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dalam Penanggulangan HIV/AIDS

Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) telah lama menjadi tulang punggung dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS, terutama dalam menjangkau populasi kunci yang seringkali sulit dijangkau oleh program pemerintah. Siapa saja populasi kunci ini? Mereka adalah pekerja seks, pengguna narkoba suntik, dan kelompok lelaki seks dengan lelaki (LSL).

Direktur Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Andi Iskandar Harun, menyoroti keunggulan strategis OMS:

“OMS juga lebih fleksibel dalam pendekatan komunitas, lebih sensitif terhadap kebutuhan lokal, serta memiliki pengalaman dalam advokasi dan mobilisasi sosial yang sangat relevan dalam konteks epidemi HIV.”

Kepercayaan yang sudah terbangun antara OMS dan komunitas menjadi aset tak ternilai. Mereka bisa masuk ke celah-celah yang mungkin luput dari pandangan program pemerintah, memberikan edukasi, penjangkauan, hingga pendampingan yang personal.

Swakelola Tipe III: Jembatan Kemitraan yang Lebih Kuat

Untuk memperkuat peran OMS, mekanisme Swakelola Tipe III kini didorong sebagai peluang besar. Apa itu Swakelola Tipe III? Ini adalah bentuk kerja sama di mana pemerintah bisa bekerja sama langsung dengan OMS tanpa melalui proses tender yang rumit. Tujuannya agar program bisa berjalan lebih cepat, tepat sasaran, dan berkelanjutan.

“Swakelola tipe III bukan sekadar mekanisme anggaran, tetapi bentuk pengakuan terhadap kerja-kerja komunitas,” ujar Iskandar Harun. Ini menunjukkan adanya kesadaran bahwa kontribusi OMS perlu diakui dan didukung secara struktural.

Namun, implementasinya tentu butuh perhatian serius. Kejelasan regulasi, transparansi pengadaan, penguatan kapasitas manajemen keuangan dan program OMS, serta sistem monitoring dan evaluasi yang partisipatif sangat diperlukan agar kolaborasi ini berjalan efektif.

Menuju Target “Triple-95” dan “Three Zero” di Tahun 2030

Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Kesehatan, telah menetapkan target ambisius untuk tahun 2030, yaitu “Triple-95″:

  • 95% ODHIV mengetahui statusnya.
  • 95% ODHIV mendapatkan pengobatan ARV.
  • 95% ODHIV dalam pengobatan ARV mengalami supresi virus.

Selain itu, beberapa daerah seperti Kota Bandung bahkan memiliki target “Three Zero”: nol infeksi baru, nol kematian terkait AIDS, dan nol stigma terhadap ODHA.

Mencapai target-target ini mustahil tanpa kolaborasi pemerintah yang kokoh. Wakil Wali Kota Bandung, Erwin, menegaskan bahwa jika hanya mengandalkan pemerintah, target tersebut akan sulit tercapai. Sinergi dari seluruh elemen masyarakat, Organisasi Perangkat Daerah (OPD), layanan kesehatan (rumah sakit dan puskesmas), kewilayahan, serta organisasi masyarakat dan forum warga peduli AIDS (WPA) sangat diperlukan.

Pentingnya peningkatan layanan tes HIV, sosialisasi, deteksi dini, dan pendampingan bagi ODHIV menjadi fokus utama. Kolaborasi ini juga bertujuan untuk menghapus stigma dan diskriminasi yang masih sering dialami oleh ODHIV, karena hal ini menjadi penghalang besar bagi mereka untuk mengakses layanan kesehatan dan hidup normal.

Komitmen Daerah dan Harapan ke Depan

Berbagai daerah di Indonesia telah menunjukkan komitmen kuat dalam penguatan kolaborasi pemerintah penanggulangan HIV/AIDS. Dari Banda Aceh, NTT, hingga Denpasar dan Bogor, inisiatif pertemuan lintas sektor, pembentukan forum peduli AIDS, hingga dorongan untuk memperkuat kemitraan dengan OMS terus dilakukan.

Misalnya, Pemko Banda Aceh menggelar pertemuan lintas sektor untuk memperkuat dukungan, menekankan sinergi multipihak untuk akselerasi penanganan HIV. Di NTT, Gubernur menegaskan pentingnya pendekatan pentahelix untuk penanganan HIV/AIDS di tengah keterbatasan anggaran. Bahkan Bupati Bogor mendorong TP PKK untuk berkolaborasi dengan berbagai organisasi lain dalam penanggulangan HIV/AIDS dan penyalahgunaan narkoba.

Ini adalah bukti bahwa kesadaran akan pentingnya kolaborasi semakin meluas. Namun, tantangannya adalah memastikan bahwa kolaborasi ini tidak hanya “di atas kertas” atau bersifat seremonial. Mengutip kritik dari Indonesia AIDS Coalition (IAC) yang menyebut “kolaborasi semu” pada Hari AIDS Sedunia 2020, ini menjadi pengingat bahwa kolaborasi pemerintah harus sungguh-sungguh, inklusif, dan menjamin hak-hak populasi kunci.

Dengan komitmen jangka panjang, kejelasan regulasi, dan dukungan penuh dari semua pihak, langkah ini bisa menjadi titik balik dalam perang melawan epidemi HIV/AIDS. Mari kita terus dorong pemerintah perkuat kolaborasi pemerintah penanggulangan HIV/AIDS agar target “Triple-95” dan “Three Zero” di tahun 2030 bukan lagi sekadar mimpi, melainkan kenyataan yang bisa kita raih bersama. Bersatu kita kuat, bersama kita akhiri AIDS.