Konflik yang memanas antara Iran dan Israel, dengan Amerika Serikat turut menjadi pemain kunci, telah menjadi sorotan global yang mengancam stabilitas Timur Tengah dan bahkan memicu kekhawatiran akan eskalasi lebih lanjut. Di tengah ketegangan yang terus bergejolak, pertanyaan fundamental muncul: apa sebenarnya cara terbaik Iran mengakhiri perang Israel dan mengembalikan ketenangan di kawasan? Artikel ini akan menyelami dinamika kompleks konflik ini, menganalisis berbagai strategi yang mungkin ditempuh Iran, serta meninjau tantangan dan peluang menuju de-eskalasi yang berkelanjutan.
Memahami “cara terbaik” bagi Iran bukanlah sekadar merumuskan langkah-langkah sederhana, melainkan sebuah analisis mendalam terhadap serangkaian pendekatan—militer, diplomatik, dan geopolitik—yang saling terkait dan memiliki konsekuensi yang luas. Dari respons agresif hingga upaya mediasi yang berliku, setiap tindakan Iran memiliki tujuan strategisnya sendiri dalam upaya mencapai hasil akhir yang diinginkan: mengakhiri konflik dengan posisi yang kuat.
Akar Konflik dan Eskalasi Terbaru: Sebuah Latar Belakang Krusial
Untuk memahami cara terbaik Iran mengakhiri perang Israel, kita perlu menilik kembali akar eskalasi yang terjadi. Konflik antara Iran dan Israel bukanlah fenomena baru, namun ketegangan memuncak secara dramatis belakangan ini. Pemicu langsung dari babak baru ini adalah serangan yang menargetkan fasilitas nuklir Iran di Fordow, Natanz, dan Isfahan oleh Amerika Serikat pada Minggu, 22 Juni 2025. Peristiwa ini, menurut kepala staf angkatan bersenjata Iran, Abdolrahim Mousavi, merupakan pelanggaran kedaulatan Iran dan “memasuki perang dengan jelas dan langsung.”
Sebagai respons, Iran melancarkan gelombang serangan rudal dan pesawat nirawak terhadap Israel. Ebrahim Zolfaghari, juru bicara serangan balasan Iran, menegaskan bahwa serangan AS bertujuan untuk “menghidupkan kembali rezim Zionis yang sedang sekarat” namun justru akan “memperluas cakupan berbagai target yang sah dari angkatan bersenjata Iran.” Serangan balasan Iran ini diklaim berhasil mencapai target, termasuk di Ashdod dan Lachish, Israel selatan, meskipun sirene peringatan berbunyi di seluruh Israel.
Konflik 12 hari ini juga melibatkan serangan rudal Iran ke pangkalan militer AS di Qatar, meskipun Presiden Trump mengklaim Iran memberikan pemberitahuan awal terkait serangan tersebut. Israel sendiri melancarkan operasi militer yang disebut “Operation Rising Lion,” yang diklaim Perdana Menteri Benjamin Netanyahu berhasil menghilangkan ancaman nuklir dan rudal balistik Iran. Namun, di sisi lain, Iran melaporkan bahwa serangan Israel telah menewaskan lebih dari 400 orang, sementara serangan rudal Iran menewaskan 24 warga sipil di Israel.
Kondisi ini menciptakan lanskap yang sangat volatil, di mana setiap tindakan balasan berpotensi memicu spiral eskalasi yang lebih besar. Oleh karena itu, bagi Iran, mencari cara terbaik untuk mengakhiri perang ini menjadi imperatif strategis yang kompleks.
Strategi Militer Iran: Respons Agresif sebagai Tuas Negosiasi?
Salah satu “cara terbaik” yang telah dipilih Iran, setidaknya di fase awal konflik, adalah penggunaan kekuatan militer sebagai alat untuk menunjukkan keseriusan dan memperkuat posisi tawar. Iran, sebagai kekuatan militer regional yang signifikan, telah menunjukkan kemampuannya dalam melancarkan serangan jarak jauh.
Menurut International Institute for Strategic Studies (IISS), anggaran pertahanan Iran sekitar US$7,4 miliar pada tahun 2022 dan 2023. Meskipun ini kurang dari separuh anggaran Israel yang mencapai US$19 miliar, Iran memiliki program rudal yang disebut sebagai yang terbesar dan paling bervariasi di Timur Tengah. Jenderal Kenneth McKenzie dari Komando Pusat AS pada tahun 2022 memperkirakan Iran memiliki “lebih dari 3.000” rudal balistik.
Serangan rudal dan drone yang dilancarkan Iran ke Israel, seperti yang dilaporkan oleh Sindonews dan media lainnya, menunjukkan kapabilitas Iran untuk menyerang target dari jarak jauh. Meskipun Israel memiliki sistem pertahanan rudal canggih seperti Iron Dome dan Arrow, para ahli seperti Jeremy Binnie dari Janes mengakui bahwa Hizbullah (sekutu Iran) memiliki rudal dalam jumlah yang “mampu menggempur pertahanan udara Israel meski sifatnya sementara.” Ini menunjukkan bahwa serangan militer Iran, meski tidak selalu menyebabkan korban jiwa masif, bertujuan untuk:
- Menunjukkan Deterensi: Memberikan sinyal bahwa Iran mampu dan bersedia membalas serangan, sehingga Israel dan AS akan berpikir dua kali sebelum melancarkan agresi lebih lanjut.
- Meningkatkan Biaya Konflik: Seperti yang dilaporkan, perang 12 hari ini telah menyebabkan Israel merugi miliaran dolar. Tekanan finansial ini bisa menjadi faktor dalam keputusan untuk mengakhiri pertempuran.
- Memperkuat Posisi Negosiasi: Dengan menunjukkan kemampuan militer, Iran berharap dapat memasuki meja perundingan dari posisi yang lebih kuat, menuntut persyaratan yang lebih menguntungkan.
Di samping itu, Iran juga memiliki kekuatan angkatan laut sekitar 220 kapal, meskipun sebagian besar sudah tua. Ancaman penutupan Selat Hormuz, jalur laut strategis yang mengangkut 20-30% minyak global, juga menjadi kartu truf geopolitik. Meskipun lalu lintas kapal belum terpengaruh signifikan, ancaman ini dapat memicu lonjakan harga minyak dunia, memberikan tekanan ekonomi global yang dapat mendorong intervensi internasional untuk mengakhiri konflik.
Namun, strategi militer ini juga memiliki risiko besar, yaitu eskalasi yang tidak terkendali. Seperti yang diungkapkan oleh Tim Ripley dari Defence Eye, para ahli strategi militer harus berpikir out of the box mengenai respons Iran dan Hizbullah, mengingat serangan konvensional mungkin tidak lagi efektif menembus pertahanan Israel.
Diplomasi dan Gencatan Senjata: Jalan Berliku Menuju De-eskalasi
Selain kekuatan militer, jalur diplomatik menjadi “cara terbaik” lain yang krusial bagi Iran untuk mengakhiri perang. Namun, jalan ini penuh dengan kebingungan dan narasi yang kontradiktif.
Presiden AS Donald Trump secara mengejutkan mengumumkan gencatan senjata penuh dan permanen antara Israel dan Iran setelah 12 hari konflik. Trump menyatakan gencatan senjata akan berlangsung bertahap selama 24 jam, dimulai dengan Iran menghentikan operasi militer, diikuti Israel 12 jam kemudian. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyetujui gencatan senjata bilateral ini, mengklaim operasi “Operation Rising Lion” sukses besar.
Namun, pengumuman ini segera dibantah oleh Iran. Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi membantah adanya kesepakatan gencatan senjata resmi dengan Israel. Teheran menyatakan akan berhenti menyerang jika Israel menghentikan agresinya terlebih dahulu. Seorang pejabat senior Iran bahkan menyebut pernyataan para pemimpin AS dan Israel sebagai “tipuan.” Kebingungan di lapangan pun terjadi, dengan serangan Iran yang masih berlanjut bahkan setelah batas waktu gencatan senjata yang diumumkan Trump terlewati, seperti yang dilansir Tempo.co.
Perbedaan narasi ini menunjukkan kompleksitas diplomasi di balik layar. Qatar, melalui Perdana Menteri Sheikh Mohammed, berperan penting sebagai mediator, membantu AS membujuk Iran agar menyetujui gencatan senjata. Ini mengindikasikan bahwa jalur diplomatik, meskipun tidak mulus, tetap menjadi opsi yang aktif.
Dari perspektif Israel, mengakhiri perang juga memiliki syarat. Menurut laporan The Wall Street Journal, Israel berharap Iran akan setuju untuk memulai kembali diplomasi terkait program nuklirnya pasca-konflik ini. Seorang pejabat Israel bahkan menyatakan bahwa Tel Aviv bersedia mengakhiri serangan jika Iran setuju membongkar program nuklirnya. Ini menunjukkan bahwa isu program nuklir Iran adalah hambatan utama yang ingin diselesaikan Israel melalui konflik ini. Sebaliknya, Israel meyakini Pemimpin Tertinggi Ayatullah Ali Khamenei adalah hambatan utama bagi Iran untuk menyetujui penghentian pertempuran.
Bagi Iran, “cara terbaik” melalui diplomasi berarti:
- Mendapatkan Jaminan Keamanan: Memastikan tidak ada lagi serangan terhadap fasilitas vital mereka, terutama nuklir.
- Pengakuan Posisi: Memastikan posisi Iran di kawasan diakui, bukan dilemahkan.
- Menggunakan Mediasi: Memanfaatkan negara-negara seperti Qatar atau Uni Eropa untuk mencapai kesepakatan yang menguntungkan.
Meskipun gencatan senjata yang diinisiasi AS masih belum sepenuhnya terwujud mulus di lapangan, optimisme hati-hati tetap ada dari pihak-pihak seperti Kepala Urusan Luar Negeri Uni Eropa, Kaja Kallas, yang menyerukan semua pihak untuk mendukung penangguhan pertempuran dan menahan diri dari kekerasan lebih lanjut.
Membongkar ‘Cara Terbaik’: Perspektif Beragam dan Realitas Kompleks
Melihat dinamika di atas, “cara terbaik Iran mengakhiri perang Israel” bukanlah satu strategi tunggal, melainkan kombinasi atau pilihan di antara beberapa jalur yang saling berinteraksi:
-
Melanjutkan Tekanan Militer untuk Memperkuat Posisi Tawar:
- Deskripsi: Iran terus melancarkan serangan balasan yang terukur, atau mempertahankan ancaman militer yang kredibel, untuk menunjukkan bahwa biaya melanjutkan konflik terlalu tinggi bagi Israel dan AS. Ini bertujuan untuk memaksa lawan ke meja perundingan dengan posisi tawar yang lebih seimbang.
- Tantangan: Risiko eskalasi tak terkendali sangat tinggi, yang bisa memicu intervensi lebih besar atau perang regional yang lebih luas. Ada juga batasan pada kemampuan militer Iran untuk mempertahankan serangan intensif dalam jangka panjang.
-
Mendorong Diplomasi Melalui Pihak Ketiga yang Netral:
- Deskripsi: Iran secara aktif memanfaatkan mediator internasional seperti Qatar atau negara-negara Eropa untuk membangun saluran komunikasi dan mencapai kesepakatan gencatan senjata atau bahkan perdamaian yang lebih luas. Fokus pada perundingan tidak langsung untuk menghindari “kehilangan muka.”
- Tantangan: Kepercayaan antara Iran, Israel, dan AS sangat rendah. Adanya narasi yang kontradiktif mengenai gencatan senjata menunjukkan sulitnya mencapai konsensus. Keberhasilan sangat tergantung pada kemauan politik semua pihak dan kemampuan mediator untuk menjembatani perbedaan.
-
De-eskalasi Sepihak dengan Syarat:
- Deskripsi: Iran dapat mengumumkan penghentian serangan dengan syarat Israel juga menghentikan agresi dan serangan terhadap fasilitas Iran, khususnya yang terkait dengan program nuklir. Ini bisa menjadi langkah untuk menguji niat Israel dan membuka ruang dialog.
- Tantangan: Risiko dianggap lemah atau menyerah, terutama jika Israel tidak merespons dengan cara yang sama. Ini juga membutuhkan konsensus internal di Iran, yang mungkin sulit dicapai mengingat pandangan Pemimpin Tertinggi Ayatullah Ali Khamenei yang disebut sebagai hambatan utama.
-
Menghubungkan Konflik dengan Isu Akar Palestina:
- Deskripsi: Seperti yang diungkapkan oleh M. Muttaqien, Dosen Hubungan Internasional UNAIR, persoalan dari konflik Iran dan Israel berakar pada konflik di Palestina. Iran dapat secara konsisten menyoroti genosida di Gaza dan Tepi Barat sebagai inti masalah, menempatkan tekanan moral dan politik pada Israel dan sekutunya untuk mengakhiri agresi di Palestina.
- Tantangan: Meskipun ini adalah narasi yang kuat bagi Iran di dunia Muslim, hal itu mungkin tidak langsung mengarah pada de-eskalasi konflik bilateral mereka dengan Israel, karena Israel cenderung memisahkan isu tersebut.
Setiap “cara terbaik” ini memiliki pro dan kontra, dan Iran kemungkinan akan terus mengeksplorasi kombinasi dari strategi-strategi ini. Yang jelas, tekanan dari AS dan Israel untuk membongkar program nuklir Iran akan menjadi salah satu hambatan terbesar dalam setiap upaya mengakhiri perang.
Ancaman Geopolitik dan Dampak Global: Selat Hormuz dan Ekonomi Dunia
Di luar medan tempur, Iran memiliki tuas geopolitik yang signifikan, terutama terkait Selat Hormuz. Selat ini adalah jalur laut vital yang menghubungkan Teluk Persia ke Samudra Hindia, mengangkut sekitar 20-30% dari total minyak global setiap hari. Ancaman Iran untuk menutup selat ini, seperti yang diulas oleh iNews.id, dapat memblokir aliran minyak Timur Tengah ke pasar global dan memicu lonjakan harga yang drastis.
Meskipun data terbaru menunjukkan peningkatan lalu lintas kapal di Selat Hormuz, dan pengangkutan minyak belum terlalu terpengaruh, ancaman ini tetap menjadi kartu truf yang kuat. Dampak ekonomi global dari penutupan Selat Hormuz akan sangat besar, memicu krisis energi dan ekonomi yang dapat memaksa kekuatan dunia, termasuk AS, untuk menekan semua pihak agar mencapai resolusi.
Bagi Indonesia, sebagai negara importir minyak, eskalasi konflik di Timur Tengah akan berdampak langsung pada harga BBM dan belanja pemerintah. Ini juga menimbulkan sentimen publik yang perlu diperhatikan oleh pemerintah. Oleh karena itu, cara terbaik Iran mengakhiri perang Israel juga mencakup pertimbangan dampak regional dan global yang lebih luas dari setiap tindakan yang diambil.
Peran Komunitas Internasional dan Prospek Kedamaian
Komunitas internasional memainkan peran penting dalam menekan kedua belah pihak untuk meredakan ketegangan. PBB, Uni Eropa, dan negara-negara mediator seperti Qatar terus berupaya mencari solusi. Indonesia, meskipun secara hukum tidak mengakui kedaulatan Israel, memiliki kapasitas untuk berdiplomasi multilateral melalui PBB, mendorong penyelesaian masalah Palestina yang menjadi akar konflik.
Prospek kedamaian masih rapuh. Pernyataan dari Uni Eropa yang menyerukan semua pihak untuk menahan diri menunjukkan kekhawatiran global yang mendalam. “Penangguhan hukuman yang diumumkan dalam pertempuran antara Israel dan Iran adalah kabar baik tetapi tetap rapuh. Semua pihak harus mendukung ini dan menahan diri dari kekerasan lebih lanjut,” kata Kaja Kallas. Ini menggarisbawahi bahwa “cara terbaik” bagi Iran untuk mengakhiri perang juga memerlukan dukungan, tekanan, dan kerja sama dari komunitas internasional.
Kesimpulan
Menentukan cara terbaik Iran mengakhiri perang Israel adalah sebuah tantangan yang multidimensional, melibatkan perhitungan militer yang cermat, manuver diplomatik yang rumit, dan pertimbangan geopolitik yang strategis. Dari sumber-sumber yang tersedia, jelas bahwa Iran telah menggunakan kombinasi respons militer agresif untuk menunjukkan kekuatan dan memperkuat posisi tawar, sambil tetap membuka pintu bagi upaya diplomatik, meskipun penuh dengan ketidakpastian.
Tidak ada satu pun “tombol” ajaib yang dapat mengakhiri konflik ini secara instan. Jalan menuju kedamaian bagi Iran kemungkinan besar akan melibatkan perpaduan antara mempertahankan kemampuan deterensi militernya, secara aktif terlibat dalam mediasi melalui pihak ketiga, dan secara konsisten menuntut penghentian agresi terhadap kedaulatannya, termasuk terkait program nuklir. Konflik ini adalah cerminan kompleksitas Timur Tengah, di mana setiap langkah memerlukan pertimbangan mendalam tentang konsekuensi yang akan terjadi, baik di tingkat regional maupun global.
Pada akhirnya, “cara terbaik” adalah cara yang dapat mengamankan kepentingan nasional Iran tanpa memicu bencana regional yang lebih besar, dan ini hanya dapat dicapai melalui dialog, tekanan, dan kemauan politik dari semua pihak yang terlibat.