Aipda Robig Protes Keras: Merasa Pemberitaan Media Selalu Menyudutkan Dirinya

Dipublikasikan 16 Juli 2025 oleh admin
Sosial Politik

Yogyakarta, zekriansyah.com – Kasus penembakan yang melibatkan Aipda Robig Zaenudin, anggota Polrestabes Semarang, terus menjadi sorotan publik. Namun, di tengah proses hukum yang berjalan, sebuah suara protes keras datang dari sang terdakwa sendiri. Aipda Robig merasa pemberitaan media selalu menyudutkan dirinya, menciptakan opini publik yang tidak berimbang dan memberikan dampak psikologis yang mendalam, tidak hanya baginya tetapi juga untuk keluarga tercintanya. Mari kita selami lebih dalam keluhan dan harapan Aipda Robig terkait liputan media dan bagaimana hal ini memengaruhi kehidupannya.

Aipda Robig Protes Keras: Merasa Pemberitaan Media Selalu Menyudutkan Dirinya

Aipda Robig Zaenudin Protes Keras, Merasa Pemberitaan Media Selalu Menyudutkan dan Menimbulkan Dampak Psikologis Negatif.

Suara Hati dari Balik Jeruji: Keluhan Aipda Robig soal Pemberitaan Media

Dalam sidang pembelaan atau pleidoi yang digelar di Pengadilan Negeri Semarang pada Selasa (15/7/2025), Aipda Robig mengungkapkan kekecewaannya terhadap cara media memberitakan kasus yang menjeratnya. “Saya merasakan pemberitaan yang tidak berimbang dan tidak proporsional,” ujarnya dengan nada memprihatinkan.

Menurut Aipda Robig, sejak awal kasus ini bergulir di tingkat penyelidikan hingga setiap tahapan persidangan, pemberitaan media yang cenderung menyudutkan terus terjadi. Ia menyoroti bagaimana informasi ini menjadi viral di media sosial, daring, maupun cetak, seolah-olah membentuk opini publik bahwa tindakannya berlebihan atau arogan. Padahal, katanya, fakta hukum masih dalam proses pengujian di persidangan.

“Pemberitaan yang masif cenderung menyudutkan, padahal belum tentu objektif, belum dipenuhi fakta hukum karena masih diuji di persidangan,” tutur Aipda Robig.

Dampak Psikologis yang Mendalam bagi Aipda Robig dan Keluarga

Lebih dari sekadar ketidaknyamanan, Aipda Robig menjelaskan bahwa pemberitaan media yang dinilai tidak berimbang itu telah menimbulkan tekanan psikologis yang sangat berat. Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh dirinya sebagai terdakwa, tetapi juga oleh keluarganya.

Ia menceritakan bahwa kedua buah hatinya menjadi korban tekanan sosial akibat viralnya kasus ini. Anak-anaknya yang dulu bangga memiliki ayah seorang polisi, kini harus menanggung beban emosional dan sosial.

“Anak saya yang dulu bangga memiliki ayah anggota polisi, seketika runtuh dan berdampak pada psikologisnya yang mengganggu proses belajar dan tumbuh kembangnya di lingkungan sosial maupun pendidikan,” ungkap Aipda Robig dengan suara bergetar saat membacakan pleidoi.

Kekhawatiran terbesarnya adalah potensi pengaruh opini publik yang terbentuk oleh media terhadap integritas proses peradilan. Ia sangat berharap Majelis Hakim Pengadilan Negeri Semarang tidak ikut terbawa arus pemberitaan yang masif, baik secara daring maupun luring.

Kilas Balik Kasus Penembakan yang Menjerat Aipda Robig

Kasus yang menyeret Aipda Robig ke meja hijau adalah penembakan yang terjadi pada 24 November 2024, menewaskan seorang siswa SMKN 4 Semarang, Gamma Rizkynata Oktavandy, dan melukai dua korban lainnya. Aipda Robig mengaku melepas tembakan bukan dengan niat melukai atau menghilangkan nyawa, melainkan untuk memberhentikan pengendara yang dinilainya membahayakan orang lain. Ia berdalih tindakannya sudah sesuai prosedur kepolisian.

Meski demikian, dalam persidangan, Aipda Robig juga mengakui bahwa dirinya tidak dalam kondisi terancam saat peristiwa penembakan itu terjadi. Ini menjadi salah satu poin krusial dalam kasus yang tengah bergulir. Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah menuntut Aipda Robig dengan pidana 15 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider enam bulan penjara. Namun, tim penasihat hukumnya dengan tegas meminta agar kliennya dibebaskan dari segala tuntutan hukum.

Status Hukum dan Kode Etik: Perjalanan Aipda Robig di Mata Hukum

Di samping proses pidana, Aipda Robig juga menghadapi proses kode etik di institusi Polri. Komisi Kode Etik Polri (KKEP) pada 9 Desember 2024 telah menjatuhkan sanksi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) kepadanya. Namun, Aipda Robig mengajukan banding atas putusan tersebut, yang berarti statusnya di kepolisian masih belum final.

Saat ini, Aipda Robig masih tercatat sebagai anggota Polri dan menerima 75 persen dari gaji pokoknya. Proses sidang banding kode etik diperkirakan akan dilanjutkan setelah putusan pidana memiliki kekuatan hukum tetap (inkrah). Keluarga korban, khususnya ayah almarhum Gamma, Andi Prabowo, juga menanggapi permohonan maaf dan tangisan Aipda Robig di persidangan dengan getir.

“Dia menangis, mungkin masih bisa melihat anaknya. Sedangkan saya tidak bisa, anak saya sudah meninggal ditembak terdakwa,” ucap Andi, menunjukkan luka mendalam yang dirasakan keluarga korban.

Menunggu Keadilan di Tengah Deru Opini

Keluhan Aipda Robig mengenai pemberitaan media yang menyudutkan menyoroti kompleksitas kasus hukum yang melibatkan figur publik. Dampak opini publik yang terbentuk dari pemberitaan masif bisa sangat luas, memengaruhi tidak hanya mental terdakwa tetapi juga keluarganya, bahkan berpotensi mengganggu jalannya proses peradilan yang adil.

Kasus ini menjadi pengingat penting bagi kita semua tentang tanggung jawab besar media dalam menyajikan informasi yang berimbang dan objektif. Kita berharap proses hukum yang berjalan dapat menemukan keadilan sejati, terlepas dari segala riuh rendahnya opini publik yang terbentuk di luar ruang sidang.