Mengapa Harga Beras Terus Naik Meski Stok Melimpah? Analisis Pengamat: Bukan Anomali, tapi Salah Urus!

Dipublikasikan 16 Juli 2025 oleh admin
Sosial Politik

Yogyakarta, zekriansyah.com – Pernahkah Anda merasa heran, mengapa harga beras di pasaran terus merangkak naik, padahal pemerintah kerap mengumumkan stok beras kita melimpah ruah? Fenomena ini mungkin terasa seperti teka-teki ekonomi yang sulit dipecahkan. Tapi, menurut para ahli, ini bukanlah anomali atau kejadian aneh yang tiba-tiba muncul. Justru, kondisi harga beras terus naik meski surplus ini adalah cerminan dari kebijakan perberasan yang kurang tepat dan tata kelola yang belum optimal.

Mengapa Harga Beras Terus Naik Meski Stok Melimpah? Analisis Pengamat: Bukan Anomali, tapi Salah Urus!

Meskipun stok beras dikabarkan melimpah, kenaikan harga di pasaran terus terjadi, mengundang pertanyaan publik dan analisis mendalam dari pengamat.

Mari kita selami lebih dalam apa penyebab di balik kenaikan harga beras yang bikin pusing ini, dan bagaimana para pengamat melihat masalah fundamentalnya. Memahami akar persoalan ini penting agar kita semua bisa mendesak solusi yang lebih baik.

Klaim Surplus dan Realita Harga yang Melambung: Ada Apa Sebenarnya?

Pemerintah, melalui Menteri Pertanian, sempat mengklaim stok cadangan beras pemerintah (CBP) pada April 2025 mencapai angka fantastis 3,18 juta ton. Bahkan, disebut-sebut ini adalah stok tertinggi dalam 23 tahun terakhir, atau bahkan sejak Indonesia merdeka. Data Badan Pusat Statistik (BPS) juga menunjukkan perkiraan produksi beras nasional Januari-Juni 2025 mencapai 18,76 juta ton, dengan potensi surplus sekitar 3,2 juta ton. Angka-angka ini seharusnya membuat kita tenang, kan?

Namun, kenyataannya justru berbanding terbalik. Harga beras medium dan premium di berbagai daerah terus melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah. Misalnya, pada akhir Juni 2025, rata-rata harga beras medium nasional mencapai Rp14.073 per kg (dari HET Rp12.500), dan beras premium Rp15.847 per kg (dari HET Rp14.900). Bahkan di beberapa daerah seperti Papua, harga bisa mencapai Rp40.000 hingga Rp54.000 per kg! Lalu, di mana letak masalahnya?

Tiga Akar Masalah Menurut Pengamat: Kebijakan yang Kurang Tepat

Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori, dengan tegas menyebut bahwa kondisi ini bukan anomali, melainkan akibat langsung dari kebijakan perberasan yang “buruk” dan saling bertabrakan. Ia mengidentifikasi beberapa faktor utama:

  1. Kenaikan HPP Gabah Tanpa Penyesuaian HET:
    Pemerintah menaikkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah kering panen (GKP) dari Rp6.000 menjadi Rp6.500 per kilogram sejak Januari 2025. Tujuannya baik, yaitu untuk menguntungkan petani. Namun, kenaikan ini tidak dibarengi dengan penyesuaian HET untuk beras medium dan premium. Akibatnya, harga di tingkat pasar terus naik tak terkendali.

  2. Instruksi Pembelian Gabah Tanpa Kualitas:
    Instruksi Presiden No 6/2025 memerintahkan Bulog dan pihak swasta untuk membeli beras dari petani tanpa memperhatikan kualitas. Kebijakan ini, meski menguntungkan petani jangka pendek, justru mendorong mereka melakukan panen dini dan menjual gabah berkualitas rendah dengan kadar air tinggi. Ini membuka celah “moral hazard” dan mempersulit proses penggilingan.

  3. Penghentian Bantuan Pangan dan SPHP:
    Program bantuan pangan untuk 16 juta keluarga dan Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) sebesar 150 ribu ton yang seharusnya berjalan sejak awal 2025, justru dihentikan sementara sejak Februari. Padahal, program ini krusial untuk menjaga stabilitas harga di masyarakat. “Pemerintah sibuk menumpuk, bukan mengendalikan,” kritik Khudori.

Peran Bulog dan Distribusi yang Tersendat

Salah satu poin krusial yang disorot banyak pengamat adalah peran Bulog. Meskipun Bulog berhasil menyerap sebagian besar surplus produksi domestik (sekitar 2,63 juta ton dari 3,2 juta ton surplus), beras tersebut justru hanya menumpuk di gudang. Hingga akhir Juni 2025, Bulog baru menyalurkan sekitar 181 ribu ton beras.

“Tugas pemerintah bukan hanya memastikan stok, melainkan juga mengendalikan harga,” tegas Khudori. Penumpukan stok ini, di satu sisi, membebani keuangan Bulog dan berisiko menurunkan kualitas beras karena sifatnya yang tidak tahan lama. Di sisi lain, ini membuat pasokan beras di pasar menipis karena pedagang swasta hanya mendapatkan sisa stok yang kecil (sekitar 600 ribu ton).

Pedagang swasta pun dilema:

  • Jika mereka membeli gabah dengan harga tinggi (Rp7.000-Rp8.000/kg), mereka pasti akan menjual beras di atas HET. Konsekuensinya, mereka bisa “digaruk” Satgas Pangan.
  • Jika menjual sesuai HET, mereka berpotensi besar rugi.
    Akhirnya, banyak yang memilih untuk berhenti berproduksi atau mengurangi pasokan, memperparah kelangkaan di pasar.

Rekomendasi Para Ahli: Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah?

Para pengamat sepakat bahwa pemerintah harus segera bertindak untuk mengatasi kenaikan harga beras ini. Muhammad Aras Prabowo, pengamat ekonomi dari Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA), menekankan bahwa persoalan bukan pada ketersediaan, melainkan pada tata kelola distribusi dan rantai pasok.

Berikut beberapa langkah strategis yang direkomendasikan:

  • Penyaluran Stok Bulog: Bulog harus segera melepas stok cadangan pemerintah secara terukur, transparan, dan mengikuti titik-titik harga konsumen, bukan spekulan.
  • Penguatan Fungsi Distribusi Antar Daerah: Surplus di satu daerah harus segera disalurkan ke daerah yang defisit. Bulog dengan jaringan gudang dan armada yang dibiayai APBN tidak boleh berdalih menunggu petunjuk.
  • Penegakan Aturan dan Monitoring Digital: Badan Pangan Nasional (Bapanas) mesti menegakkan aturan baru lewat dashboard distribusi real-time. Teknologi pelacakan digital memungkinkan pemantauan pergerakan tonase beras dari produsen sampai konsumen. Jika ada anomali, alarm otomatis wajib berbunyi dan inspeksi harus segera digelar.
  • Intervensi Proaktif: Pemerintah pusat dan daerah tidak boleh reaktif. Intervensi harus dilakukan secara pre-emptif saat harga mulai bergejolak satu-dua persen saja, bukan setelah harga telanjur melambung.
  • Subsidi Biaya Distribusi: Pengamat ekonomi dari Undiknas Denpasar, Ida Bagus Raka Suardana, menyarankan pentingnya subsidi biaya distribusi di tingkat produsen untuk menekan biaya logistik dan memangkas rantai distribusi yang panjang.
  • Transparansi Harga Petani: Memastikan harga pembelian pemerintah (HPP) menjadi pagar bawah, dan HET menjadi pagar atas. Di antara dua pagar inilah Bulog harus memainkan keseimbangan, bukan mencari selisih spekulatif.

Kesimpulan: Saatnya Pemerintah Bertindak Cepat

Fenomena harga beras terus naik meski surplus ini bukan sekadar angka di atas kertas, tapi berdampak langsung pada jutaan keluarga di Indonesia. Ketika harga beras menjadi penyumbang inflasi dominan, ini artinya daya beli masyarakat semakin tergerus.

Para pengamat telah memberikan pandangan yang jelas: masalah ini bukan anomali, melainkan “salah urus” kebijakan dan distribusi pangan. Sudah saatnya pemerintah, terutama Bulog dan Bapanas, bertindak cepat, transparan, dan akuntabel. Surplus beras seharusnya berarti surplus kesejahteraan bagi rakyat, bukan surplus masalah. Dengan langkah-langkah yang tepat, kita bisa berharap stabilitas harga beras kembali, dan perut rakyat bisa tenang.

FAQ

Tanya: Mengapa harga beras terus naik meskipun pemerintah mengklaim stok beras melimpah?
Jawab: Kenaikan harga beras ini disebabkan oleh kebijakan perberasan dan tata kelola yang belum optimal, bukan karena kekurangan stok.

Tanya: Apa yang dimaksud dengan “kebijakan perberasan yang kurang tepat” yang menyebabkan kenaikan harga beras?
Jawab: Ini merujuk pada pengelolaan stok, distribusi, dan penetapan harga yang dinilai belum efektif oleh para pengamat.

Tanya: Bagaimana klaim surplus stok beras pemerintah bertentangan dengan realita harga yang naik di pasaran?
Jawab: Meskipun data menunjukkan surplus, realitanya harga di pasaran tetap melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan.