Gunung Rinjani, dengan puncaknya yang megah dan Danau Segara Anaknya yang memukau, selalu menjadi magnet bagi para pendaki, baik domestik maupun mancanegara. Namun, keindahan alamnya juga menyimpan tantangan yang tak terduga. Sebuah insiden tragis yang menimpa seorang pendaki asal Brasil baru-baru ini telah menarik perhatian luas, menyoroti kompleksitas operasi penyelamatan di medan ekstrem dan respons sigap pemerintah daerah. Artikel ini akan mengupas tuntas upaya evakuasi pendaki Brasil jatuh Rinjani, menyoroti peran sentral Gubernur NTB dan kolaborasi berbagai pihak dalam menghadapi “golden time” penyelamatan.
Pada Sabtu pagi, 21 Juni 2025, suasana damai di jalur pendakian menuju puncak Rinjani tiba-tiba berubah mencekam. Seorang pendaki wanita berusia 27 tahun berkebangsaan Brasil, yang diidentifikasi dengan inisial JDSP atau Juliana, dilaporkan terjatuh ke dalam jurang. Insiden ini terjadi sekitar pukul 06.30 WITA di titik Cemara Nunggal, sebuah jalur krusial menuju puncak Rinjani yang dikenal dengan kontur tebingnya yang curam dan licin akibat embun pagi. Juliana, yang saat itu mendaki bersama 12 rekannya melalui pintu Sembalun sejak 20 Juni, diduga terpeleset dan hilang dari pandangan, mengarah ke Danau Segara Anak. Perkiraan awal menyebutkan kedalaman jatuh sekitar 150-200 meter, namun pantauan selanjutnya menunjukkan bahwa korban tersangkut di tebing batu pada kedalaman yang jauh lebih ekstrem, mencapai 400 hingga 500 meter.
Deteksi Awal dan Tantangan di Medan Ekstrem
Begitu laporan diterima, tim SAR gabungan segera bergerak. Namun, medan Gunung Rinjani yang terjal, berbatu, dan curam, ditambah dengan kondisi cuaca yang sangat dinamis, menjadi hambatan utama. Kabut tebal yang menyelimuti area kejadian sering kali mempersempit pandangan, bahkan badai besar sempat memaksa tim evakuasi yang sudah turun hingga 200 meter untuk kembali naik.
Pada Senin, 23 Juni 2025, pagi hari sekitar pukul 06.00 WITA, secercah harapan muncul. Tim gabungan, memanfaatkan teknologi drone, mulai melakukan pelacakan lokasi korban. Hanya berselang sekitar 30 menit, pada pukul 06.30 WITA, korban berhasil terpantau melalui drone. Visualisasi thermal menunjukkan Juliana tersangkut di tebing batu, namun dalam kondisi yang memprihatinkan: tidak menunjukkan tanda-tanda gerakan. Kepala Kantor SAR Mataram, Muhamad Hariyadi, mengonfirmasi penemuan ini, menyatakan bahwa korban berada di kedalaman sekitar 500 meter dari titik awal jatuhnya.
Proses penjangkauan lokasi korban bukan perkara mudah. Tim rescuer pertama yang terdiri dari delapan personel, termasuk anggota Basarnas, SAR Unit Lotim, dan Brimob, harus menghadapi dua overhang besar—tonjolan tebing yang membuat pemasangan anchor (penambat) menjadi sangat sulit, bahkan tidak memungkinkan di beberapa titik. Ini berarti tim harus melakukan teknik climbing yang sangat berisiko untuk bisa mencapai posisi korban. Demi keselamatan tim, di tengah cuaca yang terus berubah dan kabut tebal, tim rescuer sempat ditarik kembali ke posisi aman.
Respons Cepat Pemerintah: Peran Sentral Gubernur NTB dan Menteri Kehutanan
Melihat urgensi dan kompleksitas operasi, pemerintah pusat dan daerah tidak tinggal diam. Menteri Kehutanan (Menhut) Raja Juli Antoni, melalui Dirjen Konservasi Alam dan Ekosistem (KSDAE) Satyawan Pudyatmoko, menegaskan keseriusan pihaknya dalam menangani kecelakaan pendakian, termasuk insiden yang menimpa Juliana. Menhut bahkan berkomunikasi langsung dengan Kepala Basarnas, Kapolda, dan Gubernur NTB untuk memastikan proses evakuasi berjalan optimal.
Di tingkat daerah, Gubernur Nusa Tenggara Barat, Lalu Muhamad Iqbal, menunjukkan kepemimpinan yang tegas dan responsif. Pada Senin, 23 Juni 2025, pukul 14.30 WITA, Gubernur Iqbal menggelar rapat koordinasi virtual yang sangat krusial. Rapat ini dihadiri oleh jajaran penting seperti Wakil Gubernur NTB Indah Dhamayanti Putri, Asisten II Sekda NTB Lalu Muh Faozal, Kepala Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR) Yarman, dan Kepala Kantor SAR Mataram Muhamad Hariyadi.
Dalam arahannya, Gubernur Iqbal secara eksplisit menekankan prioritas utama adalah keselamatan korban. Ia menginstruksikan agar evakuasi dilakukan secepat mungkin, tanpa kompromi. “Bagaimanapun caranya, korban harus segera diselamatkan,” tegas Gubernur Iqbal. Ia menyoroti pentingnya memanfaatkan “golden time” penyelamatan, yaitu jendela waktu krusial 72 jam bagi seseorang untuk bertahan hidup dalam kondisi darurat, apalagi tanpa bekal di alam terbuka. “Jadi jangan sampai kita kehilangan momentum emas ini,” imbuhnya.
Menyadari tantangan medan dan cuaca yang ekstrem, Gubernur Iqbal mengambil langkah strategis untuk mempercepat proses evakuasi:
- Pemanfaatan Helikopter Khusus: Gubernur Iqbal menyatakan akan segera berkoordinasi dengan PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT), sebuah perusahaan tambang besar di NTB yang diketahui memiliki helikopter khusus dengan kemampuan manuver di medan ekstrem dan spesifikasi airlifter. “Kita harus menggunakan semua kemampuan terbaik yang kita miliki, termasuk opsi airlifting menggunakan helikopter dengan pilot yang memiliki spesifikasi khusus. Ini demi menyelamatkan nyawa korban,” ungkapnya. Kepala Kantor SAR Mataram, Muhamad Hariyadi, secara teknis menjelaskan bahwa evakuasi menggunakan helikopter memang dimungkinkan, asalkan spesifikasi helikopter memiliki hoist untuk air lifting dan cuaca memungkinkan.
Keputusan ini menunjukkan determinasi tinggi dari Gubernur NTB untuk mengerahkan segala sumber daya demi satu tujuan: penyelamatan nyawa.
Kolaborasi Lintas Lembaga: Sinergi dalam Aksi Kemanusiaan
Keberhasilan operasi penyelamatan seperti ini sangat bergantung pada sinergi dan koordinasi antarberbagai pihak. Dalam insiden evakuasi pendaki Brasil di Rinjani ini, tim gabungan yang terlibat sangatlah komprehensif, mencerminkan respons tanggap bencana yang terstruktur. Pihak-pihak yang terlibat antara lain:
- Kantor SAR Mataram (Basarnas): Sebagai koordinator utama operasi pencarian dan penyelamatan.
- Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR): Pihak yang paling memahami medan dan kondisi gunung.
- TNI dan Polri (termasuk Brimob): Memberikan dukungan personel dan keamanan.
- Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD): Koordinasi bantuan dan logistik.
- Dinas Pemadam Kebakaran (Damkar): Dukungan peralatan dan personel.
- Relawan Rinjani dan Porter Lokal: Pengetahuan lokal yang tak ternilai tentang medan dan jalur.
- Emergency Medical Humanitarian Care (EMHC): Dukungan medis.
- Unit SAR Lombok Timur: Unit pendukung di tingkat lokal.
Kolaborasi lintas lembaga ini membuktikan komitmen bersama untuk keselamatan, meskipun menghadapi berbagai kendala seperti medan yang sulit, risiko jatuhnya batu, dan perubahan cuaca yang cepat.
Implikasi yang Lebih Luas: Citra NTB sebagai Destinasi Wisata Aman
Di luar upaya penyelamatan individu, insiden ini juga memiliki implikasi yang lebih luas, khususnya terhadap citra Nusa Tenggara Barat sebagai destinasi pariwisata internasional. Gubernur Iqbal secara gamblang menyatakan bahwa keberhasilan evakuasi ini bukan hanya soal kemanusiaan, tetapi juga menyangkut reputasi NTB.
“Ini bukan hanya soal menyelamatkan satu nyawa, tapi juga menyangkut citra kita sebagai tuan rumah yang bertanggung jawab. Kita harus bisa menunjukkan bahwa NTB adalah destinasi wisata yang aman bagi siapa pun yang datang,” kata Gubernur Iqbal. Ia juga menambahkan bahwa kejadian ini bahkan telah menjadi perhatian publik di Brasil, menekankan perlunya respons yang serius dan cepat tanggap dari pemerintah Indonesia.
Pernyataan ini menggarisbawahi pentingnya mitigasi risiko dan penegakan protokol keselamatan dalam setiap aktivitas pariwisata ekstrem. Baik Menteri Kehutanan maupun Kepala BTNGR telah berulang kali mengimbau para pendaki untuk selalu mengutamakan keselamatan, menggunakan pemandu lokal, dan mematuhi semua protokol yang berlaku, terutama di jalur-jalur berisiko tinggi. Tragedi ini menjadi pengingat penting bahwa keindahan alam Rinjani juga menuntut rasa hormat dan kehati-hatian yang tinggi dari setiap pengunjungnya.
Penutup: Ketekunan dan Harapan di Puncak Rinjani
Insiden jatuhnya pendaki Brasil di Gunung Rinjani adalah ujian berat bagi tim penyelamat dan pemerintah daerah. Meskipun Juliana ditemukan dalam kondisi tidak bergerak, upaya evakuasi terus berlanjut dengan tekad yang tak tergoyahkan. Dukungan penuh dari Gubernur NTB Lalu Muhamad Iqbal, koordinasi dari Menteri Kehutanan, serta sinergi berbagai pihak, menunjukkan komitmen kuat Indonesia dalam menjaga keselamatan setiap individu yang menjelajahi keindahan alamnya.
Kisah ini adalah cerminan dari dedikasi kemanusiaan yang luar biasa di tengah tantangan alam yang paling ekstrem. Semoga upaya keras tim gabungan membuahkan hasil terbaik, dan insiden ini dapat menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak tentang pentingnya persiapan matang, kepatuhan pada prosedur keselamatan, dan respons cepat dalam setiap ekspedisi di alam bebas. Perhatian publik, baik di Indonesia maupun Brasil, menjadi pengingat bahwa keselamatan wisatawan adalah investasi tak ternilai bagi citra pariwisata suatu daerah. Mari kita terus mendukung dan mendoakan kelancaran operasi penyelamatan ini.