Mengapa Harga Emas Anjlok Drastis: Gencatan Senjata Israel-Iran dan Dinamika Pasar Global yang Mengguncang Logam Mulia

Dipublikasikan 25 Juni 2025 oleh admin
Finance

Dunia investasi kembali diguncang. Harga emas, yang selama ini dikenal sebagai aset safe haven atau lindung nilai di tengah ketidakpastian, tiba-tiba anjlok drastis mencapai level terendah dalam lebih dari dua pekan terakhir. Penurunan signifikan ini, yang terjadi pada perdagangan Selasa (24/6/2025), secara eksplisit dipicu oleh pengumuman gencatan senjata antara Israel dan Iran. Namun, apakah hanya itu satu-satunya faktor yang bermain? Artikel ini akan mengupas tuntas dinamika di balik merosotnya harga emas, menelisik interaksi kompleks antara geopolitik, kebijakan moneter, dan sentimen pasar global, serta memberikan perspektif komprehensif bagi Anda, para investor dan pengamat ekonomi.

Mengapa Harga Emas Anjlok Drastis: Gencatan Senjata Israel-Iran dan Dinamika Pasar Global yang Mengguncang Logam Mulia

Memahami pergerakan harga emas di tengah gejolak global adalah kunci untuk mengambil keputusan investasi yang cerdas. Kita akan menjelajahi bagaimana kabar perdamaian di Timur Tengah dapat seketika mengubah lanskap pasar, serta peran krusial dari bank sentral Amerika Serikat (The Fed) dan faktor ekonomi makro lainnya yang seringkali terabaikan namun memiliki dampak jangka panjang yang mendalam.

Gencatan Senjata Israel-Iran: Pemicu Utama Anjloknya Emas

Pada Selasa, 24 Juni 2025, pasar global dikejutkan dengan pengumuman gencatan senjata antara Israel dan Iran, yang dikonfirmasi oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Kabar ini sontak memicu perubahan sentimen investor secara masif, dari mode risk-off (mencari aset aman) menjadi risk-on (mencari aset berisiko), dan emas menjadi salah satu korban utamanya.

Harga emas spot jatuh 1,5% ke posisi US$3.316,80 per troy ons, setelah sempat melemah lebih dari 2% ke level terendah sejak 9 Juni. Sementara itu, kontrak berjangka emas AS ditutup jatuh 1,8% di level US$3.333,9. Penurunan ini menandai koreksi harian terbesar dalam lebih dari lima pekan, dengan emas sempat merosot hingga 2,2% ke bawah US$3.296 per troy ounce pada perdagangan siang hari New York.

Emas sebagai Aset Safe Haven: Mengapa Reaksi Ini Terjadi?

Untuk memahami mengapa gencatan senjata memiliki dampak sedemikian besar, kita perlu mengingat kembali peran fundamental emas dalam portofolio investasi. Emas telah lama diakui sebagai aset safe haven, yang berarti nilainya cenderung stabil atau bahkan meningkat di tengah ketidakpastian ekonomi dan geopolitik. Ketika konflik atau krisis terjadi, investor berbondong-bondong memindahkan dananya dari aset-aset berisiko (seperti saham) ke aset yang dianggap lebih aman seperti emas, obligasi pemerintah, atau mata uang tertentu.

Ketegangan yang memanas di Timur Tengah antara Israel dan Iran, yang sebelumnya memicu kekhawatiran eskalasi konflik regional, secara signifikan mendorong permintaan akan emas. Bahkan, ketidakpastian geopolitik ini, bersama dengan ketegangan perdagangan dan pembelian agresif oleh bank sentral, telah menyebabkan harga emas melonjak sekitar 27% sepanjang tahun ini, mencapai rekor sekitar US$3.500 per ounce pada bulan April.

Namun, begitu sinyal perdamaian muncul melalui pengumuman gencatan senjata, permintaan terhadap aset lindung nilai seperti emas pun mereda. Investor melihat adanya peluang untuk kembali berinvestasi pada aset-aset yang menjanjikan imbal hasil lebih tinggi, seperti saham global yang langsung melonjak, sementara harga minyak mentah juga turun tajam. Ini adalah pergeseran klasik dari mode risk-off ke risk-on, yang secara langsung menekan daya tarik emas.

Meskipun demikian, beberapa analis mengingatkan bahwa gencatan senjata ini masih diwarnai ketidakpastian. Presiden Trump sendiri sempat mengecam kedua belah pihak atas dugaan pelanggaran awal kesepakatan. Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, bahkan sempat menyatakan telah memerintahkan serangan baru ke Teheran sebagai tanggapan atas peluncuran misil yang dinilai sebagai pelanggaran gencatan senjata oleh Iran. Namun, kesepakatan tersebut kini dikabarkan kembali diberlakukan, dengan Israel setuju untuk menahan serangan lanjutan. Selama belum ada kejelasan penuh tentang keberlanjutan gencatan senjata, potensi penurunan harga emas kemungkinan masih terbatas.

Bukan Hanya Geopolitik: Peran Kebijakan Moneter The Fed

Di balik gejolak geopolitik, ada faktor lain yang tak kalah penting dalam memengaruhi harga emas: kebijakan moneter Federal Reserve (The Fed) Amerika Serikat. Logam mulia ini sangat sensitif terhadap perubahan suku bunga, karena emas adalah aset yang tidak memberikan imbal hasil (non-yielding asset).

Pada saat yang sama dengan anjloknya harga emas, Ketua The Fed Jerome Powell menyampaikan pandangannya bahwa bank sentral masih membutuhkan waktu untuk menilai dampak kenaikan tarif terhadap inflasi sebelum mempertimbangkan pemangkasan suku bunga. Pernyataan Powell ini, yang cenderung hawkish atau berhati-hati, mempertegas sikap The Fed yang belum memiliki urgensi untuk menurunkan suku bunga dalam waktu dekat.

Dilema Dolar AS dan Imbal Hasil Obligasi: “Musuh Abadi” Emas

Biasanya, harga emas cenderung berkinerja lebih baik dalam lingkungan suku bunga rendah. Mengapa demikian? Karena ketika suku bunga rendah, instrumen berimbal hasil seperti obligasi menjadi kurang menarik, sehingga investor beralih ke emas yang tidak membayar bunga namun menawarkan stabilitas nilai. Sebaliknya, jika suku bunga tinggi dipertahankan, emas akan kesulitan menguat karena daya tariknya sebagai aset non-yield menjadi berkurang.

Pasar global saat ini memperkirakan pemangkasan suku bunga Fed sebesar 50 basis poin hingga akhir tahun, dimulai dengan 25 basis poin pada Oktober. Namun, pernyataan Powell yang kurang dovish (cenderung mendukung penurunan suku bunga) telah meredam ekspektasi ini, memberikan tekanan tambahan pada harga emas.

Yang menarik, fenomena ini terjadi bahkan ketika dua “musuh abadi” emas, yaitu Dolar AS dan imbal hasil US Treasury, sedang melemah. Indeks dolar AS terus melemah dan ditutup di 97,858, posisi terendah sejak Maret 2022. Di sisi lain, imbal hasil US Treasury tenor 10 tahun juga jeblok ke 4,29%, terendah sejak Mei 2025. Secara teori, melemahnya dolar seharusnya meningkatkan permintaan emas karena pembelian emas dikonversi dalam dolar AS, membuatnya lebih murah bagi pemegang mata uang lain. Demikian pula, jatuhnya imbal hasil US Treasury seharusnya membuat emas lebih menarik. Namun, dalam kasus ini, sentimen geopolitik yang kuat dan sikap The Fed yang hati-hati terbukti lebih dominan dalam menekan harga emas.

Faktor Ekonomi Makro Lain yang Membayangi Harga Emas

Selain sentimen geopolitik dan kebijakan moneter, ada beberapa faktor ekonomi makro lain yang juga turut memengaruhi pergerakan harga emas, baik dalam jangka pendek maupun panjang.

Defisit Anggaran AS dan Perang Dagang Trump

Beberapa analis, seperti dari Bank of America (BofA), berpendapat bahwa perang dan konflik geopolitik jarang menjadi pendorong pertumbuhan jangka panjang harga emas. Sebaliknya, prospek harga emas kemungkinan akan lebih dipengaruhi oleh defisit anggaran AS. BofA memperkirakan harga logam mulia bisa mencapai US$4.000 per ons setahun ke depan, salah satunya didorong oleh kekhawatiran atas keberlanjutan utang AS. Jika kekurangan fiskal tidak menurun, ditambah dengan volatilitas pasar, maka bisa menarik lebih banyak pembeli emas.

Di sisi lain, kekhawatiran ekonomi yang diciptakan oleh agenda tarif Donald Trump, yang seringkali memicu perang dagang, juga menjadi faktor yang membuat investor tetap waspada. Meskipun kondisi ini dapat mendorong The Fed untuk melanjutkan pelonggaran moneter dalam beberapa bulan mendatang, pernyataan Powell yang menegaskan tidak perlu terburu-buru telah meredam ekspektasi tersebut.

Akumulasi Emas oleh Bank Sentral

Menariknya, di tengah fluktuasi pasar, bank sentral di seluruh dunia terus menunjukkan minat besar terhadap emas. Data dari World Gold Council menunjukkan bahwa bank sentral memandang emas sebagai aset multifungsi, dengan tiga alasan utama memegang emas adalah kinerjanya selama periode ketidakpastian, kegunaannya sebagai alat diversifikasi, dan fungsinya sebagai penyimpan nilai.

BofA memperkirakan kepemilikan emas oleh bank sentral kini setara dengan hampir 18% dari total utang publik AS yang beredar, naik dari 13% satu dekade lalu. Tren ini menunjukkan strategi diversifikasi yang lebih luas dari obligasi Treasury AS, yang dapat memberikan dorongan tambahan bagi harga emas dalam jangka panjang, terlepas dari gejolak jangka pendek.

Proyeksi dan Prospek Harga Emas ke Depan

Meskipun harga emas saat ini bergerak dalam pola mendatar (sideways) atau bahkan terkoreksi, para analis pasar memberikan beragam pandangan mengenai prospeknya ke depan.

Dalam jangka pendek, emas masih memiliki zona support kuat di sekitar US$3.300, dan bahkan lebih solid di kisaran US$3.250. Beberapa pengamat memproyeksikan bahwa harga emas dunia berpeluang menuju titik terendah di level US$3.266. Namun, jika level ini tidak tercapai, kemungkinan harga emas akan berbalik kembali ke level US$3.375 atau bahkan rebound ke kisaran US$3.353. Konsolidasi harga emas kemungkinan akan terjadi dalam waktu dekat sebelum kembali menguat.

Untuk jangka panjang, sentimen terhadap emas tetap optimistis. UBS mempertahankan target kenaikan di level US$3.800 per ons tahun ini. Sementara itu, BofA bahkan memperkirakan harga logam mulia bisa mencapai US$4.000 per ons dalam satu tahun. Proyeksi ini didasarkan pada asumsi bahwa meskipun konflik antara Israel dan Iran bisa saja meningkat, konflik jarang menjadi pendorong harga yang bertahan lama. Arah negosiasi anggaran AS, jika kekurangan fiskal tidak menurun, ditambah dengan volatilitas pasar, bisa menjadi faktor krusial yang menarik lebih banyak pembeli emas.

Analis ANZ juga memproyeksikan emas akan mencapai puncaknya pada akhir tahun 2025, diikuti oleh penurunan bertahap pada tahun 2026 seiring membaiknya prospek pertumbuhan ekonomi dan berkurangnya ketidakpastian perdagangan global. Ini menunjukkan bahwa meskipun ada koreksi saat ini, potensi kenaikan masih terbuka lebar, terutama jika The Fed pada akhirnya mulai memangkas suku bunga atau jika kekhawatiran ekonomi global kembali meningkat.

Strategi Investasi Emas di Tengah Volatilitas Pasar

Volatilitas harga emas saat ini menuntut strategi investasi yang bijak. Bagi investor dari semua profil risiko, mempertimbangkan diversifikasi investasi di emas logam mulia dapat mengamankan portofolio dari dampak gejolak pasar akibat ketidakpastian ekonomi dan konflik geopolitik.

Berikut adalah beberapa strategi yang dapat dipertimbangkan:

  • Diversifikasi Portofolio: Para manajer portofolio memandang emas sebagai aset dengan banyak fungsi, bukan hanya sebagai perdagangan yang bergantung pada level harga. Emas bisa menjadi alat diversifikasi yang efektif untuk mengurangi risiko keseluruhan portofolio Anda.
  • Strategi Akumulasi Bertahap (Dollar Cost Averaging – DCA): Meskipun tren harga emas sejak tahun lalu cenderung terus menguat, namun tetap ada fluktuasi dalam jangka pendek. Oleh karena itu, strategi akumulasi bertahap akan lebih tepat dibandingkan dengan strategi investasi lump sum (sekali bayar dalam jumlah besar). Dengan DCA, Anda berinvestasi secara rutin dalam jumlah tetap, sehingga rata-rata harga beli Anda menjadi lebih baik seiring waktu, dan risiko penurunan harga dapat dikelola.
  • Memahami Level Support dan Resistance: Secara teknikal, harga emas dapat mengonfirmasi kelanjutan tren kenaikan jika mampu menembus harga US$3.500. Sebaliknya, jika harga emas belum mampu menembus level tersebut, investor bisa tetap berinvestasi secara bertahap.
  • Mengelola Risiko: Penting untuk selalu bijak dalam berinvestasi di instrumen emas untuk mengelola risiko dengan baik. Jangan mengalokasikan seluruh dana Anda pada satu jenis aset saja.
  • Mempertimbangkan Investasi Emas Digital: Dengan kemajuan teknologi, investasi emas fisik kini bisa diakses secara digital melalui berbagai platform. Ini menawarkan kemudahan dan fleksibilitas bagi investor untuk memiliki emas fisik yang dapat dibeli secara online dan dicetak fisik jika diinginkan.

Kesimpulan

Anjloknya harga emas yang dipicu oleh gencatan senjata antara Israel dan Iran adalah pengingat kuat akan betapa sensitifnya pasar komoditas terhadap perubahan sentimen geopolitik. Emas, sebagai aset safe haven, secara alami akan kehilangan daya tariknya ketika ketegangan mereda, mendorong investor kembali ke aset berisiko. Namun, analisis yang lebih mendalam menunjukkan bahwa faktor-faktor lain seperti kebijakan suku bunga The Fed dan dinamika ekonomi makro global, seperti defisit anggaran AS, juga memainkan peran krusial dalam membentuk lintasan harga emas, terutama dalam jangka panjang.

Meskipun volatilitas akan selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari pasar emas, peran fundamentalnya sebagai penyimpan nilai dan alat diversifikasi portofolio tetap tak tergoyahkan. Bagi investor, kunci untuk menavigasi dinamika ini adalah dengan tetap terinformasi, memahami pemicu-pemicu utama, dan menerapkan strategi investasi yang disiplin dan sesuai dengan profil risiko. Dengan demikian, di tengah gejolak sekalipun, potensi keuntungan dari logam mulia ini tetap dapat dioptimalkan.