Anak Buah Sri Mulyani Akui Penerimaan Pajak Alami Persoalan: Apa Biang Keroknya dan Bagaimana Solusinya?

Dipublikasikan 15 Juli 2025 oleh admin
Finance

Yogyakarta, zekriansyah.com – Pajak adalah tulang punggung pembangunan negara kita. Setiap rupiah yang kita bayarkan memiliki peran besar dalam membiayai berbagai program pemerintah, mulai dari infrastruktur, pendidikan, hingga kesehatan. Namun, bagaimana jika penerimaan pajak itu sendiri sedang menghadapi tantangan?

Anak Buah Sri Mulyani Akui Penerimaan Pajak Alami Persoalan: Apa Biang Keroknya dan Bagaimana Solusinya?

Direktur Jenderal Pajak mengakui adanya persoalan dalam penerimaan pajak semester I 2025, dengan restitusi pajak yang tinggi menjadi biang kerok utama penurunan pendapatan bersih.

Baru-baru ini, Direktur Jenderal Pajak (DJP) Bimo Wijayanto, yang merupakan anak buah Sri Mulyani, secara terbuka mengakui adanya persoalan dalam penerimaan pajak di paruh pertama tahun 2025. Pengakuan ini tentu menarik perhatian banyak pihak, terutama kita sebagai masyarakat yang turut berkontribusi. Artikel ini akan mengupas tuntas apa yang sebenarnya terjadi, mengapa ini bisa terjadi, dan langkah-langkah apa yang sedang atau akan diambil pemerintah. Yuk, kita selami lebih dalam!

Mengapa Penerimaan Pajak “Bermasalah”? Restitusi Jadi Sorotan Utama!

Anda mungkin bertanya-tanya, apa yang membuat anak buah Sri Mulyani akui penerimaan pajak sedang bermasalah? Dirjen Pajak Bimo Wijayanto menjelaskan bahwa persoalan utama terletak pada realisasi penerimaan neto, khususnya dari Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) serta Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).

Bimo menyebutkan bahwa biang kerok di balik ini adalah adanya restitusi pajak yang cukup signifikan. Bayangkan saja, uang masuk (bruto) memang terlihat besar, namun karena ada pengembalian pajak (restitusi) yang banyak, sisa bersih (neto) yang masuk kas negara jadi berkurang.

Berikut adalah gambaran singkat realisasi penerimaan pajak bruto dan neto hingga Juni 2025:

Jenis Penerimaan Realisasi (Juni 2025) Keterangan

Judul yang Diberikan: “anak buah sri mulyani akui penerimaan pajak”

JUDUL UTAMA (H1): Penerimaan Pajak Bermasalah? Anak Buah Sri Mulyani Buka Suara: Ini Biang Keroknya!

PENDAHULUAN

Pernahkah Anda bertanya-tanya, dari mana negara kita mendapatkan dana untuk membangun jalan, sekolah, atau bahkan membayar gaji para guru dan dokter? Jawabannya ada pada pajak yang kita bayarkan. Pajak adalah urat nadi perekonomian dan pembangunan sebuah bangsa. Nah, baru-baru ini, kabar mengejutkan datang dari ring 1 Kementerian Keuangan. Direktur Jenderal Pajak (DJP) Bimo Wijayanto, yang tak lain adalah anak buah Sri Mulyani, secara terus terang mengakui adanya persoalan dalam penerimaan pajak di paruh pertama tahun 2025.

Lantas, apa sebenarnya yang terjadi? Mengapa angka penerimaan pajak, yang selalu diharapkan tumbuh, kini diakui menghadapi masalah? Artikel ini akan mengupas tuntas duduk perkaranya, mulai dari penyebab utama hingga upaya yang sedang dilakukan pemerintah. Mari kita pahami bersama demi masa depan ekonomi Indonesia yang lebih baik!

Restitusi Pajak: Biang Kerok di Balik Angka yang Berkurang

Pengakuan dari anak buah Sri Mulyani ini tentu bukan tanpa alasan. Bimo Wijayanto menjelaskan bahwa meskipun penerimaan bruto (pendapatan kotor) menunjukkan tren positif, angka neto (pendapatan bersih setelah dikurangi pengembalian) justru menjadi perhatian. Biang kerok utamanya? Restitusi pajak yang sangat signifikan.

Sederhananya, restitusi itu seperti uang kembalian. Wajib pajak yang membayar lebih dari seharusnya, atau memiliki kelebihan pembayaran, berhak meminta pengembalian. Dan di semester I 2025 ini, jumlah pengembalian tersebut cukup besar, terutama pada jenis PPh Badan dan PPN & PPnBM.

“Memang ada permasalahan di sisi penerimaan neto, khususnya realisasi neto di PPh Badan dan juga PPN & PPnBM akibat dari restitusi yang cukup signifikan yang terjadi,” jelas Bimo dalam rapat dengan Komisi XI DPR RI.

Ini dia potret realisasi neto dari dua jenis pajak tersebut:

  • PPh Badan: Tercatat Rp 151,71 triliun, atau minus 12,1%.
  • PPN & PPnBM: Tercatat Rp 297,90 triliun, atau minus 10,5%.

Meski demikian, secara total, realisasi penerimaan pajak bruto hingga Juni 2025 mencapai Rp 1.087 triliun, sementara realisasi neto sebesar Rp 837 triliun.

Tren Fluktuatif dan Kontribusi Pajak bagi Negara

Meskipun ada tantangan, Dirjen Pajak Bimo Wijayanto optimistis. Ia menyebutkan bahwa di bulan Juni 2025, penerimaan pajak justru menunjukkan tren positif dengan kenaikan sebesar 15,8%. Angka ini menjadi angin segar setelah sempat terpuruk di bulan Mei yang menunjukkan penurunan hingga 7,4%.

“Tren positif pada bulan terakhir di bulan Juni kemarin… mudah-mudahan ini sinyal yang positif untuk terus rebound sampai akhir Desember nanti,” harap Bimo.

Pajak memang memiliki peran yang luar biasa. Kontribusinya terhadap total penerimaan negara di semester pertama 2025 mencapai 69,23%. Ini menunjukkan betapa vitalnya peran pajak dalam menjaga roda pemerintahan dan pembangunan tetap berjalan. Jika dibandingkan dengan lima tahun terakhir, rata-rata penerimaan bruto pajak juga terus meningkat, dari Rp 111,4 triliun per bulan di tahun 2021 menjadi Rp 181,3 triliun per bulan di semester I 2025.

Membangun Pondasi Pajak yang Lebih Kuat: Tantangan dan Kebutuhan Anggaran

Mengatasi persoalan penerimaan pajak tidak semudah membalik telapak tangan. Ada beberapa tantangan besar yang perlu dihadapi oleh DJP dan Kementerian Keuangan.

Kepatuhan Wajib Pajak: Kunci Utama Penerimaan Optimal

Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo, pernah menyoroti pentingnya kesadaran dan kepatuhan wajib pajak. Menurutnya, target pajak hanya bisa tercapai optimal jika kepatuhan masyarakat tinggi.

“Pencapaian target penerimaan pajak yang optimal harus disertai dengan kepatuhan wajib pajak yang tinggi. Selama kepatuhan belum tinggi, jangan pernah berharap ada penerimaan pajak yang optimal,” ujarnya.

Indonesia sendiri masih memiliki pekerjaan rumah besar dalam hal kepatuhan pajak. Data menunjukkan tax ratio kita pada tahun 2021 masih di angka 9,1%, jauh di bawah rata-rata negara OECD yang sekitar 34%. Ini menunjukkan perlunya edukasi masif tentang pentingnya pajak bagi pembangunan.

Sistem Administrasi yang “Usang” dan Digitalisasi Menyeluruh

Tantangan lain yang tak kalah penting adalah sistem administrasi perpajakan itu sendiri. Dirjen Pajak Suryo Utomo (sebelum Bimo Wijayanto), pernah mengakui bahwa sistem yang ada saat ini sudah cukup usang. Oleh karena itu, pemerintah sedang gencar melakukan pembaruan sistem administrasi dan proses bisnis secara fundamental melalui coretax system atau sistem inti perpajakan.

Pembaruan ini berfokus pada digitalisasi total, dengan harapan bisa memberikan kemudahan, keadilan, dan kepastian hukum bagi masyarakat wajib pajak. Targetnya, sistem baru ini dapat digunakan secara luas pada tahun 2024.

Permintaan Tambahan Anggaran: Investasi untuk Hasil Optimal?

Dalam upaya mengoptimalkan penerimaan, DJP juga mengajukan usulan tambahan anggaran DJP untuk tahun 2026. Dirjen Pajak Bimo Wijayanto mengusulkan tambahan anggaran sebesar Rp 1,79 triliun, sehingga total anggaran DJP menjadi Rp 6,26 triliun.

Bimo menjelaskan bahwa rasio anggaran DJP terhadap penerimaan pajak selama ini cenderung menurun, bahkan lebih rendah dibandingkan negara-negara tetangga di Asia seperti Filipina dan India. Ini menunjukkan DJP sudah cukup efisien. Namun, Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, menyoroti bahwa efisiensi tidak boleh mengorbankan potensi penerimaan.

“Kalau jumlah pungutan 2024 realisasinya penerimaan itu Rp 1.931 triliun, terus anggaran 2024 itu cuman Rp 6,9 triliun, sekarang turun Rp 6,27 triliun, itu pun dengan usulan tambahan. Tapi (target) penerimaan pasti di atas 2.000 triliun, tapi biasanya untuk mendapatkan hanya Rp 6,27 triliun,” sebut Misbakhun.

Ia menambahkan, “Rumus teorinya itu bukan tidak ada pengorbanan untuk mendapatkan hasil yang optimal, tapi pada tingkat tertentu kita keluar biaya untuk mendapatkan hasil yang optimal.” Analogi sederhananya, jika ingin berlari maraton dengan cepat, kita butuh sepatu dan nutrisi yang memadai, bukan malah dikurangi. Investasi yang tepat bisa menghasilkan pengembalian yang lebih besar.

Proyeksi dan Harapan ke Depan

Menteri Keuangan Sri Mulyani sendiri mengakui bahwa penerimaan pajak di akhir tahun 2025 mungkin tidak akan mencapai target awal. Dari target APBN Rp 2.789

FAQ

Tanya: Apa yang dimaksud dengan restitusi pajak dan mengapa hal itu mempengaruhi penerimaan pajak negara?
Jawab: Restitusi pajak adalah pengembalian kelebihan pembayaran pajak kepada Wajib Pajak, yang jika jumlahnya besar dapat mengurangi penerimaan pajak neto negara.

Tanya: Sektor pajak apa saja yang paling terdampak oleh tingginya restitusi pajak menurut Dirjen Pajak?
Jawab: Sektor pajak yang paling terdampak adalah Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) serta Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).

Tanya: Bagaimana pemerintah mengatasi persoalan tingginya restitusi pajak yang berdampak pada penerimaan negara?
Jawab: Pemerintah sedang mengkaji dan mengambil langkah-langkah untuk mengatasi persoalan ini, meskipun detail spesifik solusinya belum diuraikan dalam ringkasan.