Dalam lanskap seni pertunjukan kontemporer Indonesia, nama Ari Dharminalan Rudenko kian bersinar sebagai figur multidisiplin yang memecah batas. Seniman asal Amerika Serikat yang telah menetap lebih dari satu dekade di Nusantara ini bukan sekadar koreografer; ia adalah seorang visioner yang berani ari rudenko mengeksplorasi teater tari fosil tradisi, menciptakan jembatan artistik antara sains paleontologi yang mendalam dengan kekayaan tari tradisional Indonesia. Artikel ini akan membawa Anda menelusuri perjalanan unik Ari Rudenko, memahami filosofi di balik karya-karyanya, dan mengapa eksplorasi interdisipliner ini begitu relevan di era modern.
Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern, seringkali kita lupa akan akar primordial eksistensi kita. Namun, Ari Rudenko dan kolektifnya, Prehistoric Body Theater (PBT), mengajak kita untuk merenung, bahkan merasakan kembali, jejak-jejak kehidupan purba yang tersembunyi di balik lapisan waktu. Melalui perpaduan yang cerdas antara riset ilmiah, narasi evolusi, dan gerak tubuh yang berakar pada tradisi, mereka menghidupkan kembali kisah-kisah jutaan tahun yang lalu, menawarkan perspektif baru tentang hubungan manusia dengan alam dan sejarahnya yang teramat panjang. Mari kita selami lebih dalam dunia di mana dinosaurus dan primata purba menari bersama irama tradisi Nusantara.
Prehistoric Body Theater: Laboratorium Seni di Jantung Jawa
Prehistoric Body Theater (PBT) adalah buah gagasan dan dedikasi Ari Dharminalan Rudenko. Didirikan sekitar tahun 2015-2017, kolektif seni pertunjukan eksperimental ini bermarkas di “Sarang”, sebuah studio hutan-bersama di Karanganyar, Jawa Tengah. PBT bukanlah kelompok tari biasa; ia adalah sebuah laboratorium hidup yang menggabungkan berbagai disiplin ilmu dan seni. Anggotanya terdiri dari para penari dan seniman pertunjukan asli Indonesia, yang semuanya memiliki akar kuat dalam berbagai lini tari tradisional dan ritual dari seluruh penjuru Nusantara.
Misi utama PBT, sebagaimana diungkapkan oleh Ari, adalah menjadi “transcultural public outreach for paleontology” melalui tari dan seni pertunjukan. Ini berarti mereka tidak hanya menciptakan karya seni, tetapi juga berfungsi sebagai medium edukasi dan penyebaran ilmu pengetahuan purba kepada khalayak luas, melampaui batas budaya. Semangat kolektif mereka didorong oleh:
- Konservasi alam
- Pembangunan komunitas yang egaliter dan kreatif
- Petualangan menuju hal-hal yang belum diketahui
Karya-karya PBT merupakan sintesis yang kompleks dan memukau, memadukan teknik tari tradisional dan praktik budaya, seni panggung eksperimental mutakhir, serta penelitian kolaboratif yang berkelanjutan. Mereka bekerja erat dengan panel ilmuwan dan mentor internasional, termasuk paleontolog terkemuka seperti Dr. Greg Wilson (kurator paleontologi vertebrata di Burke Museum Seattle) dan Dr. Dave Evans (kurator paleontologi vertebrata di Royal Ontario Museum, Toronto). Kolaborasi lintas bidang inilah yang memungkinkan mereka merancang karakter dan narasi tari yang benar-benar didasarkan pada teori dan bukti paleontologi terkini.
Dari Obsesi Fosil hingga Integrasi Seni-Sains
Kecintaan Ari Rudenko pada ilmu paleontologi bukanlah hal baru; ia telah terobsesi dengan dunia purba sejak kecil. Bahkan, ia mengaku lebih dulu mengenal Java Man (Homo erectus dari Trinil, Jawa Timur) ketimbang mengetahui tentang negara Indonesia itu sendiri. Takdir membawanya ke Nusantara pada tahun 2012 melalui program beasiswa Darmasiswa dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI untuk mendalami seni tari di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Bali. Di sinilah ia jatuh hati pada budaya dan tradisi lokal Indonesia, yang kemudian menjadi fondasi bagi eksplorasi artistiknya.
Meskipun mendalami tari, obsesinya terhadap dunia fosil tidak pernah padam. Inspirasi untuk memadukan kedua bidang ini muncul ketika ia menempuh studi Magister Seni Murni lintas disiplin. Ia menemukan benih gagasan paleoart saat mempelajari tari Manuk Rawe dan membaca jurnal ilmiah tentang temuan fosil burung yang bentuknya menyerupai figur mitologis Bali.
Namun, Ari memilih untuk tidak terburu-buru. Khawatir mencederai pakem tari tradisional, ia menahan diri dan justru fokus mendalami paleontologi secara langsung. Pada tahun 2017, ia terlibat dalam penelitian di Formasi Hell Creek, Montana, Amerika Serikat, sebuah situs geologi yang kaya akan fosil makhluk hidup dari Zaman Kapur Akhir (sekitar 66–70 juta tahun lalu), termasuk Tyrannosaurus rex dan Triceratops. Pengalaman ini memberinya pemahaman mendalam tentang anatomi dan perilaku hewan purba.
“Setelah mempelajari anatomi dan perilaku hewan tersebut, barulah saya balik lagi ke Indonesia untuk berkolaborasi dengan penari tradisi. Sebab, di sini saya juga sudah punya pondasi untuk mempertemukan sains dan seni,” imbuh Ari.
Filosofi ini menjadi inti dari pendekatan PBT: pengetahuan ilmiah yang akurat menjadi dasar bagi interpretasi artistik. Mereka menggabungkan berbagai bentuk tari tradisi Nusantara seperti Gandrung Banyuwangi, tari Manuk Rawe, Jatayu, Anoman, hingga Kethek Ogleng, untuk dieksplorasi esensinya dalam pendekatan artistik mereka. Bahkan, elemen tari Butoh dari Jepang, yang dikenal dengan gerakannya yang ekspresif dan seringkali terinspirasi dari alam, juga menjadi bagian dari eksplorasi mereka.
Karya Unggulan: Menghidupkan Sejarah Evolusi
Dua karya besar yang menjadi sorotan dalam perjalanan artistik Ari Rudenko dan PBT adalah “Ghosts of Hell Creek” dan versi ringkasnya, “Stone Garuda”, serta “Hominid Heart”.
“Ghosts of Hell Creek” dan “Stone Garuda”
“Ghosts of Hell Creek” adalah proyek unggulan dan disertasi doktoral Ari Rudenko dalam Studi Penciptaan Tari di ISI Surakarta, yang perdana dipentaskan pada tahun 2024. Karya ini terinspirasi langsung dari situs fosil Hell Creek di Montana, yang menyimpan jejak dinosaurus terakhir sebelum peristiwa kepunahan massal akibat tumbukan asteroid Chicxulub 66 juta tahun yang lalu. Lebih dari itu, situs ini juga menjadi saksi penemuan Purgatorius, primata pertama yang secara ilmiah dianggap sebagai leluhur manusia yang berhasil bertahan hidup dari bencana kolosal tersebut.
Secara garis besar, pertunjukan ini mengisahkan perjalanan evolusi selama 500 juta tahun, dimulai dari masa kejayaan dinosaurus hingga munculnya nenek moyang primata manusia, melalui perspektif binatang purba. “Ghosts of Hell Creek” mengeksplorasi gerak dan aspek ketubuhan:
- Acheroraptor: Jenis raptor berbulu
- Purgatorius: Nenek moyang primata yang berhasil bertahan
Melalui pertunjukan ini, penonton diajak menyimak gerak anatomi, kinetika, dan perilaku hewan-hewan prasejarah melalui tubuh para penari. Para penari PBT, dengan latar belakang tari tradisi yang kuat, secara kolektif mengembangkan gerak dari makhluk prasejarah ini berdasarkan hasil penelitian paleontolog dunia. Ini adalah pertemuan unik antara ekspresi tubuh yang berakar tradisi dengan imajinasi sains modern, menjadikannya jembatan antara seni dan ilmu paleontologi global.
“Stone Garuda” adalah versi ringkas (45 menit) dan lebih adaptif dari “Ghosts of Hell Creek” (yang berdurasi 90 menit). Lakon ini tidak hanya dirancang untuk panggung proskenium, tetapi juga untuk berbagai jenis panggung. Setelah pentas perdana di Teater Salihara, Jakarta pada Mei 2025, “Stone Garuda” melanjutkan tur ke Amerika Serikat pada Juni 2025. Jadwal tur ini mencakup Jacob’s Pillow Dance Festival, Asia Society Museum di New York City, dan kunjungan ke situs Hell Creek bersama ilmuwan paleontologi untuk melakukan penggalian fosil. Tur ini juga dianggap sebagai nomaden, merefleksikan cara hidup manusia purba yang berpindah-pindah.
“Hominid Heart”: Merenungi Jejak Manusia Sangiran
Selain eksplorasi dinosaurus dan primata purba, Ari Rudenko juga membawa PBT untuk merenungi sejarah manusia purba di Nusantara melalui karya “Hominid Heart”. Pertunjukan ini, yang dipentaskan pada Desember 2023 di Teater Arena, Taman Budaya Jawa Tengah, Surakarta, berfokus pada dimensi zaman manusia Sangiran, yang dikenal sebagai Homo erectus atau manusia Sangiran, hidup satu juta tahun yang lalu di Pulau Jawa.
“Hominid Heart” adalah sebuah karya tentang keraguan dan kefrustasian dalam keinginan untuk merajut benang kembali pada dimensi zaman manusia Sangiran. Pertunjukan ini menyoroti pertanyaan mendalam: Apa yang membedakan kehidupan purba dengan ilusi teknologi dan konstruksi sosial modern? Bagaimana pengetahuan datang melalui sentuhan, penglihatan, dan penciuman secara organik di masa lalu, dibandingkan dengan kompleksitas kehidupan modern?
Salah satu aspek menarik dari “Hominid Heart” adalah penggunaan kostum dan properti. Para penari awalnya muncul dengan pakaian sehari-hari—kemeja, baju kaos, celana jeans, sepatu. Kemudian, mereka merobek baju mereka dengan dramatis dan melumuri tubuh dengan lumpur atau tanah liat. Namun, lumpur itu tidak menutupi seluruh tubuh, dan pakaian modern seperti celana dan sepatu tetap melekat.
Ini adalah simbol kuat. Ari Rudenko sebagai koreografer dengan cerdas mempercakapkan ketegangan antara masa lalu dan masa kini. Para penampil tampak seperti binatang liar yang terlempar ke tempat asing, namun di saat yang sama, mereka tetap membawa jejak modernitas. Adegan “mandi” lumpur ini melambangkan proses perubahan, pelepasan, namun juga menegaskan bahwa kembali ke masa lalu secara utuh adalah usaha yang sia-sia, sebab manusia hari ini telah “tercemar” oleh modernitas. Pertunjukan ini membentangkan jarak antara subjek pembaca (penonton) dan objek yang ditelusuri (masa lalu), mengajak pada sebuah penafsiran yang telah “tercemar” oleh pengetahuan modern.
Dampak dan Relevansi Interdisipliner
Eksplorasi yang dilakukan Ari Rudenko mengeksplorasi teater tari fosil tradisi memiliki dampak yang jauh melampaui panggung pertunjukan.
- Jembatan Sains dan Seni: PBT secara efektif menjembatani dua dunia yang seringkali dianggap terpisah. Dengan membawa temuan paleontologi ke dalam bentuk seni pertunjukan, mereka membuat ilmu pengetahuan lebih mudah diakses dan dipahami oleh publik umum, mengubah data ilmiah yang kompleks menjadi pengalaman yang emosional dan visual.
- Pendidikan dan Kesadaran: Melalui karya-karyanya, Ari Rudenko menyuarakan pendekatan interdisipliner antara seni dan sains di forum-forum internasional, bahkan menulis di berbagai jurnal akademik. Ini adalah bentuk edukasi yang kuat tentang evolusi manusia, sejarah bumi, dan krisis planet yang dihadapi saat ini.
- Konservasi Budaya dan Alam: Proyek PBT juga merupakan bentuk konservasi. Dengan melibatkan penari-penari yang berakar kuat pada tari tradisional Indonesia, mereka turut melestarikan dan memperkenalkan kekayaan budaya Nusantara ke panggung internasional. Selain itu, tema-tema tentang kepunahan dan asal-usul kehidupan juga secara halus menyentuh isu konservasi alam.
- Kolaborasi Internasional: Kerjasama PBT dengan ilmuwan internasional dan tur pertunjukan ke luar negeri (seperti ke Amerika Serikat) menunjukkan peran mereka sebagai duta budaya dan ilmu pengetahuan, memperkuat hubungan antarnegara melalui pertukaran kreatif. Ari sendiri akan melanjutkan studi pasca-doktoralnya di Mentawai bersama tim dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) untuk menelusuri asal-usul tari tradisi dari pengamatan gerak burung endemik, sebuah proyek yang akan mendokumentasikan tarian-tarian tentang hewan sebagai bentuk negosiasi hubungan masyarakat dengan alam.
Kesimpulan: Cermin Masa Lalu, Pesan untuk Masa Depan
Perjalanan Ari Rudenko dan Prehistoric Body Theater adalah testimoni nyata bagaimana seni memiliki kekuatan luar biasa untuk menyingkap kompleksitas sejarah dan ilmu pengetahuan, menjadikannya relevan dan menggugah bagi audiens modern. Dengan ari rudenko mengeksplorasi teater tari fosil tradisi, ia tidak hanya menciptakan estetika baru dalam seni pertunjukan, tetapi juga mendorong kita untuk merenungkan asal-usul diri, krisis lingkungan yang mengancam, dan pentingnya melestarikan warisan budaya yang tak ternilai.
Karya-karya PBT adalah sebuah cermin yang memantulkan masa lalu purba ke hadapan kita, sekaligus menjadi pesan penting untuk masa depan. Mereka mengingatkan kita bahwa meskipun kita hidup di era modern yang penuh teknologi, ikatan kita dengan alam dan sejarah evolusi adalah abadi. Ini adalah undangan untuk melihat tari bukan hanya sebagai hiburan, melainkan sebagai medium refleksi filosofis, jembatan waktu, dan sarana untuk memahami diri kita sebagai bagian dari narasi kehidupan yang jauh lebih besar.
Bagaimana menurut Anda, apakah perpaduan unik ini mampu mengubah cara pandang kita terhadap sejarah dan seni? Bagikan pemikiran Anda di kolom komentar!