Yogyakarta, zekriansyah.com – Kisah pilu Rafa Ramadhani (12), bocah asal Pekalongan, Jawa Tengah, sempat menggemparkan publik setelah ia kritis akibat gigitan ular weling. Kondisinya yang memburuk drastis dan dugaan salah diagnosis di awal penanganan, menyadarkan kita betapa pentingnya informasi dan tindakan cepat dalam menghadapi gigitan ular berbisa. Artikel ini akan mengupas tuntas perjalanan Rafa menuju pemulihan, bahaya ular weling, serta panduan pertolongan pertama yang benar agar Anda lebih siap menghadapi situasi darurat serupa.
Ilustrasi: Perjuangan Rafa (12) melawan gigitan ular weling yang sempat mengancam nyawanya, kini berbuah kesembuhan berkat antivenom.
Kronologi Dramatis: Dari Gigitan Subuh hingga Kritis
Peristiwa nahas itu terjadi pada Senin, 16 Juni 2025, dini hari sekitar pukul 04.00 WIB. Rafa yang sedang tidur di kamarnya tiba-tiba digigit ular weling. Sang ibu kaget melihat ular belang hitam putih melintas, dan langsung menemukan anaknya sudah tergigit di kaki kanan. Ular itu diduga jatuh dari plafon rumah.
Panik, keluarga segera membawa Rafa ke mantri kesehatan terdekat, yang kemudian menyarankan agar Rafa dibawa ke rumah sakit. Pukul 05.30 WIB, Rafa tiba di RSUD Kajen. Di sana, tim medis memberikannya suntikan dan oksigen selama sekitar 45 menit. Namun, menurut penuturan keluarga dan kuasa hukum, Imam Maliki, pihak rumah sakit menyatakan gigitan ular tersebut tidak berbisa dan menyarankan Rafa pulang untuk rawat jalan. Permintaan keluarga agar Rafa dirawat inap ditolak.
“Kami menyayangkan, pihak RSUD sepertinya salah mendiagnosa. Jadi racun sudah menyebar di badan, tetapi dianggap tidak ada apa-apa,” ujar Imam Maliki, kuasa hukum keluarga Rafa.
Kepala Bidang Keperawatan RSUD Kajen, Dwi Harto, membantah tudingan salah diagnosis. Ia mengklaim penanganan sudah sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP), dengan pemeriksaan fisik, tes darah, dan observasi selama dua jam. Rafa disebut masih sadar penuh saat dipulangkan dan diberi arahan untuk segera kembali jika kondisi memburuk.
Namun, kenyataan pahit terjadi. Belum juga sampai di rumah, sekitar pukul 06.27 WIB, Rafa mulai kejang-kejang dan kondisinya memburuk drastis hingga tak sadarkan diri. Tanpa buang waktu, keluarga langsung melarikan Rafa ke Rumah Sakit Islam (RSI) PKU Muhammadiyah Pekajangan.
Perjuangan di RSI Pekajangan: Antivenom Jadi Penyelamat
Setibanya di RSI PKU Muhammadiyah Pekajangan pada pukul 08.30 WIB, kondisi Rafa sudah koma dan langsung masuk ruang ICU. Ia segera ditangani oleh tim dokter spesialis yang terdiri dari spesialis bedah, saraf, anak, dan anestesi.
Kunci penyelamat Rafa adalah penanganan yang cepat dan tepat di RSI Pekajangan. Rumah sakit ini segera berkonsultasi dengan dr. Tri Maharani, satu-satunya dokter spesialis toksikologi ular berbisa di Indonesia yang kini bertugas di Kementerian Kesehatan RI.
“Dalam konsultasi tersebut, dr Tri Maharani merekomendasikan pemberian antivenom neuropolyvalent, yang secara khusus digunakan untuk mengatasi efek neurotoksik seperti yang ditimbulkan oleh bisa ular weling,” jelas dr. Maria Ulfa, Asisten Manajer Pelayanan Medis RSI PKU Muhammadiyah Pekajangan.
Antivenom jenis neuropolyvalent ini sangat krusial karena bisa ular weling bersifat neurotoksin, yang menyerang sistem saraf dan dapat menyebabkan kelumpuhan hingga henti napas. Proses mendatangkan antivenom tidak mudah. RSI Pekajangan berkoordinasi cepat dengan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Dinas Kesehatan DKI Jakarta, dan mendapat hibah dari Kementerian Kesehatan. RSUD Kajen juga mengirimkan 15 vial, sehingga total 21 vial antivenom disuntikkan ke tubuh Rafa.
Direktur RSUD Kajen, Imam Prasetyo, mengungkapkan harga satu vial antivenom bisa mencapai Rp 4,5 juta, sehingga total untuk 15 vial saja sudah lebih dari Rp 60 juta. Ketersediaan antivenom memang langka dan sulit didapatkan di distributor farmasi.
Berkat penanganan intensif dan pemberian antivenom, kondisi Rafa menunjukkan kemajuan positif. Kakek Rafa, Datur (56), dan dr. Tri Maharani sendiri melaporkan adanya respons gerakan kaki dan warna urin yang kembali jernih, meski Rafa masih membutuhkan waktu untuk pulih sepenuhnya.
Bahaya Ular Weling dan Pentingnya Pertolongan Pertama yang Tepat
Ular weling (Bungarus candidus) dikenal sebagai salah satu jenis ular berbisa tinggi dari keluarga Elapidae. Bisanya mengandung neurotoksin yang sangat kuat, setara dengan bisa ular welang atau king cobra. Racun ini langsung menyerang sistem saraf, menyebabkan gejala seperti kelumpuhan, penglihatan kabur, sulit bernapas, hingga kehilangan kesadaran dan kematian jika tidak ditangani dengan cepat.
Dokter spesialis toksikologi, dr. Tri Maharani, menyoroti rendahnya pemahaman masyarakat tentang penanganan pertama gigitan ular berbisa. Banyak metode tradisional yang justru memperparah kondisi.
Tindakan Pertolongan Pertama Gigitan Ular Berbisa:
Tindakan yang BENAR (DO) | Tindakan yang SALAH (DON’T) |
---|---|
1. Imobilisasi: Jangan gerakkan bagian tubuh yang tergigit sama sekali. Buat area tersebut tidak bergerak, misalnya dengan bidai atau benda keras seperti kayu/kardus. | 1. Menyedot Luka: Justru mempercepat penyebaran racun dan bisa menyebabkan infeksi. |
2. Pasang Pengikat/Penopang: Ikat dua bilah benda keras tadi dengan kain atau perban elastis (soft bandage) untuk menopang dan mencegah racun menyebar melalui otot. | 2. Mengikat Terlalu Kencang (Torniket): Menghentikan aliran darah, bisa menyebabkan kerusakan jaringan serius atau bahkan amputasi. |
3. Cari Pertolongan Medis Segera: Segera bawa korban ke fasilitas kesehatan terdekat (rumah sakit/puskesmas) untuk mendapatkan antivenom dan perawatan intensif. | 3. Memberi Ramuan Herbal/Obat Tradisional: Tidak terbukti efektif dan membuang waktu penanganan medis yang krusial. |
4. Beri Sinyal Darurat (jika di lokasi terpencil): Agar orang lain tahu posisi Anda. | 4. Membunuh Ular: Tidak perlu dan bisa membahayakan diri sendiri. Jika memungkinkan, ambil foto ular (dari jarak aman) untuk identifikasi. |
5. Tetap Tenang: Panik dapat meningkatkan detak jantung dan mempercepat penyebaran bisa. | 5. Memanipulasi Luka: Jangan memotong, mengiris, atau membakar area gigitan. |
“First aid yang benar adalah imobilisasi, yaitu membuat bagian tubuh yang tergigit tidak bergerak sama sekali,” tegas dr. Tri Maharani.
Edukasi dan Kewaspadaan Masyarakat: Kunci Pencegahan
Kasus Rafa di Pekalongan menjadi pengingat pentingnya edukasi menyeluruh, tidak hanya bagi masyarakat umum tetapi juga tenaga kesehatan. Kementerian Kesehatan bersama Dinas Kesehatan telah mendistribusikan 19 vial antivenom ke RSUD Kajen dan fasilitas kesehatan lain, serta memberikan pelatihan tatalaksana medis gigitan ular sesuai standar WHO.
Perubahan iklim, seperti musim hujan di tengah tahun, juga disebut dr. Tri Maharani berkontribusi pada meningkatnya konflik manusia dan ular. Ular keluar dari habitatnya dan masuk ke lingkungan warga.
Untuk mencegah kejadian serupa, dr. Tri Maharani menyarankan beberapa hal:
- Jangan tidur di lantai tanpa kelambu, terutama di daerah rawan ular. Kelambu bukan hanya untuk nyamuk, tapi juga hewan berbisa.
- Jaga kebersihan lingkungan rumah dan sekitar.
- Jika menemukan ular, segera hubungi pemadam kebakaran atau komunitas penyelamat ular terlatih, jangan mencoba menangani sendiri.
- Segera cari pertolongan medis jika mengalami gigitan ular dan hindari metode tradisional yang tidak teruji.
Kesimpulan
Kisah Rafa adalah cerminan betapa krusialnya kecepatan dan ketepatan penanganan medis dalam kasus gigitan ular berbisa. Dukungan penuh dari berbagai pihak, mulai dari keluarga, rumah sakit, hingga Kementerian Kesehatan, menjadi faktor penentu keselamatan Rafa. Semoga kondisi Rafa terus membaik dan dapat kembali beraktivitas normal. Kejadian ini juga menjadi pelajaran berharga bagi kita semua untuk meningkatkan kewaspadaan, memahami bahaya ular, dan menguasai langkah pertolongan pertama yang benar. Ingat, keselamatan Anda dan keluarga adalah prioritas utama.