Hai para pelaku usaha di dunia digital, terutama Anda yang punya toko di platform e-commerce seperti Shopee, Tokopedia, TikTok Shop, Lazada, Blibli, atau Bukalapak! Ada kabar penting yang perlu Anda tahu dari Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) Kementerian Keuangan.
Pemerintah sedang menggodok aturan baru yang akan membuat platform e-commerce bertanggung jawab memungut pajak dari para penjual di dalamnya. Apa maksudnya dan siapa saja yang akan terdampak? Yuk, kita bahas selengkapnya agar Anda tidak ketinggalan informasi penting ini!
Apa Itu Aturan Pajak Toko Online yang Sedang Digodok?
Singkatnya, Ditjen Pajak berencana menunjuk platform e-commerce sebagai “pemungut pajak” dari para penjual yang beroperasi di sana. Ini bukan pajak baru, melainkan penyesuaian mekanisme pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) yang sudah ada.
Menurut rencana yang sedang difinalisasi:
- Platform e-commerce akan diwajibkan memotong Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 0,5 persen.
- Pemotongan ini berlaku untuk toko online yang memiliki omzet tahunan antara Rp 500 juta hingga Rp 4,8 miliar.
- Setelah memotong, e-commerce wajib menyetorkan pajak tersebut kepada Ditjen Pajak Kementerian Keuangan.
Ilustrasi Omzet dan Pajak:
Kriteria Omzet Tahunan | Persentase PPh yang Dipungut Platform | Keterangan |
---|---|---|
Di Bawah Rp 500 Juta | Tidak Dikenakan PPh | UMKM Mikro dilindungi |
Rp 500 Juta – Rp 4,8 Miliar | 0,5% | Dipungut oleh platform |
Di Atas Rp 4,8 Miliar | Mengikuti ketentuan PPh Badan/Orang Pribadi Umum | Pembayaran mandiri atau mekanisme lain |
Mengapa Aturan Ini Perlu Diberlakukan?
Mungkin Anda bertanya-tanya, kenapa tiba-tiba ada aturan seperti ini? Ditjen Pajak menjelaskan beberapa tujuan utama di balik kebijakan ini:
- Menciptakan Kesetaraan: Selama ini, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang berjualan secara offline (toko fisik) dengan omzet di atas Rp 500 juta sudah dikenakan PPh Final 0,5 persen. Aturan baru ini bertujuan untuk memberikan perlakuan yang adil antara UMKM online dan offline.
- Menyederhanakan Administrasi Pajak: Bagi penjual, proses pembayaran pajak akan menjadi lebih mudah karena tidak perlu menghitung dan menyetor sendiri. Platform e-commerce yang akan melakukan pemotongan otomatis.
- Meningkatkan Kepatuhan Pajak: Dengan sistem pemungutan oleh platform, diharapkan kepatuhan pajak dari para penjual online bisa lebih tinggi dan mengurangi celah “ekonomi bayangan” (transaksi yang tidak tercatat).
- Bukan Pajak Baru: Penting untuk diingat, ini bukan pajak baru yang dibebankan. PPh atas penghasilan dari usaha, termasuk jualan online, memang sudah ada. Aturan ini hanya mengatur pergeseran mekanisme pembayaran, dari yang sebelumnya mandiri menjadi dipungut oleh marketplace.
“Rencana ketentuan ini bukanlah pengenaan pajak baru. Ketentuan ini pada dasarnya mengatur pergeseran (shifting) dari mekanisme pembayaran PPh secara mandiri oleh pedagang online, menjadi sistem pemungutan PPh Pasal 22 yang dilakukan oleh marketplace sebagai pihak yang ditunjuk,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kemenkeu Rosmauli.
Beda Aturan Dulu dan Sekarang
Sebenarnya, wacana penarikan pajak dari pedagang online ini bukan hal baru. Pada tahun 2018, pemerintah sempat mencoba menerapkan skema serupa. Namun, regulasi tersebut ditarik kembali beberapa bulan kemudian karena mendapatkan penolakan dari industri, yang khawatir akan mempersulit pelaku usaha kecil.
Kini, situasinya berbeda. Industri e-commerce di Indonesia sudah sangat matang dan transaksinya semakin masif. Pemerintah menilai sudah saatnya sistem ini diberlakukan kembali dengan penyesuaian yang lebih matang. Tujuannya adalah untuk memastikan kontribusi perpajakan mencerminkan kapasitas usaha secara nyata di tengah pertumbuhan ekonomi digital yang pesat.
Bagaimana Tanggapan Pelaku Usaha dan Masyarakat?
Rencana ini tentu saja disambut dengan berbagai reaksi. Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) menyatakan siap mematuhi kebijakan pemerintah. Namun, mereka punya catatan penting: kebijakan ini harus dijalankan secara hati-hati dan bertahap.
- idEA dan Platform E-commerce: Mereka menekankan perlunya kesiapan sistem, dukungan teknis, dan komunikasi yang jelas kepada para penjual. Implementasi yang terburu-buru dikhawatirkan akan menimbulkan disrupsi pada pertumbuhan ekosistem digital nasional, terutama bagi UMKM digital yang menjadi tulang punggung. Tokopedia dan TikTok Shop juga menyatakan siap bekerja sama, namun berharap ada waktu persiapan yang memadai.
- Netizen/Masyarakat: Di media sosial, beberapa warganet mengkritik wacana ini. Mereka khawatir pajak tambahan ini akan semakin memberatkan pedagang yang sudah dikenakan berbagai potongan oleh e-commerce, dan berpotensi menyebabkan kenaikan harga barang.
Kapan Aturan Ini Akan Berlaku?
Saat ini, aturan mengenai penunjukan marketplace sebagai pemungut pajak masih dalam tahap finalisasi di internal pemerintah. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak, Rosmauli, menegaskan bahwa pemerintah akan mengumumkannya secara terbuka dan lengkap begitu aturan resminya diterbitkan.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa aturan ini bisa diumumkan secepat-cepatnya bulan depan (Juli 2025). Jadi, penting bagi kita semua untuk terus memantau informasi resmi dari Ditjen Pajak.
Kesimpulan
Rencana Ditjen Pajak untuk melibatkan platform e-commerce dalam pemungutan pajak dari toko online merupakan langkah strategis pemerintah. Tujuannya jelas: menciptakan kesetaraan perlakuan antara UMKM online dan offline, menyederhanakan administrasi pajak, dan meningkatkan kepatuhan.
Bagi Anda para penjual online, tidak perlu panik. Ingatlah bahwa ini bukanlah pajak baru, dan UMKM dengan omzet di bawah Rp 500 juta per tahun tetap tidak akan dikenakan PPh. Terus pantau pengumuman resmi dari pemerintah dan bersiaplah untuk beradaptasi dengan perubahan yang akan datang demi ekosistem ekonomi digital yang lebih adil dan transparan.