KLB Campak di Sumenep: **Dinkes Sumenep Intensifkan Penyelidikan Epidemiologi**, Gandeng Unair dan Kemenkes

Dipublikasikan 3 September 2025 oleh admin
Kesehatan

Yogyakarta, zekriansyah.com – Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, kini tengah menghadapi situasi serius. Sejak Agustus 2025, wilayah ini resmi ditetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) campak. Penyakit yang sangat menular ini telah menimbulkan kekhawatiran di masyarakat. Sebagai respons cepat, Dinas Kesehatan Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (Dinkes P2KB) Kabupaten Sumenep tak tinggal diam. Mereka kini mengintensifkan penyelidikan epidemiologi (PE) campak dengan melibatkan berbagai pihak.

KLB Campak di Sumenep: **Dinkes Sumenep Intensifkan Penyelidikan Epidemiologi**, Gandeng Unair dan Kemenkes

Dinkes Sumenep gandeng Unair dan Kemenkes intensifkan penyelidikan epidemiologi pasca-KLB campak di wilayahnya.

Artikel ini akan mengupas tuntas mengapa langkah ini sangat penting, bagaimana kolaborasi antar lembaga dijalin, serta apa saja upaya yang dilakukan untuk menekan penyebaran campak di Sumenep. Mari kita selami lebih dalam agar kita semua bisa memahami dan turut berperan dalam penanganannya.

Mengapa Penyelidikan Epidemiologi Campak Penting Dilakukan?

Penyelidikan Epidemiologi (PE) adalah kunci untuk memahami bagaimana suatu penyakit menyebar. Ibarat detektif kesehatan, tim PE bertugas menelusuri jejak penularan campak. Jika ada anak yang terjangkit, mereka akan mencari tahu dari mana anak itu tertular: apakah dari teman sekolah, tetangga, atau bahkan anggota keluarga lain. Dengan mengetahui jalur penularan ini, intervensi yang tepat bisa segera dilakukan untuk memutus rantai penyebaran.

Kolaborasi Kuat: Dinkes Sumenep Gandeng Unair dan Lintas Sektor

Untuk mempercepat dan memperkuat upaya penanganan, Dinkes Sumenep tidak bekerja sendiri. Mereka menggandeng Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Kolaborasi ini sangat berharga, tidak hanya untuk mendukung imunisasi massal, tetapi juga membantu dalam edukasi masyarakat dan pendalaman kasus melalui PE campak.

Achmad Syamsuri, Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinkes P2KB Sumenep, menjelaskan bahwa tim dari FKM Unair telah terlibat sejak awal September 2025, bahkan dengan tambahan dua belas personel baru beserta mentornya. “Kehadiran tim akademisi dari perguruan tinggi menjadi nilai tambah dalam memastikan penanganan kasus berjalan komprehensif dan berbasis data,” ujarnya.

Tak hanya Unair, tim lintas instansi seperti Dinas Pendidikan dan Kementerian Agama juga dilibatkan. Pelibatan ini krusial karena penularan campak banyak terjadi di lingkungan sekolah maupun masyarakat.

Fokus Area dan Jalur Penularan

Penyelidikan epidemiologi difokuskan di beberapa kecamatan yang menunjukkan peningkatan kasus signifikan. Kecamatan Gapura, Talango, dan Pasongsongan menjadi prioritas utama. Selain itu, kasus terbanyak juga dilaporkan di Kecamatan Kalianget, Kota Sumenep, dan Batang-Batang.

“Istilahnya diperdalam, terkait dengan sebab penyebaran campak ini. Mereka dapatnya dari mana. Apakah dari tetangga, apa saudaranya,” jelas Achmad Syamsuri. Jika jalur penularan sudah jelas, seperti di sekolah, intervensi bisa lebih cepat, misalnya dengan imunisasi tambahan atau edukasi langsung kepada orang tua.

Latar Belakang KLB Campak Sumenep: Angka dan Penyebab

Lonjakan kasus campak di Sumenep bukan tanpa alasan. Data menunjukkan peningkatan yang mengkhawatirkan, dengan rendahnya cakupan imunisasi sebagai akar masalah utamanya.

Data Kasus yang Mengkhawatirkan

Hingga akhir Agustus 2025, situasi KLB campak di Sumenep menunjukkan angka yang serius.

  • Total Kasus Suspek: Lebih dari 2.200 kasus (beberapa sumber menyebut 2.268 hingga 2.370 kasus) dari Januari hingga akhir Agustus 2025.
  • Kasus Terkonfirmasi Laboratorium: 205 kasus (per 26 Agustus 2025).
  • Kasus Kematian: Setidaknya 17 anak meninggal dunia, dengan 13 di antaranya berusia 1-4 tahun.
  • Usia Terbanyak: Anak usia 1-4 tahun (sekitar 53%) dan 5-9 tahun (sekitar 29%).
  • Cakupan Wilayah: Seluruh 27 kecamatan di Sumenep telah melaporkan adanya kasus.

Komplikasi serius turut memperparah kondisi pasien yang meninggal, seperti bronkopneumonia (88%), diare (35%), malnutrisi, tuberkulosis, dan anemia.

Akar Masalah: Rendahnya Cakupan Imunisasi

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyoroti bahwa meningkatnya kasus campak di Indonesia, termasuk di Sumenep, berkaitan erat dengan turunnya cakupan imunisasi rutin lengkap dalam beberapa tahun terakhir. Direktur Imunisasi Kemenkes, dr. Prima Yosephine, menyebut cakupan imunisasi rutin lengkap di Indonesia pernah mencapai 92% pada 2018, namun turun menjadi 87,8% pada 2023.

Di Sumenep sendiri, rendahnya cakupan imunisasi menjadi pemicu utama. Kepala Dinkes P2KB Sumenep, drg. Ellya Fardasah, menegaskan bahwa 90% pasien campak tidak pernah mendapat imunisasi. Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi ini:

  • Hoaks “Vaksin Haram”: Tenaga kesehatan Puskesmas Guluk-Guluk Sumenep, dr. Fita Rabianti, mengakui banyak warga yang takut dan menolak vaksin karena termakan hoaks mengenai kehalalan vaksin.
  • Persepsi Keliru: Masyarakat Sumenep, seperti yang diungkap Achmad Syamsuri, masih menganggap campak atau “tampek” sebagai penyakit biasa yang tidak berbahaya. “Kadang-kadang kalau tidak parah tidak diperiksakan ke faskes terdekat,” katanya.
  • Dampak Pandemi COVID-19: Selama pandemi, pembatasan kegiatan menyebabkan cakupan imunisasi rutin menurun, yang kini berimbas pada peningkatan kasus.
  • Minimnya Edukasi: Dosen Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Wiraraja Sumenep, Dian Permatasari, menilai pola pikir masyarakat yang menganggap vaksin berbahaya muncul karena minimnya edukasi.

Langkah Komprehensif Penanganan Campak di Sumenep

Pemerintah, baik daerah maupun pusat, bersama berbagai organisasi, bergerak cepat untuk menangani KLB campak di Sumenep.

Imunisasi Massal (ORI) dan Kejar

Salah satu langkah paling penting adalah pelaksanaan Outbreak Response Immunization (ORI) atau imunisasi massal. Program ini menyasar anak-anak usia 9 bulan hingga 6-7 tahun di seluruh Kabupaten Sumenep. Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, bahkan mengirimkan 9.825 botol vaksin MR (Measles and Rubella) dari Kemenkes RI untuk mendukung upaya ini.

ORI dilaksanakan serentak di 26 puskesmas di Sumenep, dimulai sekitar akhir Agustus hingga pertengahan September 2025. Setiap anak akan mendapatkan satu dosis vaksin MR, tanpa melihat status imunisasi sebelumnya. Setelah ORI rampung, akan dilanjutkan dengan “Imunisasi Kejar” bagi anak-anak yang belum mendapat vaksin campak lengkap. Target minimal ORI adalah 95% cakupan untuk membentuk kekebalan kelompok (herd immunity).

Edukasi dan Melawan Hoaks

Edukasi menjadi garda terdepan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. Dinkes Sumenep dan Kemenkes aktif melakukan sosialisasi di posyandu, fasilitas kesehatan, hingga lembaga pendidikan. Yang tak kalah penting adalah pelibatan tokoh masyarakat dan pemuka agama, seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI), untuk membantu menyebarkan informasi akurat dan melawan hoaks mengenai vaksin.

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) juga mendesak pemerintah untuk memperkuat edukasi publik yang berkesinambungan guna menurunkan keraguan masyarakat terhadap imunisasi.

Peran Pemerintah Provinsi dan Pusat

Kementerian Kesehatan tidak hanya mengirimkan vaksin, tetapi juga menurunkan tim surveilans dan tenaga Field Epidemiology Training Program (FETP) untuk memperkuat respons lapangan. Mereka juga melakukan advokasi kepada Bupati Sumenep dan lintas sektor terkait pada 15 Agustus 2025.

Pemerintah Kota Surabaya bahkan mengeluarkan surat edaran (SE) untuk meningkatkan kewaspadaan dan pencegahan penularan campak, mengingat tingginya mobilitas penduduk antar wilayah.

Kenali Campak: Gejala dan Bahaya Komplikasi

Campak bukanlah penyakit biasa, melainkan sangat menular dan berpotensi menyebabkan komplikasi serius. Virus ini ditularkan melalui droplet (percikan ludah) saat penderita batuk atau bersin.

Gejala utama campak meliputi:

  • Demam tinggi
  • Ruam merah di seluruh tubuh
  • Batuk
  • Pilek
  • Mata merah

Komplikasi serius yang bisa terjadi:

  • Pneumonia (radang paru-paru)
  • Diare berat
  • Ensefalitis (radang otak)
  • SSPE (Subacute Sclerosing Panencephalitis) – penyakit saraf fatal yang muncul bertahun-tahun setelah infeksi campak dan belum ada obatnya.

Pentingnya imunisasi tidak bisa ditawar lagi. Imunisasi MR dosis pertama diberikan pada usia 9 bulan dan dosis kedua pada usia 18 bulan. Jika belum lengkap, segera lengkapi tanpa menunggu ada kasus di sekitar. Selain itu, terapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), konsumsi makanan bergizi seimbang, dan segera periksakan ke fasilitas kesehatan jika