Melawan Sejarah: Mengurai Fenomena Harga Emas yang Tumbang di Tengah Gejolak Israel-Iran

Dipublikasikan 25 Juni 2025 oleh admin
Finance

Di tengah hiruk-pikuk konflik geopolitik yang seringkali memicu ketidakpastian global, ada satu aset yang secara tradisional menjadi mercusuar ketenangan: emas. Logam mulia ini dikenal sebagai “safe haven” atau aset lindung nilai, tempat para investor berlindung ketika badai ekonomi atau politik menerpa. Namun, belakangan ini, sebuah fenomena anomali mencuat, menantang logika pasar yang telah mapan. Saat ketegangan antara Israel dan Iran memuncak, alih-alih meroket, harga emas justru tumbang.

Melawan Sejarah: Mengurai Fenomena Harga Emas yang Tumbang di Tengah Gejolak Israel-Iran

Ini bukan sekadar fluktuasi biasa. Ini adalah narasi tentang bagaimana dinamika geopolitik yang kompleks, intervensi politik yang ambigu, serta kebijakan moneter yang ketat dapat bersatu menciptakan skenario yang “melawan sejarah”. Artikel ini akan menyelami lebih dalam mengapa harga emas menunjukkan perilaku yang tidak konvensional ini, mengungkap lapisan-lapisan faktor yang jarang tersentuh dalam analisis permukaan, dan memberikan pemahaman komprehensif bagi Anda yang ingin mengurai misteri di balik pergerakan logam kuning ini.

Anomali yang Terkuak: Kejatuhan Emas di Tengah Badai Geopolitik

Secara historis, setiap kali terjadi peningkatan ketegangan geopolitik, terutama di wilayah Timur Tengah yang kaya minyak, respons pasar terhadap emas hampir selalu sama: harga melonjak. Logam kuning ini menjadi pilihan utama investor yang ingin melindungi kekayaan mereka dari devaluasi mata uang, inflasi, atau ketidakpastian pasar saham. Namun, apa yang terjadi pada pertengahan Juni 2025 sungguh mengejutkan.

Pada perdagangan Selasa siang (24/6/2025) waktu New York, harga emas spot anjlok hingga 2,2% ke bawah US$3.296 per troy ounce, mencatatkan penurunan harian terbesar dalam lebih dari lima pekan. Sehari sebelumnya, pada Senin (23/6/2025), emas sempat naik tipis karena permintaan safe-haven yang meningkat, namun tekanan jual segera mendominasi. Koreksi ini terjadi ketika dunia memusatkan perhatian pada eskalasi konflik antara Israel dan Iran, yang secara intuitif seharusnya mendorong emas naik jauh lebih tinggi. Fenomena ini memicu pertanyaan: mengapa kali ini berbeda?

Ilusi De-eskalasi: Gencatan Senjata yang Penuh Kontroversi

Pemicu utama kejatuhan harga emas adalah pengumuman mengejutkan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengenai kesepakatan gencatan senjata antara Iran dan Israel. Meskipun sempat dilanggar dan dibantah oleh kedua belah pihak, narasi “de-eskalasi” ini cukup kuat untuk menekan permintaan aset lindung nilai. Investor, yang sebelumnya memburu emas sebagai respons terhadap ketidakpastian, segera melakukan aksi ambil untung (profit-taking) begitu ada sinyal meredanya ketegangan.

Namun, narasi gencatan senjata ini jauh dari kata bulat. Iran, melalui Menteri Luar Negeri Abbas Araghchi, dengan tegas membantah adanya kesepakatan gencatan senjata dan menyatakan operasi militer terhadap Israel akan terus berlanjut. Bahkan, Israel sendiri mengakui melancarkan serangan baru sebagai balasan terhadap apa yang mereka sebut sebagai pelanggaran gencatan senjata oleh Iran. Hal ini menunjukkan bahwa pasar bereaksi terhadap sebuah persepsi de-eskalasi yang rapuh dan penuh kontradiksi, bukan pada realitas konflik yang masih membara. Peter Grant, Wakil Presiden Zaner Metals, mencatat bahwa de-eskalasi di Timur Tengah menjadi faktor utama yang menekan harga emas, mengalihkan pasar ke mode risk-on.

Kekuatan di Luar Medan Perang: Pengaruh Kebijakan Moneter dan Data Ekonomi

Di samping dinamika geopolitik yang kompleks, faktor-faktor makroekonomi juga memainkan peran krusial dalam menekan harga emas. Salah satu yang paling signifikan adalah sikap Federal Reserve (The Fed) AS terkait suku bunga. Ketua The Fed, Jerome Powell, telah menegaskan bahwa bank sentral belum terburu-buru untuk menurunkan suku bunga, menunggu kejelasan lebih lanjut terkait dampak ekonomi dari kebijakan perdagangan Presiden Trump.

Lingkungan suku bunga tinggi cenderung menekan daya tarik emas. Mengapa? Karena emas adalah aset yang tidak memberikan imbal hasil (non-yielding asset). Ketika suku bunga naik, instrumen investasi lain seperti obligasi atau deposito menjadi lebih kompetitif karena menawarkan pengembalian yang pasti. Investor cenderung mengalihkan modalnya dari emas ke instrumen yang memberikan imbal hasil lebih tinggi. Pasar global saat ini memproyeksikan pemangkasan suku bunga The Fed sebesar 50 basis poin hingga akhir tahun, dimulai dengan 25 basis poin pada Oktober. Namun, selama ketidakpastian tentang waktu dan kecepatan pemotongan suku bunga masih ada, emas akan tetap di bawah tekanan.

Selain itu, data ekonomi AS juga menjadi sorotan. Indeks kepercayaan konsumen AS yang menurun secara tak terduga pada Juni 2025 mencerminkan kekhawatiran terhadap prospek ekonomi dan pasar tenaga kerja akibat kebijakan tarif tinggi. Meskipun kekhawatiran ekonomi umumnya bisa menguntungkan emas sebagai safe haven, dalam konteks saat ini, pasar lebih fokus pada dampak kebijakan moneter The Fed dan potensi profit-taking jangka pendek. Analis pasar seperti Bob Haberkorn dari RJO Futures berpendapat bahwa penurunan ini mungkin hanya sementara, dan jika The Fed akhirnya memangkas suku bunga, emas kemungkinan akan kembali diuntungkan.

Papan Catur Geopolitik yang Lebih Luas: Iran, AS, dan Arsitektur Dunia

Untuk memahami sepenuhnya mengapa harga emas “melawan sejarah” di tengah konflik ini, kita perlu melihat gambaran yang lebih besar dari sekadar pertarungan antara Israel dan Iran. Konflik ini adalah bagian dari “perang untuk menentukan arsitektur dunia pasca-hegemonik,” seperti yang diungkapkan oleh ekonom Achmad Nur Hidayat. Ini bukan hanya tentang senjata nuklir Iran – yang bahkan menurut Direktur Intelijen Nasional AS tidak sedang dikembangkan – melainkan tentang penolakan Barat terhadap kedaulatan Iran dan dukungannya terhadap Palestina.

Jika AS benar-benar menyerang Iran, yang diindikasikan sebagai tujuan regime change alih-alih denuklirisasi, konsekuensinya akan jauh melampaui batas regional. Iran adalah penghubung strategis antara Asia Tengah, Timur Tengah, dan jalur energi global. Blokade Selat Hormuz, yang vital bagi pasokan minyak dunia, bisa menjadi tak terhindarkan. Ini berpotensi memicu lonjakan harga minyak hingga US$150 per barel, menyebabkan inflasi global dan krisis energi di Eropa dan Asia.

Dalam skenario seperti ini, emas seharusnya menjadi sangat berharga. Namun, pasar tampaknya terlalu fokus pada sinyal de-eskalasi jangka pendek, atau mungkin, pada keyakinan bahwa konflik tidak akan meluas ke tingkat yang mengancam pasokan energi global secara permanen. Ada juga narasi bahwa dunia sedang bergeser dari tatanan unipolar yang didominasi AS menuju dunia multipolar, dengan munculnya koalisi Timur (Iran, Rusia, China) sebagai penyeimbang. Perilaku emas yang tumbang bisa jadi mencerminkan ketidakpastian tentang siapa yang akan menjadi kekuatan dominan, atau bahkan spekulasi bahwa konflik ini, meski intens, tidak akan mengganggu stabilitas ekonomi global secara fundamental dalam jangka pendek.

Trauma Sejarah dan Dimensi Ideologis: Mengapa Iran Bukan “Negeri Arab yang Lemah”

Meskipun pasar bereaksi terhadap sinyal-sinyal ekonomi dan politik permukaan, konflik Israel-Iran memiliki akar yang jauh lebih dalam, berdimensi historis dan ideologis. Sumber 7 dan 10 menyoroti bahwa serangan Israel ke Iran adalah sebuah “blunder strategis” karena mereka “salah perhitungan besar.” Iran bukan Suriah, Irak, atau Yaman yang mudah tunduk. Sebaliknya, Iran membalas dengan kekuatan penuh, menghantam Tel Aviv dengan rudal presisi, sebuah tindakan yang “membuat Tel Aviv kini belajar arti perlawanan sejati.”

Secara historis, trauma Perang Khaybar, di mana kaum Yahudi dikalahkan oleh Ali bin Abi Thalib, masih membekas dalam benak bangsa Yahudi. Seruan pemimpin tertinggi Iran, Sayyid Ali Khamenei, “Ya Ali ibn Abi Thalib” dan referensi ke Perang Khaybar, menunjukkan bahwa bagi Iran, konflik ini bukan sekadar pertarungan geopolitik, melainkan perjuangan ideologis dan religius yang lebih besar. Ini adalah pengingat bahwa Iran tidak akan gentar dan siap menghadapi konsekuensi.

Meskipun pasar mungkin mengabaikan dimensi sejarah dan ideologis ini dalam pergerakan harga emas jangka pendek, penting untuk memahami bahwa kedalaman konflik ini jauh melampaui analisis ekonomi murni. Keengganan Iran untuk berunding dan ketegasannya dalam membalas serangan menunjukkan bahwa ketidakpastian yang mendasari konflik ini masih sangat tinggi, berpotensi memicu gejolak kapan saja.

Perilaku Investor: Antara “Wait and See” dan “Ambil Untung”

Dalam kondisi pasar yang penuh ketidakpastian, investor cenderung mengambil sikap “wait and see”. Analis mata uang Doo Financial Futures, Lukman Leong, menyebutkan bahwa perkembangan situasi geopolitik Iran-Israel dan tarif resiprokal AS adalah dua faktor utama jangka pendek yang memengaruhi harga emas. Investor tidak terlalu agresif dalam menambah kepemilikan emas, meskipun prospek jangka panjang emas masih cenderung naik.

Fenomena “melawan sejarah” ini sebagian besar didorong oleh aksi ambil untung yang masif dan respons terhadap sinyal-sinyal yang dipersepsikan sebagai peredaan ketegangan. Ketika ada pengumuman gencatan senjata atau harapan akan kesepakatan, sebagian investor memilih untuk merealisasikan keuntungan mereka yang telah terkumpul dari kenaikan harga emas sebelumnya. Ini menciptakan tekanan jual yang signifikan, bahkan di tengah konflik yang sejatinya belum sepenuhnya mereda.

Kesimpulan: Emas, Geopolitik, dan Paradoks Pasar

Pergerakan harga emas yang “melawan sejarah” di tengah konflik Israel-Iran adalah cerminan kompleks dari berbagai faktor yang saling berinteraksi: narasi de-eskalasi yang ambigu, kebijakan moneter The Fed yang ketat, dinamika investor yang cenderung profit-taking, dan lapisan-lapisan geopolitik yang lebih dalam. Meskipun secara tradisional emas adalah aset safe haven utama di masa konflik, kali ini, pasar menunjukkan respons yang berbeda, dipengaruhi oleh persepsi jangka pendek dan tekanan dari faktor ekonomi makro.

Fenomena ini mengingatkan kita bahwa pasar tidak selalu bereaksi secara linier terhadap peristiwa. Ada kalanya, dinamika yang lebih halus, seperti harapan akan meredanya ketegangan atau keputusan bank sentral, dapat mengalahkan logika historis. Bagi para investor, ini adalah pengingat penting untuk tidak hanya melihat permukaan, tetapi juga menggali lebih dalam ke akar permasalahan dan memahami berbagai kekuatan yang membentuk pergerakan harga. Emas tetaplah logam mulia yang memiliki nilai intrinsik, namun di era modern ini, nilainya juga dibentuk oleh narasi, persepsi, dan permainan politik global yang semakin rumit.

Bagaimana menurut Anda, apakah fenomena ini akan menjadi tren baru atau hanya anomali sesaat? Bagikan pandangan Anda di kolom komentar dan diskusikan implikasinya bagi masa depan investasi emas.