Yogyakarta, zekriansyah.com – Siapa sangka, insiden mengerikan bisa terjadi saat mendaki gunung. Paul Farrell, seorang pria asal Irlandia, punya cerita yang mungkin membuat bulu kuduk merinding. Ia pernah terjatuh dari ketinggian sekitar 200 meter di medan curam Gunung Rinjani, Nusa Tenggara Barat, pada Oktober 2024. Kisahnya kembali jadi sorotan setelah insiden pendaki asal Brasil, Juliana Marins, yang meninggal dunia di gunung yang sama belum lama ini.
Ilustrasi: Pria Irlandia bangkit dari jurang maut 200 meter di Gunung Rinjani.
Bagaimana Paul bisa selamat dari maut dan bertahan hidup di tengah tebing curam? Simak kisahnya yang penuh pelajaran berharga ini. Artikel ini akan membawa Anda menyelami pengalaman Paul dan apa saja yang bisa kita petik dari kejadian tak terduga di alam bebas.
Awal Mula Insiden: Kerikil di Sepatu dan Angin Kencang
Pendakian Gunung Rinjani memang selalu menawarkan tantangan tersendiri. Paul Farrell, yang saat itu berusia 32 tahun, memulai pendakiannya di pagi hari. Bagian awal pendakian terasa cukup mudah, namun medan menuju puncak jauh lebih menantang.
“Tanah di sana berbeda, tempat yang membuat Anda seolah melangkah maju satu langkah dan mundur dua langkah,” kenang Farrell dalam wawancara dengan BBC News Brasil. Ia menambahkan, “Karena kami berada di gunung berapi, medannya berpasir dan Anda bisa menenggelamkan kaki.”
Setelah berhasil mencapai puncak, Paul merasa ada yang mengganjal. Kerikil-kerikil kecil di dalam sepatu ketsnya membuatnya tidak nyaman. Ia pun memutuskan untuk melepas sepatu untuk membersihkannya. Agar lebih leluasa, sarung tangan yang dikenakannya juga dilepas.
Saat itulah, kejadian tak terduga terjadi. Tiba-tiba, embusan angin menerbangkan sarung tangannya ke arah kawah gunung. Paul refleks berlutut untuk mencoba meraihnya. Namun nahas, tanah tempat ia berpijak mendadak runtuh. Seketika, ia pun terjatuh dari tebing curam.
Detik-detik Mencekam: Jatuh 200 Meter dan Mode Bertahan Hidup
Dalam hitungan detik, Paul merasakan tubuhnya meluncur tanpa kendali. “Kecepatan saya jatuh makin cepat, adrenalin terpompa. Saya segera menyimpulkan bahwa saya bisa mati kapan saja,” ujarnya menggambarkan momen horor itu.
Di tengah situasi yang sangat genting, naluri bertahan hidupnya langsung aktif. Satu-satunya pilihan adalah mencari sesuatu yang bisa dipegang agar laju jatuh tidak semakin cepat di tebing yang sangat curam.
“Saya mencoba menancapkan kuku dan tangan saya ke apa saja, hanya untuk memperlambat. Sampai saya melihat sebuah batu besar dan saya mencoba mengalihkan jalan saya ke arah batu itu.”
Beruntung, Paul berhasil mengarahkan tubuhnya ke batu besar tersebut.
“Saya menabrak batu itu, tetapi untungnya saya berhasil menghentikan laju jatuh.”
Batu besar itu menjadi penyelamatnya, menghentikan laju jatuhnya yang mengerikan.
Bertahan di Jurang Selama Berjam-jam: Luka Ringan dan Teriakan Minta Tolong
Paul akhirnya terhenti di kedalaman sekitar 200 meter di dalam jurang. Setelah mengatur napas, ia menyadari sesuatu yang luar biasa: meskipun jatuh ratusan meter, tubuhnya hanya mengalami beberapa luka dan goresan ringan. Sungguh sebuah keajaiban!
Namun, Paul tahu ia belum sepenuhnya aman. Tempatnya berpijak masih berbahaya dan ia bisa terpeleset kapan saja.
Paul mendaki bersama satu kelompok. Saat kejadian, hanya ada seorang perempuan Prancis di dekatnya yang menyaksikan seluruh insiden. Paul langsung berteriak sekuat tenaga.
“Saya berteriak sekuat tenaga agar dia mencari anggota tim lainnya dan meminta bantuan. Kemudian dia berlari kembali ke base camp dan memperingatkan orang-orang,” jelasnya.
Paul memperkirakan dirinya bertahan di atas batu itu selama kurang lebih lima hingga enam jam. Waktu terasa sangat lambat.
“Itu jelas pengalaman yang sangat menakutkan. Saya berdoa kepada Tuhan agar saya bisa keluar dari sana hidup-hidup, atau hanya dengan beberapa tulang yang patah.”
“Sejujurnya, saya rela mematahkan lengan, kaki, atau semua tulang saya untuk keluar dari situasi itu. Jika saya perlu membuat perjanjian dengan Tuhan atau Iblis untuk keluar dari sana hidup-hidup, saya akan melakukannya.”
Proses Penyelamatan yang Penuh Haru
Tim pendaki profesional di sekitar lokasi awalnya berusaha membantu dengan membuat tali darurat dari pakaian yang diikat menyambung. Namun, medan yang terlalu ekstrem membuat usaha ini sulit dilakukan dan berisiko.
Setelah penantian panjang sekitar lima jam, tim penyelamat profesional yang bekerja di wilayah tersebut akhirnya tiba. Mereka berhasil mengangkat Paul dari lokasi kejadian. Tim penyelamat sempat memberi tahu Paul bahwa mereka berada di dekat lokasi kejadian karena sedang mengevakuasi korban kecelakaan lain. Sebuah kebetulan yang menyelamatkan nyawa Paul.
Ketika akhirnya terbebas dan diangkat ke tempat yang aman, Paul merasa sangat lega.
“Saya sangat bersyukur dan bersemangat,” ungkapnya.
Pengalaman ini tentu saja meninggalkan kesan mendalam baginya.
“Saya suka adrenalin dan olahraga ekstrem, tetapi situasi ini hampir membuat saya jera,” tambahnya.
Pelajaran Berharga dari Rinjani: Keselamatan dan Perubahan Hidup
Pengalaman Paul Farrell di Rinjani bukan hanya tentang bertahan hidup, tapi juga tentang pelajaran berharga. Ia menekankan pentingnya peningkatan keamanan di jalur pendakian Gunung Rinjani, terutama setelah insiden yang menimpa Juliana Marins.
Beberapa saran Paul untuk meningkatkan keamanan di Rinjani:
- Investasi Keamanan: Perlu lebih banyak dana untuk meningkatkan fasilitas keamanan di jalur pendakian.
- Kenaikan Biaya Masuk: Menaikkan biaya yang dikenakan untuk mengunjungi lokasi dapat menjadi sumber dana tambahan untuk investasi keamanan.
- Jumlah Pemandu: Setiap kelompok pendaki sebaiknya memiliki minimal dua pemandu.
“Memastikan setiap kelompok memiliki setidaknya dua pemandu, sehingga salah satu dari mereka tetap berada di belakang dan dapat menawarkan semacam dukungan kepada orang-orang yang merasa tidak enak badan dan tertinggal, seperti yang terjadi pada Juliana,” saran Farrell.
Ketika ditanya apakah ia akan mendaki Gunung Rinjani lagi, Paul menjawab tanpa ragu.
“Tidak diragukan lagi. Tapi saya akan lebih berhati-hati saat mendaki [Gunung Rinjani] kedua kalinya. Mendaki gunung adalah sesuatu yang ingin saya lakukan selama sisa hidup saya, selama saya masih mampu.”
Momen dekat dengan kematian ini benar-benar mengubah cara pandangnya terhadap kehidupan.
“Sangat jarang orang selamat dari kecelakaan seperti ini, sayangnya. Namun, ketika saya masih hidup setelah mengalami [jatuh di Gunung Rinjani], saya mulai berpikir tentang apa yang benar-benar penting,” kata Farrell.
Ia mengaku, sejak kecelakaan itu, hubungannya dengan Tuhan menjadi jauh lebih baik. Kini, ia berusaha menjalani hidup dengan lebih selaras dengan nilai-nilai yang benar-benar penting baginya, seperti yang ia sampaikan saat diwawancarai BBC News Brasil dari tempat yoga dan meditasi di India.
Kisah Paul Farrell adalah bukti nyata ketahanan manusia dan keberuntungan di tengah bahaya alam. Jatuh 200 meter di Gunung Rinjani dan berhasil selamat dengan luka ringan adalah sebuah keajaiban yang patut disyukuri. Pengalamannya juga menjadi pengingat penting bagi kita semua, terutama para pendaki, untuk selalu mengutamakan keselamatan dan tidak pernah meremehkan kekuatan alam. Semoga cerita Paul ini bisa menginspirasi kita untuk selalu berhati-hati, menghargai hidup, dan menemukan makna di setiap tantangan yang datang.
Baca juga: Nyaris Tewas di Rinjani: Kisah Mencekam Pendaki Irlandia Selamat dari Jurang 200 Meter
FAQ
Tanya: Bagaimana Paul Farrell bisa terjatuh dari ketinggian 200 meter di Gunung Rinjani?
Jawab: Paul Farrell terjatuh saat mencoba membersihkan kerikil dari sepatunya di medan yang curam dan berpasir di Gunung Rinjani.
Tanya: Apa yang membuat medan pendakian Gunung Rinjani saat itu berbahaya bagi Paul Farrell?
Jawab: Medan pendakian tersebut sangat menantang karena berpasir, membuat kaki tenggelam, dan disertai angin kencang.
Tanya: Apa pelajaran berharga yang bisa dipetik dari kisah selamatnya Paul Farrell?
Jawab: Kisah Paul Farrell menekankan pentingnya kehati-hatian ekstra dan kesiapan menghadapi kondisi alam yang tidak terduga saat mendaki gunung.