Dunia investasi emas selalu diselimuti aura misteri dan daya tarik yang tak lekang oleh waktu. Emas, yang sejak ribuan tahun lalu diakui sebagai penyimpan nilai dan aset “safe haven”, kerap menjadi primadona kala badai ketidakpastian menerpa ekonomi global. Namun, dalam sepuluh hari terakhir, sebuah fenomena mengejutkan terjadi: harga emas dunia terjun bebas, mencapai level terendah dalam dua minggu, bahkan ketika “musuh abadi” nya, Dolar Amerika Serikat (AS) dan imbal hasil US Treasury, justru sedang melemah. Ini adalah paradoks yang membingungkan banyak investor dan analis, memicu pertanyaan fundamental: mengapa emas tak mampu mempertahankan kilaunya, bahkan saat kondisi seharusnya mendukungnya?
Artikel ini akan mengupas tuntas misteri di balik kejatuhan harga emas yang mencengangkan ini, menganalisis faktor-faktor kompleks yang memengaruhinya, dan bagaimana dinamika pasar global ini beresonansi hingga ke pasar emas domestik. Kita akan menyelami lebih dalam mengapa bantuan dari “musuh abadi” pun tak cukup membendung laju penurunan harga emas, serta prospeknya ke depan.
Emas: Sang Aset “Safe Haven” di Tengah Gejolak Global
Emas telah lama dihormati sebagai aset “safe haven”, sebuah pelabuhan aman yang nilai investasinya cenderung stabil atau bahkan meningkat di tengah gejolak ekonomi, politik, atau pasar keuangan. Daya tarik utama emas terletak pada sifatnya yang tahan inflasi, tidak terpengaruh oleh kebijakan moneter bank sentral layaknya mata uang fiat, dan persepsinya sebagai penyimpan nilai universal. Ketika ketidakpastian global meningkat—baik itu konflik geopolitik, resesi ekonomi, atau ketidakstabilan pasar saham—investor secara naluriah beralih ke emas untuk melindungi kekayaan mereka.
Dalam konteks pasar global, harga emas dunia biasanya berlawanan arah dengan kekuatan Dolar AS dan imbal hasil obligasi pemerintah AS (US Treasury). Dolar AS adalah mata uang utama yang digunakan untuk transaksi emas internasional. Oleh karena itu, pelemahan Dolar AS secara teoritis akan membuat emas lebih murah bagi pembeli yang memegang mata uang lain, sehingga meningkatkan permintaan dan mendorong harga naik. Sementara itu, emas adalah aset yang tidak memberikan imbal hasil (non-yielding asset). Artinya, ia tidak membayar bunga atau dividen kepada pemiliknya. Ketika imbal hasil obligasi pemerintah AS—yang dianggap sebagai aset bebas risiko—turun, daya tarik emas sebagai aset non-yielding akan meningkat karena biaya peluang memegang emas menjadi lebih rendah dibandingkan obligasi. Hubungan terbalik inilah yang menjadikan Dolar AS dan imbal hasil US Treasury sebagai “musuh abadi” emas.
Paradoks Pasar: Mengapa “Musuh Abadi” Tak Berdaya?
Fakta yang membuat kejatuhan harga emas dalam sepuluh hari terakhir begitu membingungkan adalah kondisi “musuh abadi” nya yang justru sedang tidak berdaya. Pada perdagangan Selasa (24/6/2025), harga emas dunia ambles 1,33% di level US$3.323,75 per troy ons, menjadikannya yang terendah sejak 10 Juni 2025. Penurunan ini berlanjut tipis pada Rabu (25/6/2025) pagi di posisi US$3.322,80 per troy ons.
Secara bersamaan, Indeks Dolar AS (DXY) terus melemah, ditutup di 97,858, posisi terendah sejak awal perang Rusia-Ukraina pada 17 Maret 2022. Fenomena serupa juga terjadi pada imbal hasil US Treasury tenor 10 tahun yang jeblok ke 4,29%, terendah sejak 7 Mei 2025. Berdasarkan logika pasar konvensional, melemahnya Dolar AS dan jatuhnya imbal hasil US Treasury seharusnya menjadi angin segar bagi emas, mendorong harganya untuk naik. Namun, kenyataannya justru sebaliknya: emas tetap jatuh, bahkan ketika kondisi makroekonomi seharusnya menguntungkannya.
Paradoks ini mengindikasikan adanya kekuatan lain yang jauh lebih dominan dalam memengaruhi sentimen pasar terhadap emas, yang mampu mengesampingkan pengaruh tradisional dari Dolar AS dan imbal hasil obligasi. Kekuatan-kekuatan ini, seperti yang akan kita bahas, lebih bersifat fundamental dan berakar pada perubahan persepsi risiko global.
Mengurai Faktor Pemicu Kejatuhan Emas
Kejatuhan harga emas yang jeblok terburuk 10 hari ini tidak terjadi dalam vakum. Ada dua faktor utama yang diidentifikasi oleh para analis sebagai pemicu utama di balik anjloknya harga logam mulia ini, yang mampu mengalahkan efek positif dari melemahnya “musuh abadi” nya:
1. De-eskalasi Geopolitik di Timur Tengah
Pemicu utama kejatuhan emas adalah pengumuman Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengenai gencatan senjata antara Israel dan Iran. Konflik di Timur Tengah, terutama antara dua kekuatan regional tersebut, selama ini menjadi salah satu pendorong utama permintaan aset safe haven seperti emas. Ketegangan yang tinggi di kawasan tersebut memicu kekhawatiran akan eskalasi yang lebih luas, mendorong investor untuk mencari perlindungan dalam bentuk emas.
Ketika berita gencatan senjata ini tersiar, optimisme pasar terhadap potensi berakhirnya permusuhan di Timur Tengah langsung melonjak. Ricardo Evangelista, analis senior dari ActivTrades, menjelaskan kepada Reuters bahwa “harga emas sedang menurun hari ini, didorong oleh pergeseran ke arah selera risiko yang lebih besar, karena optimisme tumbuh atas potensi berakhirnya permusuhan di Timur Tengah.” Dengan berkurangnya risiko geopolitik, daya tarik emas sebagai aset safe haven otomatis berkurang. Investor yang sebelumnya memegang emas untuk melindungi diri dari ketidakpastian, kini merasa lebih nyaman untuk beralih kembali ke aset-aset berisiko yang menawarkan potensi keuntungan lebih tinggi, seperti saham.
Meskipun kemudian ada pernyataan dari Menteri Pertahanan Israel yang mengindikasikan kemungkinan serangan balasan, sentimen pasar awal yang terbentuk dari pengumuman gencatan senjata sudah cukup kuat untuk memicu aksi jual emas secara signifikan.
2. Sikap Pragmatis The Fed: Penundaan Pemangkasan Suku Bunga
Faktor kedua yang turut menekan harga emas adalah pernyataan Chairman The Fed (bank sentral AS), Jerome Powell. Dalam kesaksian di hadapan Komite Jasa Keuangan DPR AS, Powell menyampaikan bahwa pemangkasan suku bunga belum akan dilakukan dalam waktu dekat. Ia menyatakan masih menunggu kepastian mengenai dampak ekonomi dari kebijakan tarif yang sedang dirancang oleh Presiden Trump.
Powell menegaskan, “Dampak dari tarif akan bergantung, antara lain, pada seberapa besar akhirnya tarif itu diterapkan. Untuk saat ini, kami berada dalam posisi yang cukup baik untuk menunggu dan melihat arah perekonomian sebelum mempertimbangkan penyesuaian kebijakan.” Pernyataan ini sangat krusial. Pasar sebelumnya mengantisipasi pemotongan suku bunga The Fed sebesar 57 basis poin pada akhir tahun ini. Harapan akan suku bunga yang lebih rendah secara signifikan akan meningkatkan daya tarik emas, karena emas tidak memberikan imbal hasil. Dengan suku bunga yang rendah, biaya peluang memegang emas menjadi lebih kecil.
Namun, dengan sinyal penundaan dari Powell, ekspektasi pemotongan suku bunga menjadi surut. Lingkungan suku bunga yang lebih tinggi (atau setidaknya tidak turun dalam waktu dekat) membuat aset non-yielding seperti emas menjadi kurang menarik dibandingkan aset berimbal hasil. Investor cenderung memindahkan dana mereka ke instrumen yang menawarkan pengembalian lebih pasti di tengah lingkungan suku bunga yang stabil atau meningkat.
Prospek Emas ke Depan: Antara Konsolidasi dan Potensi Kebangkitan
Meskipun harga emas tetap jeblok: terburuk 10 hari ini, para analis tidak serta merta memprediksi kejatuhan yang berkelanjutan. Ada pandangan bahwa ini adalah fase konsolidasi sebelum emas kembali menemukan kekuatannya. Ricardo Evangelista, meskipun melihat penurunan, tetap yakin bahwa “harga emas tidak akan jatuh di bawah angka US$3.000 dalam jangka pendek. Saya melihat level support yang signifikan di US$3.300.”
Analisis dari ANZ juga memberikan gambaran prospek yang lebih optimis dalam jangka menengah hingga panjang. Mereka memperkirakan harga emas kemungkinan akan berkonsolidasi terlebih dahulu sebelum kembali naik ke level US$3.600 per troy ons pada akhir tahun. Lebih jauh lagi, ANZ memproyeksikan emas akan mencapai puncaknya pada akhir tahun 2025, diikuti oleh penurunan bertahap pada tahun 2026 seiring membaiknya prospek pertumbuhan ekonomi dan berkurangnya ketidakpastian perdagangan global.
Beberapa faktor yang dapat mendorong kenaikan harga emas kembali meliputi:
- Kembalinya Ketidakpastian Geopolitik: Meskipun ada gencatan senjata, situasi di Timur Tengah dan belahan dunia lain tetap rentan terhadap eskalasi. Setiap peningkatan ketegangan dapat kembali memicu permintaan safe haven.
- Perubahan Kebijakan The Fed: Jika data ekonomi AS menunjukkan perlambatan signifikan atau inflasi terkendali, The Fed pada akhirnya mungkin akan terpaksa memangkas suku bunga. Hal ini akan kembali meningkatkan daya tarik emas.
- Kelemahan Dolar AS Berkelanjutan: Meskipun efeknya tertutupi saat ini, pelemahan Dolar AS dalam jangka panjang tetap menjadi faktor pendukung bagi harga emas.
- Permintaan Fisik Emas: Permintaan dari bank sentral dan konsumen di negara-negara seperti India dan Tiongkok juga dapat memberikan dukungan harga.
Investor perlu memahami bahwa pasar emas sangat dinamis dan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berinteraksi. Fluktuasi jangka pendek bisa sangat tajam, namun prospek jangka panjang seringkali ditentukan oleh gambaran ekonomi makro dan geopolitik yang lebih besar.
Dinamika Emas Domestik: Studi Kasus Antam
Menariknya, di tengah gejolak harga emas dunia yang anjlok, harga emas Logam Mulia produksi PT Antam Tbk di pasar domestik menunjukkan stabilitas. Pada perdagangan Rabu (25/6/2025), harga emas Antam tercatat stagnan di level Rp1.932.000 per gram. Harga emas yang dibeli kembali (buyback) juga tetap sama dibandingkan sehari sebelumnya, di posisi Rp1.776.000 per gram.
Stabilitas harga emas Antam ini menunjukkan adanya dislokasi atau perbedaan dinamika antara pasar emas global dan domestik. Harga emas Antam tidak selalu bergerak persis mengikuti harga emas dunia karena dipengaruhi oleh beberapa faktor tambahan, seperti:
- Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dolar AS: Meskipun Dolar AS global melemah, pergerakan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS juga sangat memengaruhi harga emas domestik. Jika pelemahan Dolar AS di pasar global tidak diikuti oleh penguatan signifikan Rupiah, atau bahkan Rupiah cenderung melemah, maka harga emas Antam dalam Rupiah bisa tetap stabil atau bahkan naik meskipun harga emas global turun.
- Permintaan dan Penawaran Domestik: Permintaan emas fisik di Indonesia, terutama untuk investasi dan perhiasan, memiliki dinamikanya sendiri yang tidak selalu berkorelasi langsung dengan sentimen investor global terhadap emas sebagai safe haven.
- Kebijakan Perusahaan dan Pajak: Faktor internal PT Antam dan regulasi pemerintah terkait pajak juga dapat memengaruhi penetapan harga jual dan buyback.
Stabilitas harga Antam ini bisa menjadi kabar baik bagi investor domestik yang mungkin khawatir akan dampak langsung dari kejatuhan harga emas dunia. Ini menunjukkan bahwa investasi emas di Indonesia juga memiliki lapisan perlindungan tersendiri dari volatilitas ekstrem pasar global, meskipun tidak sepenuhnya imun.
Kesimpulan: Sebuah Pelajaran dari Kompleksitas Pasar
Kejatuhan harga emas yang tetap jeblok meskipun “sudah dibantu “musuh abadi” nya melemah, adalah sebuah studi kasus yang menarik tentang kompleksitas pasar keuangan modern. Ini menunjukkan bahwa tidak ada satu pun faktor yang berdiri sendiri dalam menentukan harga aset. Interaksi antara sentimen geopolitik, kebijakan moneter bank sentral terkemuka, dan dinamika mata uang dapat menciptakan skenario yang tidak terduga, bahkan membalikkan logika pasar yang paling dasar.
Meskipun emas kehilangan sebagian kilaunya dalam sepuluh hari terakhir, prospeknya sebagai aset strategis tetap kuat. Sebagai investor, penting untuk tidak hanya melihat pergerakan harga jangka pendek, tetapi juga memahami fundamental yang mendasarinya dan prospek jangka panjang. Pasar emas akan selalu menjadi cerminan dari ketidakpastian dan harapan di dunia, dan kemampuannya untuk beradaptasi dengan kondisi yang berubah-ubah akan terus menjadi daya tarik utamanya. Tetaplah terinformasi, karena di balik setiap pergerakan pasar, selalu ada cerita yang lebih dalam untuk diungkap.