Game Terbaik Ubisoft: Menjelajahi Karya Gemilang di Balik Badai Kontroversi Publisher Raksasa

Dipublikasikan 7 September 2025 oleh admin
Hiburan dan Lifestyle

Yogyakarta, zekriansyah.com – Ubisoft, nama besar di industri game, seringkali memicu perdebatan sengit di kalangan para gamer. Di satu sisi, mereka adalah arsitek di balik game open-world epik dan franchise legendaris yang telah menghibur jutaan orang. Namun, di sisi lain, reputasi mereka tak luput dari berbagai kontroversi yang kerap membuat para gamer menggelengkan kepala.

Dari janji grafis yang tak terpenuhi hingga polemik narasi game, Ubisoft seolah punya dua wajah. Artikel ini akan membawa Anda menyelami game terbaik Ubisoft yang berhasil memukau, sekaligus mengupas tuntas drama di balik layar publisher penuh kontroversi ini. Siap untuk perjalanan yang seru dan penuh fakta?

Wajah Dua Sisi Ubisoft: Inovasi yang Sering Dihantui Kritik

Tak bisa dimungkiri, Ubisoft adalah salah satu publisher game yang paling berpengaruh. Mereka tak henti berinovasi, menciptakan dunia yang imersif dan mekanisme permainan yang unik. Namun, perjalanan mereka sering diwarnai oleh berbagai kritik dan kontroversi yang membekas di benak komunitas game.

Skandal ‘Downgrade’ Grafis yang Tak Terlupakan

Salah satu isu paling sering dikaitkan dengan Ubisoft adalah “downgrade grafis.” Ini terjadi ketika versi final game terlihat jauh berbeda, dan biasanya lebih buruk, dari demo yang dipamerkan saat promosi, seperti di ajang E3. Istilah ini bahkan dipopulerkan oleh salah satu game mereka.

Beberapa kasus paling mencolok meliputi:

  • Watch Dogs (2014): Game ini adalah pelopor istilah “downgrade.” Trailer E3 2012 menunjukkan visual yang sangat memukau dan layak disebut next-gen. Namun, saat dirilis, kualitas grafisnya jauh di bawah ekspektasi, membuat banyak gamer kecewa berat.
  • The Division (2016): Setelah Watch Dogs, gamer mulai skeptis. Dan benar saja, The Division yang diperkenalkan di E3 2013 dengan detail menakjubkan, juga mengalami downgrade signifikan pada versi rilisnya. Fitur seperti dynamic shader yang dijanjikan hilang, dan tampilan keseluruhan menjadi lebih sederhana.
  • Tom Clancy’s Rainbow Six Siege (2015): Meski kini menjadi salah satu FPS taktis terpopuler, game ini juga tak luput dari isu downgrade. Demo E3 2014 menampilkan lighting yang lebih detail, fitur kehancuran yang lebih canggih, dan AI yang “hidup.” Versi finalnya justru lebih sederhana dan AI yang kurang interaktif.

Meskipun sering dihantam kritik soal grafis, banyak dari game ini, seperti Rainbow Six Siege, tetap sukses besar berkat gameplay yang solid dan dukungan konten berkelanjutan dari Ubisoft.

Kontroversi Mikrotransaksi: Game Lebih Menyenangkan?

Ubisoft juga kerap menjadi sorotan karena model monetisasi dalam game mereka, terutama mikrotransaksi. Pada Juli 2025, perusahaan ini memicu perdebatan sengit dengan klaim kontroversial bahwa mikrotransaksi dapat membuat pengalaman bermain menjadi “lebih menyenangkan.”

Pernyataan ini muncul dalam laporan keuangan yang menjelaskan visi Ubisoft untuk beralih dari penjualan game premium satu kali menjadi pengalaman “selalu aktif” yang berkelanjutan. Mereka berargumen bahwa dengan menawarkan lebih banyak konten dan pilihan melalui monetisasi, pengalaman bermain secara keseluruhan menjadi lebih kaya.

Namun, reaksi dari para gamer didominasi kritikan. Banyak yang merasa praktik seperti menjual item peningkat kekuatan, kosmetik mahal, atau sengaja membuat progres game lambat (grindy) agar pemain terdorong untuk membayar, justru merusak pengalaman bermain. Game-game seperti Assassin’s Creed, The Division, dan XDefiant sering dikritik karena in-game store yang agresif.

Hak Milik Game: Lisensi atau Kepemilikan Penuh?

Baru-baru ini, Ubisoft kembali menuai sorotan setelah menyatakan bahwa pembelian sebuah video game tidak serta merta memberikan pemain hak kepemilikan sepenuhnya atas game tersebut. Menurut mereka, konsumen hanya mendapatkan “lisensi terbatas untuk mengakses permainan,” bukan hak milik tanpa batas waktu.

Pernyataan ini muncul di tengah gugatan hukum terkait penutupan permanen game balap The Crew pada Maret 2024. Pemilik game The Crew kehilangan akses total, memicu kemarahan karena mereka merasa membeli game tersebut secara penuh. Kasus ini menyoroti perdebatan penting tentang kepemilikan digital di industri game.

Meskipun Penuh Badai, Ini Dia Game Terbaik Ubisoft yang Patut Diacungi Jempol

Di balik semua hiruk-pikuk kontroversi, Ubisoft tetaplah rumah bagi banyak game terbaik yang dicintai dan diakui kualitasnya. Mereka telah melahirkan franchise ikonik dan judul-judul inovatif yang membentuk lanskap gaming modern.

Assassin’s Creed: Dari Kejayaan Masa Lalu hingga Harapan Baru

Franchise Assassin’s Creed adalah permata mahkota Ubisoft, yang telah melahirkan banyak game terbaik. Sejak 2007, seri ini telah menjelajahi berbagai periode sejarah dan terus berinovasi.

Berikut beberapa seri Assassin’s Creed yang paling dicintai:

  • Assassin’s Creed II (2009): Sering disebut sebagai salah satu game Assassin’s Creed terbaik sepanjang masa. Petualangan Ezio Auditore da Firenze di Italia Renaisans ini memukau dengan cerita yang kuat, gameplay yang disempurnakan, dan menjadi fondasi bagi trilogi Ezio yang legendaris.
  • Assassin’s Creed IV: Black Flag (2013): Setelah respons beragam pada AC3, Black Flag berhasil membalikkan keraguan. Dengan protagonis bajak laut Edward Kenway, gameplay pertempuran kapal yang epik, dan dunia terbuka yang luas, game ini menjadi favorit banyak pemain.
  • Assassin’s Creed Origins (2017) & Odyssey (2018) & Valhalla (2020): Ketiga game ini menandai transisi signifikan franchise ke genre action RPG, memperkenalkan sistem skill-tree, stats, dan combat yang lebih mirip RPG modern. Meski memicu perdebatan antara penggemar lama dan baru, mereka berhasil menyegarkan franchise dan menawarkan dunia yang indah untuk dijelajahi.
  • Assassin’s Creed Shadows (2025): Meskipun diliputi kontroversi (akan kita bahas lebih lanjut), Shadows digadang-gadang sebagai standar baru untuk franchise ini. Dengan latar Jepang feodal yang telah lama dinantikan, game ini menawarkan pengalaman bermain terbaik dari seri Assassin’s Creed, bahkan sebelum rilis resminya berhasil mencetak rekor penjualan.

Lebih dari Sekadar AC: Permata Tersembunyi Ubisoft Lainnya

Selain Assassin’s Creed, Ubisoft juga memiliki sejumlah judul lain yang tak kalah brilian dan berhasil memenuhi ekspektasi, bahkan melampaui keraguan awal.

  • Watch Dogs 2 (2016): Setelah kekecewaan Watch Dogs pertama, ekspektasi terhadap sekuel ini tidak terlalu tinggi. Namun, Watch Dogs 2 berhasil memuaskan dengan latar San Francisco yang penuh warna, karakter utama yang menyenangkan, dan gameplay hacking yang lebih lengkap dan menarik.
  • Rainbow Six Siege (2015): Awalnya diragukan karena fase beta yang tidak mulus dan janji gameplay FPS kompetitif yang berbeda. Namun, Siege berakhir disukai banyak pemain, menjadi salah satu FPS taktis paling menegangkan dan memuaskan di pasaran, dengan komunitas yang sangat aktif hingga kini.
  • Far Cry 3 (2012): Mengemas lebih banyak konten dan mekanisme baru, Far Cry 3 berhasil menjadi game open-world yang luar biasa. Dengan segudang aktivitas, cerita yang berkesan, dan karakter antagonis Vaas Montenegro yang ikonik, game ini menjadi salah satu game terbaik Ubisoft di genre FPS open-world.
  • Mario + Rabbids: Kingdom Battle (2017): Sebuah kolaborasi tak terduga antara Mario dan Rabbids yang awalnya disangka akan menjadi game strategi biasa. Namun, game ini mengejutkan pemain dengan gameplay yang mendalam dan seru, lengkap dengan karakter yang memiliki senjata dan kemampuan unik.
  • Prince of Persia: The Lost Crown (2024): Setelah satu dekade seri Prince of Persia kurang mendapatkan perhatian, The Lost Crown berhasil melawan keraguan. Dengan gaya visual menakjubkan dan gameplay ala Prince of Persia klasik yang dipadukan elemen metroidvania, game ini adalah kejutan yang menyenangkan.

Studi Kasus Terbaru: Assassin’s Creed Shadows dan Badai ‘Woke’

Salah satu game terbaik Ubisoft yang paling banyak dibicarakan, dan paling menuai kontroversi baru-baru ini, adalah Assassin’s Creed Shadows. Game yang mengambil latar Jepang feodal abad ke-16 ini seharusnya menjadi “harapan baru” bagi Ubisoft, namun perjalanannya penuh liku.

Kontroversi utama berpusat pada pemilihan Yasuke, seorang samurai berkulit hitam, sebagai salah satu karakter utama. Banyak pihak, terutama sejarawan Jepang, menganggap hal ini kurang merepresentasikan sejarah Jepang secara akurat. Isu ini diperparah dengan dugaan manipulasi sejarah Yasuke di Wikipedia dan protes dari komunitas gaming yang menuduh Ubisoft memasukkan “agenda woke” ke dalam game.

Tidak hanya itu, Ubisoft juga menuai kecaman atas sebuah tweet yang menampilkan patung figurine Yasuke dengan gerbang Torii Jepang yang hanya setengah di belakangnya. Hal ini dianggap tidak sensitif karena gerbang Torii tersebut adalah saksi pengeboman di Jepang. Kontroversi ini bahkan menyebabkan penundaan perilisan dari November 2024 menjadi Maret 2025.

Namun, di balik semua badai kritik tersebut, Assassin’s Creed Shadows justru mencetak rekor besar. Hanya dalam hitungan hari setelah dirilis pada 20 Maret 2025, game ini berhasil menarik lebih dari 2 juta pemain, menjadikannya peluncuran terbesar kedua dalam sejarah Ubisoft. Popularitasnya bahkan diprediksi akan mencapai 6 juta pemain dalam satu bulan.

Fenomena ini menarik perhatian pengembang legendaris Jepang, Hideki Kamiya. Ia berpendapat bahwa sebagian besar orang sebenarnya tidak benar-benar marah dengan game ini, melainkan hanya segelintir individu yang vokal di media sosial yang menciptakan kesan gelombang protes besar.

“Saya bertanya-tanya apakah ada cara agar suara orang-orang normal ini juga bisa lebih terdengar dalam berbagai aspek,” tulis Hideki Kamiya di akun X pribadinya.

Kesuksesan Assassin’s Creed Shadows menunjukkan bahwa meskipun sebuah game diterpa kontroversi, kualitas dan pengalaman bermain tetap menjadi faktor utama yang menentukan keberhasilannya di pasar.

Kesimpulan

Ubisoft adalah raksasa di industri game yang memiliki jejak rekam gemilang sekaligus penuh tantangan. Mereka telah menghadirkan game terbaik yang inovatif dan memukau, membentuk kenangan tak terlupakan bagi jutaan gamer di seluruh dunia. Namun, sebagai publisher penuh kontroversi, mereka juga sering dihadapkan pada kritik tajam, mulai dari isu downgrade grafis, praktik mikrotransaksi, hingga polemik narasi dalam game.

Kasus Assassin’s Creed Shadows adalah bukti nyata bahwa Ubisoft terus berupaya berinovasi, meskipun terkadang harus menghadapi badai opini publik. Terlepas dari kontroversi yang menyertainya, game-game mereka seringkali berhasil menarik perhatian dan meraih sukses. Ini menunjukkan bahwa di tengah kritik, kualitas inti permainan tetap menjadi daya tarik utama.

Jadi, meskipun perjalanan Ubisoft tidak selalu mulus, satu hal yang pasti: mereka terus menjadi pemain kunci yang tak bisa diabaikan dalam dunia gaming. Apakah Anda siap untuk menjelajahi dunia game Ubisoft selanjutnya?

Game Terbaik Ubisoft: Menjelajahi Karya Gemilang di Balik Badai Kontroversi Publisher Raksasa - zekriansyah.com