Gejolak geopolitik kerap menjadi angin pencetus badai di pasar keuangan global. Baru-baru ini, keputusan Amerika Serikat (AS) untuk melancarkan serangan udara ke fasilitas nuklir Iran telah mengirimkan gelombang kejut yang signifikan, memicu kekhawatiran dan menyebabkan aset negara berkembang melemah usai serangan Iran. Peristiwa ini, yang terjadi di tengah ketegangan yang sudah memanas antara Israel dan Iran, tidak hanya memengaruhi harga minyak dan aset kripto, tetapi juga menekan mata uang dan bursa saham di berbagai negara, khususnya di kawasan Asia.
Artikel ini akan mengupas tuntas dampak multidimensional dari eskalasi konflik di Timur Tengah ini terhadap pasar keuangan negara berkembang. Kita akan menelusuri bagaimana sentimen investor berubah, aset mana yang paling terpukul, dan langkah-langkah yang diambil oleh otoritas moneter untuk meredam gejolak. Lebih dari sekadar laporan berita, mari kita selami analisis mendalam tentang mengapa peristiwa ini begitu krusial dan apa saja prospek yang mungkin terbentang di hadapan.
Katalis Geopolitik: Titik Balik di Timur Tengah
Serangan udara yang belum pernah terjadi sebelumnya oleh AS terhadap tiga fasilitas nuklir utama Iran – Fordow, Natanz, dan Isfahan – pada 22 Juni 2025, menandai babak baru dalam dinamika konflik di Timur Tengah. Presiden AS Donald Trump secara eksplisit memerintahkan penggunaan bom penembus bunker, sebuah tindakan militer langsung pertama Washington terhadap Iran setelah puluhan tahun ketegangan. Operasi besar-besaran ini melibatkan 125 pesawat tempur dan peluncuran rudal Tomahawk, mengindikasikan keseriusan Washington dalam menekan ambisi nuklir Teheran.
Langkah ini diambil setelah serangan misil baru dari Israel ke Iran, dan berlangsung saat konflik Israel-Iran telah memasuki hari ke-11. Keputusan Trump ini secara fundamental mengubah lanskap risiko geopolitik global, mendorong Timur Tengah ke wilayah yang belum terpetakan. Peringatan balasan dari Republik Islam Iran dan sikap Israel yang tak menunjukkan tanda-tanda meredam serangan, secara otomatis meningkatkan tingkat ketidakpastian di pasar internasional.
Reaksi Pasar Global: Gelombang Kejut yang Menghantam
Dampak langsung dari serangan AS ini terasa di berbagai lini pasar keuangan global, terutama memicu sentimen risk-off yang membuat investor menarik diri dari aset-aset berisiko.
Mata Uang Negara Berkembang Tertekan
Salah satu indikator pertama yang menunjukkan pelemahan adalah nilai tukar mata uang negara berkembang. Won Korea Selatan memimpin pelemahan di kawasan Asia, berkontribusi pada penurunan 0,3% dalam Bloomberg Asia Dollar Index. Rupiah Indonesia juga tak luput dari tekanan. Bank Indonesia (BI) mengonfirmasi telah melakukan intervensi di pasar spot dan non-spot untuk menahan pelemahan rupiah, yang sempat menyentuh level Rp16.484 per dolar AS berdasarkan kurs referensi JISDOR.
Pelemahan ini bukan hanya dialami oleh rupiah dan won. Mata uang utama negara-negara G10 seperti euro, poundsterling, dan yen Jepang, serta sejumlah mata uang Asia lainnya seperti ringgit Malaysia (MYR) dan peso Filipina (PHP), juga mengalami pelemahan terhadap dolar AS. Indeks dolar AS (DXY) menguat signifikan, mencerminkan pergeseran dana investor ke aset yang dianggap aman (safe haven) di tengah ketidakpastian.
Bursa Saham Bergejolak Hebat
Pasar saham global juga menunjukkan respons negatif yang serupa. Indeks saham negara berkembang MSCI (MSCI EM Equities Index) turun hingga 1,3%. Di Asia, indeks MSCI untuk saham Asia Pasifik di luar Jepang mencatat penurunan tajam hingga 1,0%. Sentimen negatif juga menyeret indeks saham unggulan di Tiongkok, CSI300, yang melemah 0,2%, dan Nikkei Jepang yang tertekan 0,6% meskipun data manufaktur menunjukkan perbaikan.
Di Indonesia, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bahkan anjlok hingga 2% atau sekitar 142 poin, menyentuh 6.765,06 pada pukul 09.05 WIB. Penurunan ini dipicu oleh kekhawatiran investor terhadap potensi lonjakan harga minyak dan inflasi global. Tekanan jual terjadi di berbagai sektor, termasuk perbankan, properti, dan manufaktur, dengan investor institusi dan ritel memilih posisi wait and see.
Komoditas dan Kripto dalam Pusaran Ketidakpastian
Harga minyak melonjak tajam usai serangan, dengan Brent dilaporkan naik mendekati US$95 per barel dan para analis memperingatkan harga bisa mendekati US$100 per barel. Lonjakan ini dipicu oleh kekhawatiran akan terganggunya pasokan energi dari Timur Tengah, terutama jika Iran membalas serangan dengan menutup Selat Hormuz, jalur strategis yang dilalui sekitar 20% pasokan minyak dunia. Namun, harga minyak mulai mereda secara teknikal, dengan WTI turun tipis ke US$73,68 per barel dan Brent ke US$75,36.
Aset safe haven tradisional seperti emas menunjukkan pergerakan yang beragam. Awalnya, emas turun tipis ke US$3.376 per ons, mengindikasikan investor masih menahan diri. Sementara itu, pasar kripto juga terguncang hebat. Bitcoin anjlok di bawah US$100.000 untuk pertama kalinya sejak awal Mei 2025, turun 3,8% menjadi US$98.904. Ether, token kripto terbesar kedua, juga turun 10%. Volume likuidasi besar-besaran di pasar kripto menembus US$1 miliar dalam 24 jam, menunjukkan kepanikan di kalangan investor.
Mengurai Akar Kekhawatiran Investor
Pelemahan aset negara berkembang melemah usai serangan Iran bukan sekadar reaksi spontan, melainkan akumulasi dari beberapa kekhawatiran fundamental yang diperparah oleh eskalasi geopolitik:
- Ancaman Pasokan Energi Global: Selat Hormuz adalah urat nadi perdagangan minyak dunia. Potensi penutupannya, meskipun dianggap tidak mungkin oleh beberapa analis karena konsekuensi militer AS yang cepat dan brutal, tetap menjadi momok yang memicu lonjakan harga minyak. Negara-negara Asia, yang sebagian besar bergantung pada impor energi, sangat rentan terhadap gangguan ini.
- Tekanan Inflasi dan Kebijakan Moneter: Lonjakan harga minyak secara langsung memicu risiko inflasi, terutama inflasi impor. Bagi negara seperti Indonesia, ini berarti pembengkakan subsidi energi dan penyempitan ruang kebijakan fiskal dan moneter. Jika inflasi AS naik, Federal Reserve (The Fed) bisa menunda rencana pemangkasan suku bunga, yang akan mempercepat arus modal keluar dari negara berkembang.
- Sentimen Risk-Off dan Capital Flight: Ketidakpastian mendorong investor untuk “terbang” ke aset yang lebih aman. Dolar AS dan obligasi pemerintah AS menjadi pilihan utama, menyebabkan aliran dana keluar dari pasar negara berkembang. Hal ini menekan nilai tukar mata uang lokal dan bursa saham.
- Perang Dagang dan Data Ekonomi Lemah: Ketegangan geopolitik terjadi di tengah ketidakpastian ekonomi global akibat perang dagang yang masih berlangsung. Data ekonomi AS yang lemah, seperti penurunan penjualan ritel, menambah kekhawatiran pasar. Kondisi ini membuat bank sentral seperti The Fed kesulitan mendapatkan sinyal yang jelas untuk kebijakan suku bunga.
Perspektif yang Berbeda: Resiliensi di Tengah Gejolak
Meskipun gambaran umum menunjukkan pelemahan, ada beberapa pandangan dan indikator yang menawarkan nuansa berbeda:
- Ancaman Nuklir Diredam: Sebagian analis, seperti Dan Ives dari Wedbush Securities, berpendapat bahwa reaksi pasar yang relatif tenang mencerminkan pandangan bahwa ancaman nuklir Iran kini telah dinetralisir oleh serangan AS. Mereka melihat serangan ini sebagai bentuk “kelegaan” karena ancaman yang membayangi kawasan kini dianggap hilang.
- Konflik Terisolasi: Banyak pihak meyakini bahwa konflik antara Iran dan Israel, termasuk serangan AS, akan tetap bersifat “terisolasi” dan tidak akan meluas ke negara-negara lain di kawasan. Pandangan ini mengurangi tingkat risiko sistemik yang membahayakan stabilitas keuangan dunia.
- Ketidakmampuan Iran Membalas: Analis seperti Marko Papic dari GeoMacro Strategy menilai bahwa kemungkinan Iran menutup Selat Hormuz sangat kecil karena “alat pembalasan yang tersedia bagi Teheran saat ini sangat terbatas.” Iran juga disebut “sendirian” dalam menghadapi AS dan Israel, tanpa dukungan nyata dari sekutu seperti BRICS, Rusia, atau Tiongkok, apalagi jaringan proksi yang kini melemah.
- Optimisme Pasar AS: Ed Yardeni, pendiri Yardeni Research, bahkan memproyeksikan indeks S&P 500 akan mencapai 6.500 poin pada akhir 2025, mencerminkan keyakinannya bahwa pasar AS akan tetap kuat. Ia melihat langkah militer Trump sebagai pemulihan daya tangkal militer AS dan penguatan kredibilitas doktrin “perdamaian melalui kekuatan.”
- Fokus pada Fundamental: Reaksi pasar yang cenderung stabil pasca-serangan AS menunjukkan bahwa pelaku pasar global kini lebih fokus pada risiko yang dapat dihitung dan dikendalikan. Selama jalur pasokan energi tetap terbuka dan tidak terjadi disrupsi besar di Selat Hormuz, pasar kemungkinan akan kembali fokus pada data fundamental seperti inflasi, kebijakan suku bunga, dan proyeksi pertumbuhan ekonomi global.
Implikasi Spesifik bagi Indonesia dan Langkah Antisipatif
Sebagai negara net importir energi, Indonesia sangat rentan terhadap gejolak harga minyak global dan penguatan dolar AS. Pelemahan rupiah, anjloknya IHSG, dan potensi inflasi menjadi tantangan nyata.
- Tekanan APBN: Lonjakan harga minyak berpotensi membengkak subsidi energi, sementara target defisit APBN 2025 sebesar 2,6% dari PDB menjadi sulit dicapai tanpa penyesuaian signifikan.
- Daya Beli Masyarakat: Kenaikan harga barang konsumsi, terutama yang berbasis impor dan energi, akan menekan konsumsi rumah tangga yang merupakan penopang utama pertumbuhan ekonomi domestik.
- Strategi Pemerintah: Ekonom Syafruddin Karimi dari Universitas Andalas menekankan perlunya pemerintah dan Bank Indonesia untuk segera menyusun skenario antisipatif. Prioritas utama adalah menstabilkan nilai tukar rupiah, memperkuat posisi APBN, dan memastikan kelancaran distribusi bahan bakar domestik.
- Komunikasi Ekonomi: Penguatan strategi komunikasi ekonomi juga krusial. Pasar keuangan sangat sensitif terhadap sinyal, dan ketiadaan kejelasan kebijakan dapat memperparah volatilitas.
- Reformasi Energi: Dalam jangka menengah, krisis ini menjadi pengingat akan kerentanan strategis Indonesia terhadap ketergantungan pada energi fosil. Reformasi energi melalui diversifikasi dan efisiensi konsumsi perlu dipercepat untuk mengurangi eksposur terhadap gejolak eksternal.
Kesimpulan: Kewaspadaan di Tengah Ketidakpastian yang Berlanjut
Gejolak geopolitik akibat serangan AS ke Iran telah terbukti menjadi katalis yang signifikan, menyebabkan aset negara berkembang melemah usai serangan Iran di berbagai lini. Dari mata uang yang tertekan, bursa saham yang anjlok, hingga pasar kripto yang terguncang, dampak “gelombang kejut” ini terasa di seluruh penjuru dunia. Kekhawatiran akan terganggunya pasokan energi, tekanan inflasi, dan eksodus modal ke aset aman menjadi pendorong utama sentimen risk-off.
Namun, di balik kegelisahan tersebut, ada pula narasi tentang resiliensi pasar dan pandangan bahwa konflik ini mungkin akan tetap terkendali. Para analis mencermati posisi Iran yang relatif terisolasi dan kemungkinan kecilnya penutupan Selat Hormuz. Bagi negara berkembang seperti Indonesia, tantangan ini menuntut respons yang cepat, terkoordinasi, dan proaktif dari pemerintah dan otoritas moneter. Menjaga stabilitas nilai tukar, memperkuat fiskal, dan memastikan pasokan energi menjadi prioritas utama.
Masa depan pasar global akan sangat bergantung pada respons lanjutan Iran dan dinamika geopolitik yang terus berkembang. Investor, pembuat kebijakan, dan masyarakat luas harus tetap waspada, memantau setiap perkembangan dengan cermat, dan membuat keputusan berdasarkan informasi yang paling akurat dan analisis yang mendalam. Dalam era ketidakpastian ini, pemahaman yang komprehensif adalah kunci untuk menavigasi gejolak dan mengidentifikasi peluang di tengah tantangan.
Apakah Anda memiliki pandangan atau pertanyaan lebih lanjut tentang dampak geopolitik terhadap pasar keuangan? Bagikan pemikiran Anda di kolom komentar di bawah!