Ruben Amorim di Manchester United: Antara Filosofi ‘Kepala Batu’ dan Tekanan yang Makin Membesar

Dipublikasikan 26 Agustus 2025 oleh admin
Olahraga

Yogyakarta, zekriansyah.comManchester United sedang tidak baik-baik saja. Awal musim Premier League 2025/2026 ini kembali menyajikan drama yang tak diinginkan para penggemar Setan Merah. Hasil imbang 1-1 kontra Fulham di Craven Cottage, Minggu (24/8/2025), bukan hanya sekadar hasil mengecewakan, tapi juga alarm keras bagi sang pelatih, Ruben Amorim. Banyak yang bertanya, sampai kapan ia akan terus mempertahankan filosofi kepala batu-nya di tengah badai kritik dan tuntutan perubahan?

Ruben Amorim di Manchester United: Antara Filosofi 'Kepala Batu' dan Tekanan yang Makin Membesar

Ruben Amorim hadapi tekanan besar di Manchester United seiring hasil minor dan kritik atas filosofi taktik yang dinilai kaku.

Artikel ini akan mengupas tuntas mengapa Ruben Amorim kini menjadi sorotan utama, apa saja masalah besar yang dihadapinya di Old Trafford, dan mengapa kelenturan taktik sangat dibutuhkan agar Manchester United tidak terjerembab lebih dalam. Jika Anda penasaran dengan nasib Setan Merah di bawah kepemimpinan pelatih asal Portugal ini, mari kita selami lebih jauh.

Awal Musim Pincang dan Rekor yang Mengkhawatirkan

Musim lalu menjadi salah satu yang terburuk dalam tiga dekade terakhir bagi Manchester United. Alih-alih bangkit, awal musim ini justru terasa seperti mengulang mimpi buruk yang sama. Dengan catatan 28 poin dari 29 laga Premier League, persentase kemenangan Ruben Amorim bahkan disamakan dengan manajer langganan tim papan bawah.

Cemoohan dari fans lawan yang menyebut Man United tak ubahnya tim kandidat degradasi mulai santer terdengar. Ini bukan sekadar sentimen, melainkan cerminan dari performa di lapangan. Beban di pundak Amorim semakin berat, dan ia harus segera menemukan solusi.

Jurus ‘Kepala Batu’ yang Jadi Sorotan Utama

Salah satu kritik paling menohok yang dialamatkan kepada Ruben Amorim adalah keteguhannya pada formasi 3-4-2-1 atau 3-4-3. Taktik ini memang sukses besar saat ia menukangi Sporting CP di Portugal, namun di kancah Premier League, sistem ini seolah tak bertuah. Para pengamat dan legenda klub, seperti Gary Neville, terang-terangan menyebut Amorim terlalu kepala batu karena tak mau mengubah formasi di tengah krisis.

Formasi Andalan yang Tak Lagi Relevan?

Sistem tiga bek yang diusung Amorim dinilai tidak cocok dengan karakter skuad Manchester United saat ini. Dampaknya terlihat jelas pada beberapa pemain kunci:

  • Bruno Fernandes dipaksa bermain lebih defensif, mengurangi daya magisnya sebagai kreator serangan.
  • Kobbie Mainoo, talenta muda yang digadang-gadang bisa memberi energi baru, justru tersingkir dan jarang diberi kesempatan.
  • Amad Diallo kehilangan peran naturalnya di sayap, terbelenggu dalam sistem yang tidak mengakomodasi keunggulannya.

Alih-alih menyatukan potensi, formasi ini justru membuat tim terkesan terbelenggu. Amorim pernah menegaskan, “Saya di sini karena ide saya, dan saya akan terus menjalankan ide saya sampai akhir.” Sebuah pernyataan yang menunjukkan betapa kuatnya pendiriannya, namun di saat yang sama, memicu pertanyaan besar tentang adaptasinya.

Masalah Produktivitas di Lini Serang

Selain formasi, produktivitas gol juga menjadi masalah serius bagi Man United. Hingga kini, Setan Merah belum mencetak gol murni lewat skema permainan terbuka.

  • Pemain mahal seperti Benjamin Sesko belum diberi kesempatan tampil reguler.
  • Mason Mount dan Matheus Cunha dipaksakan bermain sebagai penyerang tengah, padahal bukan posisi natural mereka.

Hasilnya? Lini depan Manchester United tampak ompong dan kesulitan menembus pertahanan lawan. Ini tentu jadi PR besar bagi Amorim untuk memaksimalkan potensi para penyerangnya.

Kiper dan Lini Tengah yang Goyah

Krisis kepercayaan juga merambah sektor penjaga gawang. Altay Bayindir tetap dimainkan meski tampil meragukan, sementara Andre Onana hanya jadi penghangat bangku cadangan. Ketidakpastian di bawah mistar membuat lini pertahanan semakin rapuh.

Di lini tengah, kontrol permainan seringkali lepas. Dalam laga melawan Fulham, Casemiro dan Bruno Fernandes yang menjadi motor lapangan tengah gagal menjaga tempo. Pergantian pemain Amorim justru kadang terlihat semakin melemahkan tim. Absennya Kobbie Mainoo yang tak kunjung diberi kesempatan, menjadi tanda tanya besar tentang bagaimana Amorim mengelola kedalaman skuadnya.

Mengapa Amorim Begitu Teguh pada Filosofinya?

Keteguhan Ruben Amorim pada filosofinya bukan tanpa alasan. Ia pernah sukses besar di Sporting CP dengan sistem serupa, bahkan sampai mengubah sistem akademi klub agar sejalan dengan tim utama. Di sana, ia berhasil membawa Sporting menjuarai Liga Portugal setelah 19 tahun puasa gelar.

Ia juga berargumen bahwa pada musim lalu, saat ia baru tiba di Old Trafford pada November di tengah situasi klub yang kacau, ia tidak punya cukup waktu untuk bekerja maksimal di lapangan latihan. “Ingat, kami hanya punya sekitar empat sesi latihan bersama. Jadi itu adalah hal yang sangat penting,” jelasnya.

Namun, musim ini ceritanya berbeda. Klub sudah lebih stabil, ada restrukturisasi manajemen, fasilitas latihan baru, dan absennya Manchester United dari kompetisi Eropa memberinya banyak waktu untuk bekerja di Carrington. Oleh karena itu, alasan waktu kini tak lagi bisa menjadi pembelaan. Amorim kini dituntut untuk membuktikan bahwa idealismenya bisa membawa perubahan positif. Ia sendiri pernah berkata, “Saya benar-benar percaya bahwa saya adalah orang yang tepat untuk pekerjaan ini.”

PR Besar di Depan Mata: Fleksibilitas atau Konsekuensi?

Situasi Manchester United saat ini sangat genting. Dengan jadwal berat menghadapi tim-tim seperti Manchester City dan Chelsea di depan mata, kegagalan berikutnya bisa membuat posisi Ruben Amorim benar-benar terancam. Gary Neville bahkan mengkritik keras, menyatakan bahwa peluang United turun kasta bisa jadi lebih besar daripada finis di zona Eropa.

Ada pula tantangan dalam integrasi pemain muda. Meskipun Amorim dikenal sukses menelurkan talenta, sistem akademi United yang terbiasa dengan formasi 4-3-3 menjadi kendala. Jika Amorim terlalu kepala batu untuk beradaptasi, bukan tidak mungkin pemain seperti Marcus Rashford dan Alejandro Garnacho yang kesulitan beradaptasi akan bernasib serupa dengan pemain yang pernah dikorbankan Amorim di Portugal.

Kesimpulan

Tekanan di Old Trafford kini terasa sangat nyata. Ruben Amorim berada di persimpangan jalan antara mempertahankan idealismenya yang sukses di masa lalu dan kebutuhan untuk beradaptasi dengan realitas Premier League yang kejam. Keteguhan pada filosofi memang penting, tetapi fleksibilitas adalah kunci untuk bertahan di liga paling kompetitif di dunia.

Para penggemar Manchester United berharap Amorim bisa menunjukkan kelenturan taktik, membuka diri terhadap perubahan, dan menemukan formula terbaik untuk skuad yang ada. Karena pada akhirnya, hasil di lapangan yang akan berbicara. Semoga Ruben Amorim tidak terlalu kepala batu dan mampu membawa Setan Merah kembali ke jalur kemenangan. Ini adalah ujian sesungguhnya bagi sang pelatih.

Ruben Amorim di Manchester United: Antara Filosofi ‘Kepala Batu’ dan Tekanan yang Makin Membesar - zekriansyah.com