Ketegangan geopolitik di Timur Tengah kembali memanas, dengan bayang-bayang konflik antara Iran dan Israel yang semakin pekat, kini dengan intervensi langsung dari Amerika Serikat. Di tengah pusaran eskalasi ini, sebuah ancaman serius muncul ke permukaan: potensi penutupan Selat Hormuz oleh Iran. Ancaman ini bukanlah gertak sambal semata, melainkan sebuah skenario yang, jika terwujud, dapat memicu sederet dampak buruk yang tak terbayangkan bagi perekonomian global, bahkan hingga ke kantong masyarakat di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.
Artikel ini akan mengupas tuntas mengapa Selat Hormuz begitu vital, apa saja konsekuensi mengerikan yang bisa terjadi jika Iran benar-benar menutupnya, dan bagaimana Indonesia sebagai negara berkembang harus mempersiapkan diri menghadapi gelombang kejut ekonomi yang mungkin timbul.
Selat Hormuz: Urat Nadi Energi dan Perdagangan Dunia
Terletak strategis di antara Oman dan Iran, Selat Hormuz adalah jalur perairan sempit yang menghubungkan Teluk Persia dengan Laut Arab dan Samudra Hindia. Meskipun pada titik tersempitnya hanya selebar sekitar 33 hingga 40 kilometer, dengan jalur masuk dan keluar yang aman selebar 50 kilometer, selat ini memiliki kedalaman yang memadai untuk dilalui kapal-kapal tanker raksasa pengangkut minyak. Ini menjadikannya salah satu rute maritim paling krusial di dunia.
Keunggulan geografis Selat Hormuz menjadikannya koridor utama bagi sebagian besar pasokan energi global. Sekitar 20% dari total konsumsi minyak mentah harian dunia, atau sekitar 20 juta barel minyak per hari, mengalir melalui selat ini. Negara-negara penghasil minyak besar seperti Arab Saudi, Kuwait, dan Uni Emirat Arab sangat bergantung pada jalur ini untuk mengekspor sekitar 15% dari total kebutuhan minyak global. Iran sendiri, meskipun tidak signifikan dalam skala pasokan global, juga menggunakan selat ini untuk ekspor minyaknya.
Tidak hanya minyak mentah, Selat Hormuz juga merupakan jalur transportasi vital untuk produk bahan bakar minyak (BBM) dan Liquefied Natural Gas (LNG). Diperkirakan 20% pasokan LNG dunia yang berasal dari Uni Emirat Arab dan Qatar juga melewati selat ini. Secara keseluruhan, nilai perdagangan energi yang diangkut melalui rute maritim ini mencapai hampir US$600 miliar per tahun. Oleh karena itu, gangguan sekecil apa pun di Selat Hormuz memiliki potensi untuk menciptakan riak besar yang dapat mengguncang stabilitas pasar energi dan perekonomian global.
Ancaman yang Bukan Sekadar Gertak Sambal: Mengapa Iran Mengancam?
Ancaman penutupan Selat Hormuz oleh Iran bukanlah hal baru, namun kembali mencuat setelah Amerika Serikat melancarkan serangan udara terhadap tiga fasilitas nuklir utama Iran—Fordow, Natanz, dan Isfahan—sebagai respons terhadap eskalasi konflik antara Iran dan Israel. Presiden AS Donald Trump bahkan mengklaim operasi bernama ‘Midnight Hammer’ itu sukses dan menuntut Iran kembali ke meja perundingan.
Pihak Iran, melalui media pemerintah Press TV, melaporkan bahwa parlemen Iran telah menyatakan dukungan terhadap rencana penutupan selat tersebut. Kendati demikian, keputusan akhir atas blokade ini berada di tangan Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran. Bagi Teheran, tindakan menutup Selat Hormuz dianggap sebagai “hak sah” dalam rangka menekan AS dan negara-negara Barat yang mendukung Israel, terutama jika objek vital nasional Iran benar-benar terancam.
Analis keamanan, Claude Moniquet, menyebut penutupan selat ini sebagai salah satu dari empat respons potensial Iran terhadap konflik yang memanas. Iran memandang kemampuan untuk memblokir selat ini sebagai bentuk “daya cegah” (deterrence), mirip dengan kepemilikan senjata nuklir, yang akan membuat pihak luar berpikir dua kali untuk bertikai dengannya karena dampak ekonominya yang masif.
Iran memiliki kemampuan militer untuk melakukan blokade, termasuk pengerahan rudal, kapal selam, ranjau laut, dan kapal serang cepat. Sejarah mencatat, selama perang Iran-Irak (1980-1988), Iran pernah mengerahkan rudal Silkworm terhadap kapal tanker minyak dan meletakkan ranjau laut di perairan Teluk. Meskipun saat itu Iran gagal total menutup selat secara permanen, upaya tersebut berhasil menaikkan premi asuransi pengiriman secara signifikan dan menyebabkan kemacetan maritim yang mahal. Mayor Jenderal Hossein Salami, Komandan Korps Garda Revolusi Iran (IRGC), bahkan secara spesifik menyoroti kapal-kapal peluncur rudal yang mampu menempuh perjalanan jauh dalam hitungan menit, serta ranjau laut penghancur kapal sebagai senjata penentu dalam perang di laut.
Malapetaka Ekonomi Global: Dampak Langsung yang Mengguncang Dunia
Jika Selat Hormuz benar-benar ditutup, dampaknya akan merambat cepat dan masif ke seluruh penjuru dunia, memicu krisis ekonomi yang kompleks.
Lonjakan Harga Minyak dan Gas Bumi
Ini adalah dampak paling langsung dan paling ditakuti. Dengan terhambatnya 20% pasokan minyak dunia, harga minyak mentah global dipastikan akan melonjak tajam. Beberapa pakar memprediksi harga minyak mentah Brent bisa mengamuk, menembus angka US$120 hingga US$145 per barel, jauh di atas asumsi APBN 2025 yang maksimal US$82 per barel. Lonjakan harga ini akan membuat biaya pengisian bahan bakar kendaraan sehari-hari melonjak, dan juga memengaruhi harga makanan di supermarket karena tingginya biaya logistik dan produksi.
Guncangan Inflasi dan Resesi
Kenaikan harga minyak dan gas akan secara langsung meningkatkan biaya produksi di berbagai sektor industri, mulai dari manufaktur, transportasi, hingga pertanian. Ini akan memicu inflasi biaya yang meluas di seluruh dunia. Ketika inflasi tinggi, daya beli masyarakat akan menurun drastis, yang pada gilirannya dapat menekan konsumsi rumah tangga – pilar penting pertumbuhan ekonomi banyak negara. Bank sentral di berbagai negara kemungkinan akan merespons dengan menaikkan suku bunga untuk mengendalikan inflasi, namun langkah ini justru akan meningkatkan cost of investment dan memperlambat perputaran ekonomi global, berpotensi memicu resesi.
Gangguan Rantai Pasokan dan Logistik
Selat Hormuz bukan hanya jalur energi, tetapi juga koridor penting untuk perdagangan global. Penutupannya akan menghambat pengiriman bahan baku, komponen elektronik, dan barang-barang konsumen ke berbagai benua, mengganggu rantai pasokan industri secara masif. Perusahaan yang bergantung pada pengiriman melalui selat ini akan menghadapi tantangan besar, mulai dari penundaan produksi hingga kekurangan stok di pasar. Selain itu, risiko ketidakstabilan di kawasan akan menyebabkan peningkatan drastis pada premi asuransi pengiriman, menambah beban biaya operasional bagi perusahaan pelayaran, yang pada akhirnya dibebankan kepada konsumen.
Peningkatan Tensi Geopolitik dan Risiko Konflik Skala Lebih Luas
Blokade Selat Hormuz dapat memicu konfrontasi militer yang melibatkan Amerika Serikat, angkatan laut Uni Eropa, dan negara-negara Teluk yang bergantung pada jalur tersebut. Ketegangan ini berpotensi berkembang menjadi konflik regional yang lebih luas, menyeret negara-negara lain, terutama yang memiliki komitmen dalam NATO seperti Prancis dan Inggris, ke dalam pusaran perang. Perang Ukraina dan Rusia telah menjadi bukti nyata bagaimana konflik regional dapat melahirkan disrupsi global yang tak terduga.
Indonesia di Ambang Badai: Implikasi Krusial bagi Perekonomian Nasional
Meskipun secara geografis jauh dari Timur Tengah, Indonesia tidak akan luput dari dampak buruk penutupan Selat Hormuz. Sebagai negara net importir minyak, Indonesia sangat rentan terhadap fluktuasi harga energi global.
Beban Subsidi Energi dan Defisit APBN
Data Pertamina menunjukkan bahwa Indonesia mengimpor sekitar 120 juta barel minyak mentah sepanjang 2024, dengan 19% di antaranya berasal dari Arab Saudi. Diperkirakan, impor minyak mentah Indonesia yang melewati Selat Hormuz mencapai 22,8 juta barel. Jika harga minyak dunia melonjak, biaya produksi dan impor BBM akan membengkak signifikan. Pemerintah dituntut untuk menjaga harga jual BBM seperti Pertalite dan Solar tetap stabil demi menjaga stabilitas sosial dan politik. Selisih antara harga pokok yang naik dan harga jual yang tetap inilah yang akan ditanggung sebagai subsidi melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang berpotensi menguras kas negara dan membengkakkan anggaran subsidi secara drastis.
Pelemahan Daya Beli dan Perlambatan Ekonomi
Kenaikan harga minyak yang memicu inflasi akan berdampak langsung pada daya beli masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah. Ongkos produksi industri meningkat, transportasi publik dan logistik terganggu, sehingga harga barang-barang konsumsi akan ikut naik. Kondisi ini akan menekan kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap pertumbuhan ekonomi. Beberapa pengamat memprediksi laju pertumbuhan ekonomi nasional berpeluang turun ke kisaran 4,6 hingga 4,7 persen, lebih rendah dari capaian sebelumnya.
Tekanan pada Nilai Tukar Rupiah dan Suku Bunga
Ketidakpastian ekonomi global akibat konflik ini dapat memicu penguatan dolar AS, karena investor cenderung mencari aset aman (safe haven). Hal ini akan berimbas pada pelemahan nilai tukar rupiah, bukan karena fundamental rupiah yang melemah, melainkan karena penguatan dolar itu sendiri. Jika rupiah melemah, potensi capital outflow (arus keluar modal) dari Indonesia akan meningkat. Kondisi ini dapat memaksa Bank Indonesia untuk kembali menaikkan suku bunga guna menahan laju inflasi dan mencegah capital outflow, padahal harapan saat ini adalah penurunan suku bunga demi menjaga daya saing aset-aset keuangan nasional.
Tantangan Investasi dan Perdagangan Internasional
Gejolak global akan mengurangi permintaan perdagangan internasional, yang berdampak pada penurunan ekspor Indonesia. Selain itu, Indonesia juga harus tetap siaga terhadap tekanan eksternal berupa tarif impor tinggi, seperti tarif 32% yang dibebankan AS kepada Indonesia yang akan berakhir masa jedanya pada 8 Juli 2025. Meskipun Menteri Investasi Rosan Roeslani menyatakan investasi asing langsung (FDI) di Indonesia masih tinggi, terutama dari negara-negara Asia, penting bagi pemerintah untuk terus memperkuat perlindungan iklim investasi, menjaga kepastian hukum, stabilitas politik, dan memberikan insentif fiskal agar Indonesia tetap menarik bagi investor yang mencari zona aman di tengah gejolak global.
Jalan ke Depan: Strategi Mitigasi dan Peran Diplomasi
Menghadapi potensi dampak buruk penutupan Selat Hormuz, Indonesia perlu segera merumuskan dan mengimplementasikan strategi mitigasi yang komprehensif:
- Peningkatan Cadangan Energi dan Diversifikasi Sumber: Pemerintah perlu mempercepat diversifikasi energi dengan mencari pasokan dari negara-negara non-Timur Tengah dan memperkuat cadangan strategis minyak nasional.
- Stimulus Konsumsi dan Bantuan Sosial: Untuk menjaga daya beli masyarakat, terutama kelompok rentan, pemerintah perlu memperluas bantuan sosial dan subsidi langsung yang selektif.
- Optimalisasi Transportasi Publik dan Penghematan BBM: Memaksimalkan penggunaan transportasi umum seperti KRL, MRT, dan kendaraan listrik dapat secara signifikan menurunkan konsumsi BBM nasional, terutama di kota-kota besar. Prioritaskan stok BBM untuk transportasi umum dan batasi aktivitas yang tidak perlu.
- Penguatan Cadangan Devisa dan Komunikasi Mitra Dagang: Memperkuat cadangan devisa dan menjalin komunikasi intensif dengan mitra dagang utama menjadi krusial untuk memastikan kelancaran ekspor dan stabilitas ekonomi.
- Peran Diplomasi Aktif: Sebagai negara non-blok, Indonesia memiliki peran penting di kancah global. Diplomasi yang apik dan terukur melalui forum seperti G20, Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), maupun ASEAN Plus Three (APT) dapat menyuarakan jalan damai dan mencegah intervensi negara-negara besar lain seperti Rusia dan China yang dapat memperkeruh situasi.
Dilema Iran: Ancaman yang Berpotensi Bumerang
Meskipun Iran memiliki kemampuan dan niat untuk menutup Selat Hormuz, banyak pakar berpendapat bahwa tindakan tersebut pada akhirnya akan menjadi “bunuh diri ekonomi” bagi Iran sendiri. Iran sangat bergantung pada Selat Hormuz sebagai trade hub untuk aktivitas perdagangannya dengan negara lain. Pembiayaan untuk perang, jika tidak diimbangi dengan aktivitas ekonomi yang kuat, akan menyebabkan Iran tidak mampu bertahan dalam jangka panjang.
Selain itu, penutupan selat ini juga berisiko merugikan sekutu utama Iran, seperti China, yang merupakan konsumen terbesar minyak yang melintasi Selat Hormuz. China, yang membeli minyak Iran di bawah harga pasar global untuk menghindari sanksi AS, tentu tidak akan menyambut baik kenaikan harga minyak atau gangguan dalam rute pengiriman logistiknya. Ini memberikan China kekuatan diplomatik untuk mencegah Iran mengambil langkah drastis tersebut.
Para analis juga meyakini bahwa, meskipun Iran dapat memblokir selat untuk sementara waktu, Amerika Serikat dan sekutunya memiliki kekuatan militer yang memadai untuk dengan cepat memulihkan arus lalu lintas maritim. Oleh karena itu, skenario penutupan permanen Selat Hormuz cenderung memiliki kemungkinan yang lebih kecil dibandingkan dengan blokade sementara yang bertujuan untuk mengirim pesan politik dan ekonomi.
Kesimpulan
Ancaman penutupan Selat Hormuz oleh Iran adalah pengingat tajam akan kerapuhan dan keterkaitan ekonomi global. Dampak buruk yang bisa terjadi, mulai dari lonjakan harga energi, inflasi yang meluas, gangguan rantai pasokan, hingga potensi konflik militer yang lebih besar, akan menciptakan gelombang kejut yang dirasakan di setiap sudut dunia. Indonesia, dengan ketergantungan pada impor migas dan sensitivitas ekonominya terhadap gejolak global, harus tetap waspada dan proaktif dalam menyusun strategi mitigasi.
Meskipun ada harapan bahwa Iran tidak akan melakukan tindakan ekstrem yang merugikan dirinya sendiri dan sekutunya, ketidakpastian tetap membayangi. Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam tentang kompleksitas situasi ini dan kesiapan menghadapi skenario terburuk adalah kunci. Stabilitas geopolitik di Timur Tengah bukan hanya urusan regional, melainkan fondasi bagi kesejahteraan ekonomi global.
Bagikan artikel ini untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya Selat Hormuz dan dampaknya terhadap kita semua. Mari bersama-sama mengikuti perkembangan berita dan berharap akan solusi diplomatik yang mampu meredakan ketegangan demi stabilitas dunia.