Dalam lanskap pasar keuangan global yang dinamis, volatilitas adalah konstan, namun arah pergerakannya seringkali penuh kejutan. Baru-baru ini, sebuah fenomena menarik terjadi: bursa dunia terlihat pesta dengan penguatan signifikan, sementara dolar AS ambles di berbagai lini. Lantas, bagaimana gelombang ini memengaruhi pasar domestik kita, khususnya IHSG dan nilai tukar Rupiah? Artikel ini akan mengupas tuntas interaksi kompleks antara geopolitik, kebijakan moneter global, dan sentimen pasar yang membentuk nasib investasi Anda.
Dramatika Geopolitik: Gencatan Senjata dan Reaksi Pasar Global
Pemicu utama dari “pesta” di bursa dunia baru-baru ini adalah meredanya ketegangan geopolitik. Pernyataan mendadak dari Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengenai gencatan senjata antara Iran dan Israel pada 24 Juni 2025, seketika menyirami pasar global dengan optimisme. Kabar ini disambut euforia di Wall Street, di mana indeks-indeks utama seperti Dow Jones Industrial Average, S&P 500, dan Nasdaq Composite kompak terbang tinggi, mencatat penguatan lebih dari 1%. Bahkan, Nasdaq 100 melesat 1,53% dan mencetak rekor penutupan baru.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan harga minyak mentah dunia, yang anjlok tajam lebih dari 6% untuk Brent dan WTI. Penurunan harga minyak seringkali diartikan sebagai berkurangnya kekhawatiran akan gangguan pasokan global akibat konflik. Sektor-sektor yang diuntungkan dari penurunan harga minyak, seperti maskapai penerbangan (United Airlines dan Delta), turut melonjak. Di Eropa, indeks Stoxx Europe 600, DAX Jerman, dan CAC 40 Prancis juga mengakhiri hari dengan penguatan, meskipun saham-saham energi seperti Frontline, Equinor, dan BP mencatat penurunan terbesar.
Meskipun demikian, narasi geopolitik ini tidak sepenuhnya tanpa cela. Beberapa jam setelah pengumuman, Trump sendiri menyatakan kekecewaannya, menuduh kedua belah pihak (Israel dan Iran) melanggar kesepakatan. Kejadian ini menyoroti kerapuhan gencatan senjata dan potensi ketegangan yang bisa kembali mencuat sewaktu-waktu. Namun, untuk saat ini, pasar tampaknya memilih untuk fokus pada prospek meredanya risiko dan mengalihkan perhatian kembali ke isu tarif dan kebijakan fiskal.
Dolar AS di Persimpangan Jalan: Mengapa “Raja Mata Uang” Ambles?
Di tengah pesta bursa saham global, dolar Amerika Serikat (AS) justru mengalami pelemahan signifikan. Indeks dolar AS (DXY) terpantau melemah 0,28% ke level 98.16 pada 24 Juni 2025. Pelemahan ini bukan tanpa alasan. Salah satu faktor krusial adalah sinyal dari pejabat Federal Reserve (The Fed) yang membuka peluang penurunan suku bunga acuan. Anggota Dewan Gubernur The Fed, Michelle Bowman, menyebutkan adanya kemungkinan pemangkasan suku bunga dalam waktu dekat jika inflasi tetap terkendali. Pernyataan ini sontak memberikan tekanan bearish pada dolar AS, karena ekspektasi suku bunga yang lebih rendah cenderung mengurangi daya tarik aset berdenominasi dolar.
Namun, di sisi lain, pidato Ketua The Fed Jerome Powell di hadapan Komite Jasa Keuangan DPR AS pada waktu yang sama masih bernada hawkish. Powell menyatakan bahwa The Fed belum akan terburu-buru menurunkan suku bunga dan akan menunggu kepastian mengenai dampak ekonomi dari kebijakan tarif yang sedang dirancang oleh Presiden Trump. Pernyataan kontradiktif dari pejabat The Fed ini menciptakan volatilitas dan ketidakpastian di pasar mata uang. Ketegangan antara keinginan Gedung Putih untuk pemangkasan suku bunga dan sikap hati-hati The Fed menjadi salah satu dinamika utama yang perlu diperhatikan.
Selain kebijakan moneter, prospek perang tarif yang dikobarkan oleh Presiden Donald Trump juga turut membebani sentimen dolar AS. Pernyataan Trump yang akan mengumumkan tarif secara sepihak pada negara-negara mitra dagangnya, meskipun sempat dilegakan oleh kesepakatan AS-China sebelumnya, kembali menyalakan kekhawatiran pasar. Ketidakpastian ini mendorong investor untuk beralih ke aset yang lebih aman, namun sekaligus menekan performa dolar AS sebagai “safe haven” jika prospek ekonominya sendiri terancam oleh kebijakan tarif.
IHSG dan Rupiah: Roller Coaster Pasar Domestik
Pasar keuangan Indonesia, termasuk IHSG dan Rupiah, menunjukkan respons yang adaptif terhadap sentimen global.
Kebangkitan Setelah Tekanan
Pada 24 Juni 2025, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil rebound signifikan, menguat 1,21% ke posisi 6.869,17 setelah sebelumnya melanjutkan koreksi selama empat hari berturut-turut. Nilai transaksi mencapai Rp 11,9 triliun, dengan kapitalisasi pasar terkerek naik menjadi Rp 12,05 triliun. Sektor properti terbang tinggi (4,86%), diikuti bahan baku (2,35%), kesehatan (2,2%), dan konsumer non-primer (1,98%). Saham-saham raksasa seperti PT Pantai Indah Kapuk Dua Tbk (PANI) dan perbankan besar seperti PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) menjadi penggerak utama penguatan IHSG.
Seiring dengan penguatan IHSG, Rupiah juga diuntungkan dengan rebound signifikan, ditutup menguat 0,82% ke posisi Rp16.345/US$. Penguatan ini sejalan dengan pelemahan indeks dolar AS (DXY) dan sentimen meredanya ketegangan geopolitik. Meskipun investor asing tercatat masih melakukan penjualan bersih jumbo sebesar Rp928,88 miliar di seluruh pasar, mereka juga melakukan pembelian bersih pada beberapa saham unggulan seperti BMRI, WIFI, ANTM, AMMN, ASII, dan BBNI, menunjukkan adanya selektivitas dalam investasi.
Momen Tekanan: Ketika IHSG dan Rupiah Ambruk
Namun, jalur kebangkitan ini tidak selalu mulus. Beberapa hari sebelumnya, pada 23 Juni 2025, IHSG sempat ambruk 1,70% pada sesi I, dan Rupiah melemah ke Rp16.500 per dolar AS. Pelemahan ini disebabkan oleh kekhawatiran pelaku pasar terhadap eskalasi konflik di Timur Tengah, terutama setelah laporan serangan AS terhadap situs nuklir Iran dan ancaman Iran untuk memblokir Selat Hormuz. Potensi kenaikan harga minyak mentah dunia akibat konflik ini memicu kekhawatiran inflasi global yang lebih tinggi, yang pada gilirannya dapat menunda prospek penurunan suku bunga oleh bank sentral, termasuk The Fed.
Lebih jauh ke belakang, pada 18 Maret 2025, IHSG bahkan merosot 7,1%, penurunan intraday terbesar sejak September 2011, yang memicu penghentian perdagangan sementara (trading halt). Kala itu, kekhawatiran tentang melemahnya ekonomi domestik, belanja konsumen yang lebih rendah, dan defisit anggaran yang jarang terjadi di awal tahun, memukul sentimen investor. Investor asing tercatat menarik dana bersih sekitar US$1,65 miliar dari saham lokal sepanjang tahun itu. Rupiah juga melemah 0,3% terhadap dolar, mengukuhkan posisinya sebagai mata uang dengan kinerja terburuk di Asia pada periode tersebut. Pesimisme terhadap fundamental ekonomi Indonesia, ditambah dengan sikap hawkish The Fed yang menahan suku bunga tinggi, menjadi faktor penekan utama.
Cadangan Devisa dan Pasar Obligasi: Bantalan Stabilitas
Di tengah gejolak pasar, cadangan devisa dan pasar obligasi Indonesia memainkan peran penting sebagai bantalan stabilitas. Pada akhir April 2025, cadangan devisa Indonesia memang tergerus cukup dalam, mencapai US$152,5 miliar, terendah sejak November tahun lalu. Penurunan ini dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah dan kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah oleh Bank Indonesia (BI). Meskipun demikian, Rupiah yang sempat dibuka melemah pada pagi hari itu, justru berbalik menguat dan menjadi valuta Asia dengan penguatan terbanyak pada jam perdagangan siang, menunjukkan efektivitas intervensi BI.
Selain itu, pasar obligasi negara (SUN) juga menunjukkan ketahanan. Meskipun IHSG sempat tertekan oleh data keyakinan konsumen yang ambles dan kekhawatiran perang tarif, Rupiah masih mendapatkan dukungan dari animo pemodal yang makin besar di pasar obligasi. Imbal hasil SUN tenor 10 tahun terpangkas 5,6 basis poin (bps) menjadi 6,692%, mencerminkan kenaikan harga surat utang akibat permintaan beli yang meningkat. Reli harga SUN ini terpengaruh tren global, di mana data inflasi AS yang lebih rendah dari perkiraan memicu serbuan investor ke US Treasury, menekan imbal hasilnya. Ekspektasi penurunan bunga The Fed yang membesar ini berpotensi memberi kesempatan bagi Bank Indonesia untuk memangkas bunga acuan, yang akan menjadi sentimen positif bagi Rupiah dan pasar obligasi domestik.
Kebijakan Moneter dan Fiskal: Arah Bank Indonesia dan Pemerintah
Pergerakan pasar keuangan sangat bergantung pada arah kebijakan moneter dan fiskal. Sikap The Fed yang masih belum pasti terkait pemangkasan suku bunga—antara sinyal dovish dari Bowman dan hawkish dari Powell—akan terus menjadi perhatian utama. Kebijakan ini akan menentukan seberapa kuat tekanan terhadap dolar AS dan seberapa besar ruang gerak Bank Indonesia. Jika The Fed mulai melonggarkan kebijakan, Bank Indonesia akan memiliki fleksibilitas lebih besar untuk menyesuaikan BI Rate, yang dapat memengaruhi biaya pinjaman dan mendorong pertumbuhan ekonomi domestik.
Di sisi fiskal, kebijakan pemerintah Presiden Prabowo Subianto, terutama terkait realokasi dana ke proyek-proyek prioritas dan potensi defisit anggaran, akan sangat memengaruhi sentimen investor. Ketahanan ekonomi Indonesia, yang tercermin dari pertumbuhan laba perusahaan dan stabilitas makro, menjadi kunci untuk menarik kembali arus modal asing yang sempat keluar.
Mengurai Benang Merah: Interkoneksi Pasar Global dan Domestik
Fenomena “bursa dunia pesta dolar ambles ihsg rupiah” adalah cerminan sempurna dari interkoneksi pasar keuangan global. Gencatan senjata di Timur Tengah, meskipun rapuh, mampu memicu optimisme di bursa saham global dan menekan harga minyak. Pada saat yang sama, sinyal dari The Fed tentang potensi pemangkasan suku bunga membuat dolar AS melemah. Kombinasi kedua sentimen global ini memberikan ruang bagi IHSG dan Rupiah untuk rebound, setelah sebelumnya tertekan oleh kekhawatiran geopolitik dan kebijakan tarif AS.
Namun, volatilitas tetap menjadi kata kunci. Pernyataan yang kontradiktif dari pejabat The Fed atau perkembangan baru dalam konflik geopolitik dapat dengan cepat mengubah arah pasar. Investor asing, meskipun sempat mencatat net sell besar, tetap selektif dalam memilih saham-saham perbankan dan komoditas, menunjukkan kepercayaan pada fundamental jangka panjang perusahaan-perusahaan tertentu.
Kesimpulan: Navigasi di Tengah Gelombang Volatilitas
Pasar keuangan adalah sebuah ekosistem kompleks yang bereaksi terhadap berbagai variabel, dari drama geopolitik hingga bisikan kebijakan moneter. Fenomena di mana bursa dunia pesta dan dolar ambles secara simultan, memberikan dorongan positif bagi IHSG dan Rupiah, adalah bukti nyata betapa cepatnya sentimen pasar dapat bergeser.
Bagi investor, periode ini menuntut kewaspadaan dan kemampuan adaptasi yang tinggi. Memahami interkoneksi antara pergerakan dolar AS, kebijakan suku bunga global, sentimen geopolitik, dan fundamental ekonomi domestik menjadi krusial. Meskipun ada sinyal positif dari gencatan senjata dan potensi pelonggaran moneter global, risiko-risiko seperti perang tarif Trump yang belum usai dan kerapuhan perdamaian di Timur Tengah tetap menjadi awan mendung yang berpotensi memicu volatilitas kembali.
Oleh karena itu, penting untuk selalu memperbarui informasi, menganalisis secara mendalam, dan merancang strategi investasi yang tangguh di tengah gelombang ketidakpastian. Pasar akan selalu menawarkan peluang dan tantangan; kuncinya adalah bagaimana kita menavigasi gelombang tersebut dengan cerdas dan strategis.