Mengungkap Misteri Angka Rp 578 Miliar: Bagaimana Auditor BPKP Menjelaskan Kerugian Negara dalam Kasus Impor Gula

Dipublikasikan 23 Juni 2025 oleh admin
Finance

Dalam lanskap penegakan hukum di Indonesia, angka Rp 578 miliar telah menjadi sorotan tajam, terutama setelah auditor BPKP menjelaskan perhitungan kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi importasi gula. Angka fantastis ini tidak hanya merepresentasikan kerugian finansial yang signifikan bagi negara, tetapi juga memicu perdebatan sengit mengenai metodologi perhitungan, independensi lembaga audit, serta transparansi dalam proses peradilan. Bagi masyarakat umum, memahami seluk-beluk di balik angka ini adalah kunci untuk mengapresiasi kompleksitas penanganan kasus korupsi dan pentingnya akuntabilitas keuangan negara.

Artikel ini akan mengupas tuntas bagaimana Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sampai pada angka Rp 578 miliar tersebut, menganalisis akar permasalahan dalam kasus impor gula yang menyeret nama mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong, dan mantan Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI), Charles Sitorus. Lebih dari itu, kita akan menyelami mengapa metode perhitungan BPKP ini menuai kontroversi, menyoroti isu krusial seputar independensi audit dan kepastian hukum yang kerap menjadi perdebatan dalam kasus-kasus korupsi besar di Indonesia.

Membongkar Angka Rp 578 Miliar: Dua Metode Perhitungan BPKP

Pada persidangan kasus dugaan korupsi importasi gula yang berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, auditor BPKP, Chusnul Khotimah, dan Kristianto, secara terang-terangan membeberkan detail perhitungan yang menghasilkan angka kerugian keuangan negara sebesar Rp 578.105.411.622,47. Angka ini, menurut BPKP, diperoleh melalui dua metode utama yang diterapkan dalam audit investigasi mereka.

Pertama, kerugian negara dihitung dari kemahalan harga yang dibayarkan oleh PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI) dalam pengadaan Gula Kristal Putih (GKP). PT PPI, sebagai entitas yang ditugaskan untuk stabilisasi harga dan operasi pasar, diduga melakukan pembelian dengan harga yang lebih tinggi dari seharusnya. Dari komponen ini, BPKP mengidentifikasi kerugian sebesar Rp 194.718.181.818,19.

Metode kedua berfokus pada kekurangan pembayaran bea masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI). BPKP menemukan adanya selisih yang signifikan antara bea masuk dan PDRI yang seharusnya dibayarkan jika gula yang diimpor adalah GKP, dibandingkan dengan gula kristal mentah (GKM) yang sebenarnya diimpor namun kemudian diolah menjadi GKP. Dari kekurangan pembayaran ini, negara diperkirakan merugi sebesar Rp 383.387.229.804,28.

“Sehingga di sini total penghitungan kerugian keuangan negara, berdasarkan metode yang kami gunakan, ada dua metode yaitu kemahalan harga yang dibayarkan PT PPI dalam pengadaan GKP untuk penugasan stabilisasi harga dan OP dan juga metode dua, kekurangan biaya masuk dan PDRI,” terang Chusnul Khotimah dalam persidangan.

Kedua komponen ini, ketika dijumlahkan, menghasilkan total kerugian keuangan negara sebesar Rp 578 miliar yang kini menjadi dasar dakwaan dalam kasus impor gula. Penting untuk dicatat bahwa auditor BPKP meyakini kerugian ini bersifat nyata dan pasti, sebagaimana ditekankan dalam pernyataan mereka di muka persidangan.

Akar Masalah: Kebijakan Impor Gula dan Peran Pihak Terlibat

Kasus dugaan korupsi impor gula ini berakar pada kebijakan dan praktik importasi gula yang terjadi antara tahun 2015 hingga 2016. Jaksa penuntut umum (JPU) menuding bahwa serangkaian tindakan yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait telah merugikan keuangan negara.

Peran Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong):
Sebagai mantan Menteri Perdagangan periode 2015-2016, Tom Lembong didakwa memiliki peran sentral dalam kasus ini. Ia disebut-sebut menyetujui importasi gula tanpa melalui rapat koordinasi antar lembaga terkait, dan yang lebih krusial, tanpa rekomendasi dari Kementerian Perindustrian. Persetujuan impor gula kristal mentah (GKM) diberikan kepada 10 perusahaan yang sejatinya merupakan perusahaan gula rafinasi, yang seharusnya tidak berhak mengolah GKM menjadi GKP untuk konsumsi langsung. Selain itu, Tom Lembong juga dituding tidak menunjuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk mengendalikan ketersediaan dan stabilisasi harga gula, melainkan menunjuk induk koperasi seperti Imkopkar, Inkoppol, Puskopol, serta Satuan Koperasi Kesejahteraan Pegawai (SKKP) TNI/Polri.

Keterlibatan Charles Sitorus dan PT PPI:
Mantan Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI), Charles Sitorus, juga menjadi terdakwa dalam kasus ini. Jaksa menuduh Charles Sitorus memperkaya sembilan perusahaan swasta dan tidak melaksanakan penugasan pembentukan stok gula nasional sesuai dengan Harga Patokan Petani (HPP). Ia bersama perusahaan-perusahaan swasta tersebut diduga melakukan kesepakatan pengaturan harga jual gula kristal putih dari produsen gula rafinasi ke PT PPI. Kerugian keuangan negara yang diakibatkan oleh perbuatan Charles Sitorus sendiri diperkirakan mencapai Rp 295,1 miliar, yang merupakan bagian dari total kerugian Rp 578 miliar.

Pola-pola tindakan seperti persetujuan impor yang tidak sesuai prosedur, penunjukan pihak yang tidak tepat, hingga pengaturan harga yang merugikan negara, menjadi inti dari dugaan tindak pidana korupsi yang disangkakan kepada para terdakwa.

Mengapa Audit BPKP Menjadi Sorotan: Isu Independensi dan Metodologi

Meskipun BPKP telah memaparkan angka kerugian negara dengan rinci, hasil audit mereka tidak luput dari kritik dan perdebatan. Kontroversi ini terutama berkisar pada dua pilar utama: otoritas dan independensi BPKP dalam menghitung kerugian negara untuk kasus pidana, serta validitas metodologi perhitungan yang digunakan.

Perdebatan Otoritas: BPKP, BPK, atau Akuntan Publik?

Isu siapa yang berhak dan paling independen untuk menghitung kerugian negara dalam kasus korupsi telah menjadi perdebatan panjang di Indonesia. Banyak pihak, termasuk pakar hukum dan kuasa hukum terdakwa, berpendapat bahwa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Akuntan Publik (AP) yang independen seharusnya menjadi satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan konstitusional untuk menyatakan kerugian negara.

  • Mandat Konstitusional BPK: Menurut Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK, BPK adalah lembaga negara yang bebas dan mandiri dengan tugas utama memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Mahkamah Agung (MA) melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2016 bahkan telah menegaskan kembali posisi BPK sebagai satu-satunya institusi yang memiliki kewenangan konstitusional untuk menghitung dan men-declare kerugian negara.
  • Posisi BPKP: BPKP adalah Lembaga Pemerintah Non-Kementerian (LPNK) yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden, dengan tugas mengawasi keuangan negara dan pembangunan nasional. Meskipun memiliki kapabilitas audit, statusnya sebagai bagian dari eksekutif seringkali dipertanyakan independensinya dalam konteks kasus pidana korupsi yang melibatkan pejabat negara.
  • Akuntan Publik (AP): Akuntan Publik dipandang sebagai entitas swasta yang sepenuhnya independen, tidak terikat dengan institusi pemerintah, dan memiliki kompetensi dalam melakukan audit keuangan.

Perdebatan ini bukan semata tentang kemampuan teknis, melainkan tentang independensi dan kepastian hukum. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25/PUU-XIV/2016 yang mengubah tindak pidana korupsi dari delik formil menjadi delik materiil semakin memperkuat argumen bahwa kerugian keuangan negara harus dibuktikan secara nyata dan pasti (actual loss), bukan hanya potensi atau asumsi. Hal ini menuntut adanya penghitung kerugian negara yang tidak hanya mumpuni tetapi juga tidak diragukan independensinya.

Transparansi dan Hak Terdakwa atas Laporan Audit

Polemik lain yang mencuat adalah terkait akses terhadap laporan hasil audit BPKP itu sendiri. Kuasa hukum Tom Lembong, Ari Yusuf Amir, berulang kali mengajukan permintaan agar salinan audit BPKP tersebut diserahkan kepada pihaknya, penasihat hukum, dan majelis hakim.

  • Hak Konstitusional: Pakar hukum keuangan negara dari FHUI, Dian Puji Nugraha Simatupang, menekankan bahwa penyerahan hasil audit adalah krusial karena merupakan dasar penetapan tanggung jawab hukum seseorang atas kerugian negara, dan merupakan unsur penting dalam tindak pidana korupsi. Hak terdakwa dan penasihat hukum untuk mengakses dokumen relevan dalam pembelaan dijamin oleh KUHAP dan UU Kekuasaan Kehakiman.
  • Perintah Hakim: Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta akhirnya memerintahkan jaksa penuntut umum untuk menyerahkan salinan audit BPKP tersebut.
  • Inkonsistensi Waktu: Ada kejanggalan dalam kronologi penetapan tersangka dan penerbitan laporan audit. Tom Lembong ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan pada Oktober 2024, namun laporan hasil audit BPKP baru diterbitkan pada 20 Januari 2025. Fakta ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai profesionalisme proses penyidikan, karena unsur kerugian negara seharusnya sudah pasti sebelum penetapan tersangka, apalagi penahanan.

Membedah Metodologi Perhitungan: Kemahalan Harga dan Bea Masuk

Analisis lebih mendalam terhadap metode perhitungan BPKP juga menuai kritik dari berbagai pihak, yang menilai konsepsi kerugian negara sebesar Rp 578 miliar tersebut absurd dan tidak logis.

  • Kemahalan Harga (Rp 194,7 Miliar):
    BPKP menghitung kemahalan harga dari selisih nilai pembelian GKP oleh PT PPI dengan nilai pembelian GKP berdasarkan Harga Patokan Petani (HPP) sebesar Rp 8.900 per kilogram. Kritik muncul karena HPP adalah harga terendah di tingkat petani, yang tentunya berbeda dengan harga beli GKP oleh PT PPI dari produsen GKP (pabrik gula). Pembelian dari pabrik gula akan memperhitungkan biaya produksi, keuntungan, dan lain-lain, sehingga harga di atas HPP adalah wajar dalam praktik bisnis yang sehat. Selain itu, fakta di lapangan menunjukkan bahwa pada tahun 2015, hanya sekitar 57.500 ton gula yang benar-benar dijual oleh Perusahaan Terbatas Perkebunan Nusantara (PTPN) kepada PT PPI dengan harga HPP, jauh dari angka pengadaan yang direncanakan. Hakim sendiri mempertanyakan validitas penggunaan HPP sebagai acuan mutlak.
  • Kekurangan Pembayaran Bea Masuk dan PDRI (Rp 383,3 Miliar):
    BPKP menggunakan asumsi “potensi pendapatan negara yang hilang” jika yang diimpor adalah GKP, bukan GKM yang kemudian diolah menjadi GKP. Para kritikus berpendapat bahwa importir telah membayar bea masuk dan PDRI sesuai tarif untuk GKM. Menghitung kerugian negara dari selisih bea masuk dan PDRI antara GKP dan GKM dianggap tidak beralasan, karena kerugian negara harus nyata dan pasti, bukan berdasarkan potensi atau asumsi. Ini bertentangan dengan semangat putusan MK yang mewajibkan pembuktian kerugian secara riil.

Audit BPK Terdahulu dan Implikasinya

Fakta lain yang memperkeruh perdebatan adalah keberadaan audit yang dilakukan oleh BPK sebelumnya. BPK telah melakukan audit kepatuhan pengelolaan impor gula periode 2015 hingga semester I 2017, dan menerbitkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK Nomor 47/LHP/XV/03/2018 pada 2 Maret 2018.

Dalam audit tersebut, BPK tidak menemukan indikasi adanya unsur pidana korupsi. Jika BPK menemukan unsur pidana, sesuai dengan Pasal 8 ayat (3) UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK, mereka wajib melaporkannya kepada instansi yang berwenang paling lama satu bulan sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut. Ketentuan Pasal 36 ayat (1) UU yang sama bahkan mengancam anggota BPK dengan sanksi pidana jika tidak melaporkan temuan pidana. Ketiadaan laporan pidana dari BPK dalam kasus impor gula ini menimbulkan pertanyaan serius mengapa Kejagung kemudian menyatakan adanya unsur pidana, sementara lembaga audit tertinggi negara tidak menemukannya.

Pola Serupa: Kasus Timah sebagai Cermin?

Kontroversi seputar perhitungan kerugian negara oleh BPKP dalam kasus impor gula ini bukan kali pertama terjadi. Pola serupa juga terlihat dalam kasus korupsi timah yang merugikan negara triliunan rupiah. Dalam kasus timah, ahli yang ditunjuk untuk menghitung kerugian lingkungan (Bambang Hero Saharjo) juga diragukan kompetensinya sebagai ahli keuangan negara, dan hasil perhitungannya diadopsi oleh BPKP tanpa verifikasi independen yang jelas. Kritikus menyoroti bahwa metode perhitungan ahli tersebut tidak jelas dan tidak merinci actual loss, yang kembali bertentangan dengan prinsip kerugian negara yang harus nyata dan pasti. Kemiripan pola ini memperkuat keraguan publik terhadap akurasi dan independensi perhitungan kerugian negara dalam kasus-kasus besar di Indonesia.

Kesimpulan

Angka Rp 578 miliar yang disebutkan oleh auditor BPKP menjelaskan perhitungan kerugian negara dalam kasus impor gula adalah sebuah fakta yang signifikan dalam penegakan hukum di Indonesia. Angka ini, yang berasal dari kombinasi kemahalan harga dan kekurangan pembayaran bea masuk, menjadi dasar dakwaan terhadap Thomas Trikasih Lembong dan Charles Sitorus. Namun, di balik angka tersebut, terhampar lapisan-lapisan kontroversi yang menuntut perhatian serius.

Perdebatan mengenai otoritas BPKP dibandingkan BPK atau Akuntan Publik, perjuangan terdakwa untuk mendapatkan akses laporan audit, hingga keraguan terhadap validitas metodologi perhitungan (penggunaan HPP dan asumsi potensi kerugian), semuanya menyoroti kebutuhan mendesak akan transparansi, akuntabilitas, dan kepastian hukum dalam menentukan kerugian negara. Terlebih, Putusan Mahkamah Konstitusi yang mewajibkan kerugian negara dibuktikan secara nyata dan pasti menjadi parameter krusial yang harus dipenuhi dalam setiap penghitungan.

Kasus impor gula ini, bersama dengan kasus-kasus serupa lainnya, menjadi pengingat bahwa proses penentuan kerugian negara dalam tindak pidana korupsi bukan sekadar urusan angka, melainkan pondasi keadilan. Kualitas, objektivitas, dan independensi audit yang menjadi dasar dakwaan adalah esensial untuk memastikan bahwa keadilan benar-benar ditegakkan, bukan hanya sekadar penjatuhan vonis. Publik menanti penyelesaian yang terang benderang, yang tidak hanya menghukum yang bersalah tetapi juga mengembalikan kepercayaan pada sistem hukum dan lembaga pengawasan negara.