Menguak Misteri: Mengapa Harga Emas Malah Turun Usai Serangan AS ke Iran? Analisis Mendalam Pasar Logam Mulia dan Geopolitik Terkini

Dipublikasikan 24 Juni 2025 oleh admin
Finance

Dalam gejolak geopolitik global, emas seringkali dijuluki sebagai “aset safe haven,” tempat berlindung yang aman bagi investor saat ketidakpastian melanda. Logam mulia ini secara tradisional melonjak harganya ketika tensi meningkat, mencerminkan kekhawatiran pasar akan stabilitas ekonomi dan politik. Namun, fenomena yang terjadi baru-baru ini justru membalikkan ekspektasi tersebut. Pasca serangan Amerika Serikat (AS) terhadap fasilitas nuklir Iran, yang seharusnya memicu kenaikan harga emas, pasar justru menyaksikan harga emas malah turun usai serang Iran. Paradoks ini tentu memicu banyak pertanyaan di kalangan investor dan pengamat pasar.

Menguak Misteri: Mengapa Harga Emas Malah Turun Usai Serangan AS ke Iran? Analisis Mendalam Pasar Logam Mulia dan Geopolitik Terkini

Artikel ini akan menyelami lebih dalam alasan di balik pergerakan harga emas yang tidak konvensional ini. Kita akan mengurai berbagai faktor kompleks—mulai dari dinamika geopolitik yang berubah, pergeseran sentimen investor, hingga kebijakan moneter bank sentral—yang secara bersama-sama menciptakan anomali di pasar logam mulia ini. Memahami interaksi antara faktor-faktor ini adalah kunci untuk menavigasi volatilitas pasar di tengah ketidakpastian global.

Paradoks Emas: Ketika ‘Safe Haven’ Tak Lagi Aman atau Menjadi Kurang Diminati

Secara historis, emas adalah aset yang dicari investor di kala krisis. Ketika perang pecah, ketidakpastian ekonomi meningkat, atau inflasi mengancam, investor cenderung memindahkan dananya ke emas sebagai penyimpan nilai yang stabil. Ini karena emas, tidak seperti mata uang atau saham, tidak terpengaruh langsung oleh kebijakan suku bunga atau kinerja korporasi.

Pada akhir pekan lalu, dunia dikejutkan dengan berita serangan udara AS terhadap tiga fasilitas pengayaan uranium di Iran, termasuk situs Fordow yang vital. Aksi militer ini, yang diklaim Presiden Donald Trump bertujuan untuk menghancurkan kapasitas nuklir Iran, secara logis seharusnya memicu lonjakan harga emas. Bahkan, beberapa pengamat pasar sempat memprediksi bahwa harga emas dunia bisa melonjak tajam hingga mencapai US$3.500 per troy ons sebagai respons langsung.

Namun, kenyataan di pasar berbicara lain. Pada perdagangan pagi hari setelah serangan, harga emas dunia di pasar spot justru melemah, tercatat US$3.356,47/troy ons, turun sekitar 0,37%. Meskipun sempat naik tipis di awal perdagangan karena kecemasan investor, tren penurunannya lebih dominan. Fenomena harga emas malah turun usai serang Iran ini menunjukkan bahwa ada faktor-faktor lain yang lebih kuat yang memengaruhi sentimen pasar, menekan fungsi tradisional emas sebagai safe haven.

Faktor-faktor Kunci di Balik Penurunan Harga Emas

Penurunan harga emas pasca serangan AS ke Iran bukanlah kebetulan, melainkan hasil dari interaksi beberapa faktor kompleks yang memengaruhi persepsi risiko dan arah investasi global. Berikut adalah analisis mendalam mengenai pendorong utama di balik paradoks ini:

1. Prospek De-eskalasi Konflik dan Gencatan Senjata Sementara

Salah satu pendorong terbesar di balik penurunan harga emas adalah pengumuman tak terduga dari Presiden AS Donald Trump mengenai adanya “gencatan senjata sementara” antara Israel dan Iran. Meskipun rincian mengenai kesepakatan tersebut tidak dijelaskan secara langsung, unggahan Trump yang menyatakan “SELAMAT DUNIA, SAATNYA UNTUK DAMAI!” memberikan sinyal kuat kepada pasar bahwa konflik terburuk di Timur Tengah kemungkinan besar akan mereda.

Sinyal de-eskalasi ini dengan cepat mengubah sentimen investor. Kekhawatiran akan konflik berkepanjangan dengan keterlibatan AS yang lebih dalam dievaluasi ulang. Seperti yang diungkapkan Chris Weston, kepala riset Pepperstone Group Ltd., prospek ini “memberi lampu hijau untuk menambah risiko.” Artinya, investor yang sebelumnya mencari perlindungan di aset aman seperti emas, kini mulai mengalihkan investasinya kembali ke aset-aset yang lebih berisiko, seperti saham atau komoditas lainnya, yang menawarkan potensi keuntungan lebih tinggi di tengah stabilitas. Penundaan keputusan AS untuk melancarkan serangan lebih lanjut, memberikan Iran kesempatan terakhir untuk bernegosiasi terkait program nuklirnya, juga turut meningkatkan sentimen risiko positif di pasar.

2. Penguatan Dolar AS sebagai Alternatif ‘Safe Haven’

Ketika ketegangan geopolitik meningkat, investor tidak hanya mencari emas sebagai safe haven. Dolar AS, sebagai mata uang cadangan global utama, juga seringkali menjadi pilihan. Pasca serangan AS ke Iran, terjadi aliran pembelian safe haven yang signifikan ke dolar AS di pasar mata uang. Indeks Bloomberg Dollar Spot bahkan naik 0,2%.

Penguatan dolar AS ini memiliki dampak langsung pada harga emas. Emas diperdagangkan dalam dolar AS, sehingga ketika dolar menguat, emas menjadi lebih mahal bagi pemegang mata uang lainnya. Hal ini secara efektif mengurangi daya tarik investasi pada emas, menekan harganya ke bawah. Tim Waterer, Kepala Analis Pasar KCM Trade, menjelaskan bahwa “kenaikan dolar AS ini telah mematok emas kembali dan menyebabkan kinerja logam mulia yang tidak seperti biasanya, meskipun ada risiko yang berasal dari konflik.” Ini menunjukkan bahwa dalam beberapa skenario krisis, daya tarik dolar AS bisa mengungguli atau setidaknya menyeimbangkan daya tarik emas.

3. Kekhawatiran Inflasi dan Kebijakan Moneter The Fed

Faktor lain yang tidak kalah penting adalah kekhawatiran pasar terhadap inflasi dan implikasinya terhadap kebijakan moneter Federal Reserve (The Fed). Meskipun serangan AS ke Iran memicu kekhawatiran akan gangguan pasokan minyak, terutama dari Selat Hormuz yang merupakan jalur vital transportasi minyak dunia, respons Iran yang terukur (seperti serangan rudal ke pangkalan AS di Qatar yang tidak menimbulkan korban) meredakan sebagian besar kekhawatiran eskalasi ekstrem.

Namun, potensi kenaikan harga minyak, jika konflik memanas, tetap menjadi perhatian. Kenaikan harga minyak berpotensi memicu inflasi, dan ini menjadi sentimen negatif bagi emas. Mengapa? Karena emas tidak memberikan imbal hasil bunga. Jika inflasi meningkat dan The Fed terpaksa mempertahankan suku bunga tinggi, atau bahkan menunda rencana pelonggaran kebijakan moneter, maka aset-aset yang memberikan imbal hasil seperti obligasi atau instrumen keuangan lainnya menjadi lebih menarik dibandingkan emas.

Para investor juga mencermati kesaksian Gubernur Federal Reserve, Jerome Powell. Meskipun The Fed mempertahankan suku bunga kebijakan tidak berubah di kisaran 4,25 hingga 4,5 persen setelah pertemuan Juni, Ringkasan Proyeksi Ekonomi (SEP) yang direvisi menunjukkan bahwa para pembuat kebijakan masih mengharapkan suku bunga diturunkan sebesar total 50 basis poin (bp) pada tahun 2025. Namun, jika sentimen inflasi menguat, prospek pelonggaran kebijakan moneter ini bisa tertunda, yang pada gilirannya menekan harga emas.

4. Pergeseran Sentimen Investor dari Aset Aman ke Aset Berisiko

Sebelum serangan AS, konflik Timur Tengah memang memberikan dorongan baru pada reli emas yang telah melesat hampir 30% sepanjang tahun. Namun, setelah pengumuman gencatan senjata dan respons Iran yang terukur, sentimen risiko di pasar global mulai membaik. Investor melihat adanya “lampu hijau” untuk kembali mengambil risiko.

Pergeseran ini terlihat dari pergerakan pasar secara keseluruhan. Meskipun saham di bursa Asia sempat merosot dan harga minyak sempat mencapai titik tertinggi dalam lima bulan, tidak ada tanda-tanda aksi jual panik di seluruh pasar. Justru, investor mulai mengalihkan investasinya dari aset rendah risiko seperti emas ke aset berisiko yang menawarkan potensi pertumbuhan lebih tinggi. Bahkan, aset digital seperti Bitcoin juga mengalami penurunan tajam setelah serangan AS ke Iran, menembus ke bawah level US$101.000. Ini menunjukkan adanya korelasi yang semakin kuat antara aset tradisional dan kripto, di mana sentimen risiko investor menurun secara signifikan di berbagai kelas aset.

Daniel Hynes, Ahli Strategi Senior di ANZ Banking Group Ltd., merangkumnya dengan tepat: “Pasar masih belum yakin bahwa serangan AS terhadap Iran pada akhirnya akan menyebabkan peningkatan signifikan dalam ketegangan geopolitik. Itulah sebabnya kami belum melihat investor berbondong-bondong ke aset safe haven.” Setiap permintaan safe haven yang muncul dapat diimbangi oleh kekhawatiran investor bahwa kenaikan harga minyak berpotensi membuat The Fed mempertahankan suku bunga tinggi di tengah kekhawatiran inflasi.

Analisis Teknikal Emas: Proyeksi Jangka Pendek

Dari perspektif analisis teknikal harian (time daily frame), emas masih terjepit di zona bearish. Indikator Relative Strength Index (RSI) tercatat sebesar 52,41, yang berada di kisaran 50, menandakan bahwa suatu aset sedang menguji support. Sementara itu, indikator Stochastic RSI sudah menyentuh 22,44, mendekati level 20, yang mengindikasikan bahwa emas mulai memasuki tren jenuh jual (oversold). Indikator Average True Range (ATR) 14 hari di angka 58,14 memperlihatkan volatilitas harga mulai memasuki tren fluktuatif.

Untuk hari ini, ada kemungkinan harga emas akan menguji support di US$3.348/troy ons. Jika level ini tertembus, target selanjutnya bisa di US$3.340/troy ons, dengan support terkuat di US$3.318/troy ons. Sebaliknya, jika terjadi penguatan yang solid, target resistance berada di US$3.370/troy ons. Penembusan titik ini berpotensi mengangkat harga emas ke arah US$3.390/troy ons. Prospek teknis jangka pendek menunjukkan bahwa emas mendekati kondisi bearish, melanjutkan penurunannya setelah gagal stabil di atas US$3.400.

Dampak Lebih Luas: Minyak dan Skenario Geopolitik ke Depan

Meskipun fokus utama kita adalah emas, pergerakan harga minyak dan perkembangan geopolitik secara keseluruhan tidak dapat dipisahkan dari dinamika pasar logam mulia. Awalnya, serangan AS ke Iran sempat memicu lonjakan harga minyak karena kekhawatiran akan blokade Selat Hormuz oleh Iran, jalur strategis yang dilalui 22% transportasi minyak dunia. Namun, setelah Iran melancarkan serangan balasan yang “terukur” terhadap pangkalan militer AS di Qatar dan tidak menimbulkan korban, harga minyak justru anjlok lebih dari enam persen. Hal ini mengindikasikan bahwa pasar tidak melihat adanya eskalasi yang akan mengganggu aliran minyak secara signifikan, setidaknya dalam waktu dekat.

Kedepannya, para pelaku pasar akan terus memantau setiap perkembangan terkait konflik Iran-Israel. Jika Iran setuju untuk kembali ke negosiasi mengenai program nuklir, emas dapat tetap berada di bawah tekanan jual. Namun, jika terjadi eskalasi lebih lanjut, dengan Iran menolak untuk bernegosiasi dan AS mengancam intervensi militer yang lebih besar (seperti yang sempat diancamkan Trump dengan “tragedi” yang belum pernah terjadi sebelumnya), logam mulia ini kemungkinan akan kembali menunjukkan ketangguhannya sebagai safe haven.

Skenario geopolitik yang lebih luas juga mencakup potensi balasan dari proksi Iran seperti Hizbullah dan Houthi, kemungkinan dukungan militer diam-diam dari Rusia dan Tiongkok kepada Iran, serta respons pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei. Semua ini akan terus membentuk persepsi risiko pasar dan memengaruhi harga aset, termasuk emas.

Kesimpulan

Fenomena harga emas malah turun usai serang Iran adalah sebuah studi kasus menarik tentang kompleksitas pasar global yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling terkait. Emas, meskipun secara fundamental adalah safe haven, tidak bergerak dalam ruang hampa. Penurunannya kali ini bukan semata-mata kegagalan peran safe haven-nya, melainkan cerminan dari:

  • De-eskalasi yang dipersepsikan: Adanya sinyal gencatan senjata dan respons Iran yang terukur meredakan kekhawatiran akan konflik berkepanjangan.
  • Penguatan Dolar AS: Dolar mengambil peran sebagai safe haven alternatif, membuat emas lebih mahal.
  • Kekhawatiran Inflasi dan Kebijakan The Fed: Prospek suku bunga tinggi untuk mengatasi inflasi membuat aset tanpa imbal hasil seperti emas kurang menarik.
  • Pergeseran Sentimen Risiko: Investor kembali berani mengambil risiko, mengalihkan dana dari aset aman ke aset berisiko.

Pasar finansial selalu dinamis dan penuh kejutan. Meskipun intuisi awal mungkin menunjukkan kenaikan harga emas di tengah konflik, analisis mendalam mengungkapkan bahwa sentimen pasar dipengaruhi oleh lapisan-lapisan informasi dan ekspektasi yang kompleks. Bagi investor, memahami nuansa ini adalah krusial untuk membuat keputusan yang tepat. Geopolitik dan ekonomi global akan terus berinteraksi, menciptakan tantangan sekaligus peluang. Tetaplah terinformasi dan adaptif terhadap perubahan adalah kunci untuk menavigasi volatilitas yang akan datang.