Kabar terbaru datang dari Brasil terkait kasus meninggalnya Juliana Marins, pendaki asal Brasil yang mengalami kecelakaan tragis di Gunung Rinjani, Lombok, Indonesia. Setelah penantian panjang dan permintaan dari pihak keluarga, otoritas Brasil akhirnya mengumumkan hasil autopsi kedua yang dilakukan di negara tersebut. Hasil ini diharapkan bisa menjawab berbagai pertanyaan yang selama ini menyelimuti insiden pilu tersebut.
Hasil autopsi kedua Juliana Marins mengungkap detik-detik terakhirnya setelah kecelakaan tragis di Rinjani, dengan luka parah dan
Menguak Fakta: Autopsi Kedua Juliana Marins di Brasil
Pihak keluarga Juliana Marins memang sejak awal merasa ada yang mengganjal terkait kematian putri mereka. Kecurigaan akan adanya kelalaian dalam proses penyelamatan di Indonesia menjadi alasan kuat di balik permintaan autopsi ulang. Pada tanggal 2 Juli 2025, jenazah Juliana diautopsi kembali di Institut Kedokteran Forensik (IML) Rio de Janeiro, Brasil, dengan pengawasan ketat dari ahli forensik Kepolisian Sipil, Kepolisian Federal, dan perwakilan keluarga.
Dari hasil pemeriksaan terbaru ini, terungkap bahwa Juliana Marins diperkirakan bertahan hidup sekitar 10 hingga 15 menit setelah benturan fatal. Laporan menyebutkan bahwa luka-luka yang dideritanya sangat parah, meliputi pendarahan internal yang masif, serta patah tulang di berbagai bagian tubuh seperti panggul, dada, dan tengkorak. Cedera ini akibat trauma benda tumpul yang sangat keras, sesuai dengan kondisi seseorang yang jatuh dari ketinggian.
Dokumen kepolisian juga menjelaskan adanya “periode agonal”, yaitu fase kritis antara trauma dan kematian yang ditandai dengan stres ekstrem dan kegagalan organ progresif. Artinya, meski luka-lukanya mematikan, Juliana sempat mengalami penderitaan selama beberapa menit sebelum menghembuskan napas terakhirnya. Dalam rentang waktu tersebut, ia tidak memiliki peluang untuk bergerak atau memberikan respons yang efektif untuk meminta pertolongan.
Konsistensi Hasil: Autopsi Brasil dan Indonesia Serupa
Menariknya, hasil autopsi kedua yang dilakukan di Brasil ini ternyata memiliki kesimpulan yang serupa dengan autopsi pertama yang dilakukan di Rumah Sakit Bali Mandara, Indonesia. Dokter Spesialis Forensik RS Bali Mandara, Ida Bagus Putu Alit, sebelumnya juga menyatakan bahwa Juliana Marins meninggal dunia karena benturan keras dan pendarahan internal, serta diperkirakan bertahan hidup kurang dari 20 menit setelah insiden.
Konsistensi temuan ini, baik dari tim forensik Indonesia maupun Brasil, memperkuat dugaan bahwa penyebab kematian Juliana murni karena kecelakaan tragis akibat jatuh. Meskipun demikian, pihak keluarga sempat melayangkan protes karena hasil autopsi pertama diumumkan ke publik sebelum disampaikan secara pribadi kepada mereka, menambah beban emosional di tengah duka.
Kisah Pilu dan Proses Evakuasi yang Penuh Tantangan
Kasus kematian Juliana Marins memang menyita perhatian publik. Juliana dilaporkan jatuh dari tebing Gunung Rinjani pada 21 Juni 2025, saat melakukan pendakian. Saksi mata sempat melihatnya masih hidup setelah jatuh, namun bantuan baru tiba hampir 90 jam kemudian. Proses evakuasi jenazah yang penuh risiko baru bisa diselesaikan pada 25 Juni 2025, dengan bantuan para relawan dan tim penyelamat setempat.
Tim evakuasi menjelaskan bahwa kondisi cuaca ekstrem, kabut tebal, dan medan yang sangat curam menjadi hambatan utama dalam upaya penyelamatan dan pengangkatan jenazah. Untuk kepentingan pemulangan jenazah ke Brasil, tubuh Juliana harus diawetkan atau dibalsem. Pihak keluarga juga memutuskan untuk tidak melakukan kremasi, melainkan menguburkannya, berjaga-jaga jika diperlukan pemeriksaan lebih lanjut di masa depan.
Penghormatan Terakhir: Nama Juliana Diabadikan di Brasil
Sebagai bentuk penghormatan dan mengenang sosok Juliana Marins, Pemerintah Kota Niterói, di Wilayah Metropolitan Rio de Janeiro, Brasil, mengambil langkah menyentuh. Sebuah plakat bertuliskan namanya diresmikan di Camboinhas. Tidak hanya itu, titik pandang (mirador) dan Pantai do Sossego juga diganti namanya untuk mengenang Juliana.
Tempat-tempat ini memiliki makna khusus bagi Juliana, karena merupakan lokasi favoritnya di kota kelahirannya. “Juliana mencintai kota Niterói dan ingin menjelajahi dunia, dan kenangannya akan selalu menjadi tanda penghormatan atas segala keindahan,” demikian bunyi plakat yang terpasang. Penghormatan ini sedikit menghangatkan hati keluarga di tengah duka mendalam yang mereka rasakan.
Kesimpulan
Pengumuman hasil autopsi kedua Juliana Marins di Brasil memberikan kejelasan lebih lanjut mengenai detik-detik terakhir kehidupan pendaki muda ini. Meskipun hasil tersebut konsisten dengan autopsi pertama di Indonesia, yaitu kematian akibat trauma fisik parah setelah jatuh, ini menjadi bagian penting dalam upaya keluarga mencari jawaban. Tragedi di Gunung Rinjani ini tak hanya meninggalkan duka bagi keluarga, tetapi juga menjadi pengingat akan bahaya dan tantangan yang bisa terjadi dalam setiap petualangan. Semoga dengan terungkapnya fakta ini, keluarga Juliana Marins dapat menemukan ketenangan dan kedamaian.