Yogyakarta, zekriansyah.com – Mendengar kabar bahwa kesehatan anak dunia makin memburuk tentu membuat kita semua prihatin. Berbagai studi dan penelitian terbaru dari para ahli mengungkap fakta yang mengejutkan: anak-anak di berbagai belahan dunia kini menghadapi tantangan kesehatan yang lebih kompleks dibandingkan generasi sebelumnya. Bukan hanya soal penyakit fisik, tetapi juga masalah kesehatan mental yang semakin meresahkan.
Studi terbaru mengungkap penurunan drastis kesehatan anak di seluruh dunia, dengan lonjakan obesitas dan masalah kesehatan mental yang mengancam masa depan generasi mendatang.
Artikel ini akan mengupas tuntas temuan-temuan penting dari berbagai studi tersebut. Kita akan melihat apa saja pemicu di balik penurunan kesejahteraan anak ini dan, yang terpenting, apa peran kita sebagai orang tua, masyarakat, dan pembuat kebijakan untuk melindungi generasi mendatang. Mari kita selami lebih dalam kondisi ini dan temukan solusi bersama.
Tren Mengkhawatirkan: Anak-Anak Kini Lebih Rentan?
Sebuah tinjauan ekstensif tentang kesejahteraan anak yang diterbitkan di Journal of the American Medical Association (JAMA) menemukan bahwa anak-anak di Amerika Serikat saat ini memiliki berat badan lebih tinggi, menghadapi lebih banyak penyakit, dan berpeluang lebih besar untuk meninggal dunia. Ini adalah gambaran yang mengkhawatirkan, dan para ahli menyebutnya sebagai indikator bahwa kesehatan anak semakin memburuk secara menyeluruh.
Penelitian ini melacak 170 indikator kesehatan berbeda sejak tahun 2002 dan menunjukkan beberapa tren yang patut diwaspadai:
- Peningkatan Obesitas: Angka obesitas pada anak usia 2-19 tahun melonjak dari 17% pada 2007-2008 menjadi sekitar 21% pada 2021-2023.
- Kondisi Kronis yang Meningkat: Diagnosis setidaknya satu kondisi kronis, seperti kecemasan, depresi, atau apnea tidur, naik dari 40% pada 2011 menjadi 46% pada 2023.
- Risiko Kematian Lebih Tinggi: Anak-anak di AS 1,8 kali lebih mungkin meninggal dibandingkan anak sebaya di negara-negara maju lainnya antara 2007-2022. Penyebabnya bervariasi, mulai dari kelahiran prematur dan kematian bayi mendadak, hingga cedera akibat senjata api dan kecelakaan lalu lintas pada anak dan remaja.
Christopher Forrest, penulis utama studi dari Children’s Hospital of Philadelphia, menggambarkan situasi ini dengan analogi yang menusuk: “Anak-anak itu bagaikan burung kenari di tambang batu bara, mereka menyerap stres sosial lebih awal dan lebih intens daripada orang dewasa.”
Bayangan Pandemi: Luka yang Belum Sembuh
Pandemi COVID-19 bukan hanya krisis kesehatan fisik, tetapi juga meninggalkan “bekas luka” sosial dan emosional yang mendalam pada anak-anak. Karantina dan isolasi selama pandemi telah berdampak jangka panjang bagi kesehatan mental anak dan perkembangan mereka.
Para guru, seperti Rebekah Underwood di California, AS, mengamati perbedaan pada murid-murid taman kanak-kanak mereka. Anak-anak angkatan pandemi menunjukkan lebih banyak kehati-hatian fisik, kesulitan dalam aktivitas motorik dasar seperti berguling atau melompat, dan ragu untuk memanjat. Mereka juga mudah terstimulasi berlebihan di lingkungan yang bising, sampai-sampai beberapa kelas musik harus dihentikan sementara.
Studi “Born in Covid Year Core Lockdown Effects” (Bicycle) di Inggris menemukan bahwa anak-anak yang lahir selama lockdown ketat mungkin memiliki kosakata yang lebih sedikit dan kesulitan dalam keterampilan berpikir tingkat tinggi. Ini terjadi karena mereka kehilangan kesempatan penting untuk interaksi sosial dan eksplorasi di usia dini, yang sangat krusial untuk perkembangan anak.
Ancaman Digital: Ponsel dan Kesehatan Mental Anak
Salah satu studi terbaru yang paling mencolok, dari Sapien Labs, Amerika Serikat, menemukan korelasi kuat antara usia dini anak memiliki ponsel pintar dan risiko gangguan kesehatan mental saat dewasa muda. Studi yang melibatkan lebih dari 100.000 anak muda usia 18-24 tahun dari 47 negara ini menunjukkan:
- Semakin dini anak memiliki ponsel pintar (terutama sebelum usia 13 tahun), semakin buruk kondisi kesehatan mental mereka.
- Skor MHQ (Mind Health Quotient), semacam “termometer kesejahteraan jiwa,” menurun drastis seiring dengan semakin mudanya usia anak mendapat ponsel. Anak yang memiliki ponsel di usia 13 tahun mencetak skor rata-rata 30, sementara yang memilikinya sejak usia 5 tahun, skornya mendekati nol.
- Akses awal ke media sosial menjelaskan sekitar 40% dari hubungan antara kepemilikan ponsel pintar di masa kanak-kanak dan masalah kesehatan mental di kemudian hari.
- Perundungan daring, gangguan tidur, dan hubungan keluarga yang memburuk juga menjadi faktor pemicu.
Dampaknya berbeda pada anak perempuan dan laki-laki. Anak perempuan cenderung mengalami penurunan harga diri, citra diri, kepercayaan diri, dan ketahanan emosional. Sementara itu, anak laki-laki mengalami penurunan stabilitas emosional, ketenangan, dan empati.
“Kita sedang bermain-main dengan kesehatan mental generasi mendatang.” — Tara Thiagarajan, Ahli Saraf dan Pendiri Sapien Labs.
Beberapa negara seperti Prancis, Belanda, dan Australia telah memberlakukan pembatasan ponsel di sekolah, menunjukkan keseriusan dalam mengatasi masalah ini.
Gaya Hidup dan Penyakit Tidak Menular: Beban Masa Depan
Selain masalah fisik dan mental yang disebutkan di atas, kesehatan anak global juga menghadapi pergeseran besar dalam jenis penyakit yang menjadi beban. Studi Global Burden of Disease (GBD) 2021 menunjukkan bahwa meskipun harapan hidup manusia secara keseluruhan meningkat, harapan hidup sehat justru meningkat lebih lambat. Ini berarti banyak orang akan hidup lebih lama, tetapi dengan lebih banyak tahun yang dihabiskan dalam kondisi kesehatan yang buruk.
Pergeseran ini terjadi dari penyakit menular ke Penyakit Tidak Menular (PTM) seperti penyakit jantung, kanker, dan diabetes. Pemicunya adalah peningkatan paparan terhadap faktor risiko PTM, seperti:
- Obesitas
- Tekanan darah tinggi
- Pola makan tidak optimal (misalnya, terlalu banyak makanan ultra-proses)
- Merokok (termasuk rokok elektrik)
Faktor-faktor gaya hidup tidak sehat ini akan berdampak paling besar pada beban penyakit generasi berikutnya, termasuk di Indonesia. Data menunjukkan tren peningkatan penggunaan tembakau di kalangan anak dan remaja di Tanah Air, yang berpotensi menjadi beban kesehatan berat di masa depan.
Apa yang Bisa Kita Lakukan? Tanggung Jawab Bersama
Melihat berbagai temuan studi yang mengkhawatirkan ini, jelas bahwa kita tidak bisa berdiam diri. Kesehatan anak adalah tanggung jawab kolektif. Berikut beberapa langkah yang bisa kita lakukan:
- Promosi Gaya Hidup Sehat: Mulai dari pola makan bergizi seimbang, aktivitas fisik yang cukup, hingga waktu tidur yang berkualitas. Kurangi konsumsi makanan ultra-proses dan ajak anak bergerak aktif di luar ruangan.
- Literasi Digital dan Batasan Ponsel: Edukasi anak tentang penggunaan internet dan media sosial yang aman dan bijak. Pertimbangkan batasan usia untuk kepemilikan ponsel pintar dan terapkan aturan penggunaan yang jelas di rumah. Kolaborasi antara keluarga dan sekolah sangat penting untuk menciptakan lingkungan digital yang aman.
- Investasi dalam Lingkungan Anak: Peningkatan kesehatan anak membutuhkan investasi yang melampaui klinik. Ini termasuk investasi di sekolah yang mendukung aktivitas fisik dan kesehatan mental, perumahan yang aman, transportasi yang mendukung mobilitas, dan layanan sosial yang kuat.
- Peran Komunitas dan Kebijakan: Masyarakat dan pemerintah perlu bekerja sama dalam menciptakan “rencana aksi dari lingkungan ke lingkungan” yang memperlakukan kesehatan anak sebagai tanggung jawab bersama. Ini bisa berupa program pencegahan cedera, kampanye kesehatan ibu dan anak, serta kebijakan yang mendukung lingkungan aman bagi tumbuh kembang anak.
Kesehatan anak dunia makin memburuk adalah seruan bagi kita untuk bertindak. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang tantangan ini dan komitmen untuk bekerja sama, kita bisa mengubah arah dan memastikan masa depan yang lebih sehat dan cerah bagi anak-anak kita. Mari bersama-sama menjadi agen perubahan untuk kesejahteraan anak global.