Menguak Tabir: Mengapa Simon Tahamata ‘Turun Gunung’ dari Kepala Pemandu Bakat Menjadi Asisten Pelatih Timnas U-23 Indonesia?

Dipublikasikan 24 Juni 2025 oleh admin
Olahraga

Dalam kancah sepak bola nasional, nama Simon Tahamata mendadak menjadi perbincangan hangat. Sosok yang semula dikenal sebagai Kepala Pemandu Bakat (Head of Scouting) PSSI ini, secara mengejutkan terlihat aktif di lapangan, mendampingi Timnas Indonesia U-23 sebagai asisten pelatih dalam persiapan Piala AFF U-23 2025. Pergeseran peran, atau lebih tepatnya penambahan tanggung jawab ini, menimbulkan pertanyaan besar: mengapa seorang legenda dengan posisi strategis di belakang layar rela “turun gunung” ke medan tempur yang lebih langsung? Artikel ini akan mengupas tuntas alasan Simon Tahamata turun gunung masuk jadi bagian inti staf kepelatihan, menelaah latar belakang, visi PSSI, serta dampak strategis dari keputusan yang tak lazim ini.

Menguak Tabir: Mengapa Simon Tahamata 'Turun Gunung' dari Kepala Pemandu Bakat Menjadi Asisten Pelatih Timnas U-23 Indonesia?

Fenomena “turun gunung” Simon Tahamata ini bukan sekadar perubahan jabatan, melainkan cerminan dari komitmen mendalam dan strategi jangka panjang PSSI di bawah kepemimpinan Erick Thohir untuk mereformasi sepak bola Indonesia secara fundamental. Dari pengalaman panjangnya di Eropa hingga ikatan emosional yang kuat dengan tanah leluhur, setiap aspek dari perjalanan Simon Tahamata memberikan petunjuk tentang motivasi di balik langkah berani ini.

Siapa Simon Tahamata: Legenda Sepak Bola Berdarah Maluku yang Tak Pernah Padam

Sebelum menyelami lebih jauh mengapa Simon Tahamata mengambil peran ganda yang krusial, penting untuk memahami siapa sebenarnya sosok ini. Simon Melkianus Tahamata, lahir di Vught, Belanda, pada 26 Mei 1956, adalah salah satu ikon sepak bola Belanda di era 70-an dan 80-an. Namun, yang sering luput dari perhatian adalah fakta bahwa pria bertinggi 164 cm ini memiliki darah Maluku yang mengalir deras dalam dirinya, sebuah ikatan emosional yang kelak menjadi jembatan penting menuju Indonesia.

Sebagai pemain, Tahamata adalah produk asli akademi Ajax Amsterdam, klub raksasa Belanda yang terkenal dengan filosofi Total Football. Ia bermain untuk tim senior Ajax dari tahun 1976 hingga 1980, sebelum melanjutkan karirnya di klub-klub Eropa lainnya seperti Standard Liege, Feyenoord, Beerschot, dan Germinal Ekeren. Kontribusinya di Tim Nasional Belanda juga tidak bisa dipandang sebelah mata, dengan mencatatkan 22 penampilan dan mencetak 2 gol antara tahun 1979 hingga 1986. Reputasinya sebagai winger lincah dan cerdas membuatnya dihormati di kancah sepak bola Eropa.

Namun, warisan terbesar Simon Tahamata justru terletak pada karirnya pasca-bermain. Ia mendedikasikan sebagian besar hidupnya untuk pembinaan pemain muda. Selama total 15 tahun (2004-2009 dan 2014-2024), Simon mengabdi di akademi Ajax Amsterdam, sebuah institusi yang dikenal sebagai pabrik talenta kelas dunia. Selain Ajax, ia juga pernah melatih di akademi Standard Liege, Beerschot, dan Al Ahli. Konsistensinya dalam mengidentifikasi, mengasah, dan membentuk pemain muda inilah yang menjadikannya figur yang sangat dihormati, bahkan Ajax Amsterdam memberikan penghormatan khusus kepadanya pada 3 Maret 2025 di Stadion Johan Cruyff. Dengan rekam jejak yang solid ini, tak heran jika PSSI melihatnya sebagai aset tak ternilai untuk masa depan sepak bola Indonesia.

Awal Mula “Turun Gunung”: Penunjukan sebagai Kepala Pemandu Bakat PSSI

Langkah awal Simon Tahamata terlibat dalam ekosistem sepak bola Indonesia adalah penunjukannya sebagai Kepala Pemandu Bakat (Head of Scouting) PSSI pada akhir Mei 2025. Penunjukan ini bukan tanpa alasan, melainkan merupakan bagian dari cetak biru reformasi yang dicanangkan oleh Ketua Umum PSSI, Erick Thohir. Setelah kekalahan telak seperti 0-6 dari Jepang, PSSI menyadari urgensi untuk membenahi fondasi sepak bola nasional, terutama dalam hal pencarian dan pengembangan bakat.

Erick Thohir secara tegas menyatakan bahwa pembangunan sistem scouting yang komprehensif dan berkelanjutan adalah prioritas utama. “Dalam tiga bulan ke depan, sistem scouting harus berjalan. Ini penting agar kita bisa menjaring bakat dari seluruh pelosok negeri,” ujar Erick. Simon Tahamata, dengan pengalaman mumpuni dari sepak bola Eropa, terutama di akademi Ajax, dianggap sebagai sosok yang paling tepat untuk memimpin misi ini. Ia diharapkan dapat mengidentifikasi dan merekrut talenta-talenta potensial, baik dari dalam negeri maupun dari diaspora Indonesia di luar negeri, khususnya di Belanda.

Simon sendiri menyambut tugas ini dengan antusiasme tinggi. Dalam berbagai kesempatan, ia menegaskan bahwa kehadirannya di Indonesia sama sekali tidak membawa unsur politik. Ia memiliki satu tujuan mulia: membawa sepak bola Indonesia ke jalan yang benar dan membantu staf kepelatihan. Meski sempat menunggu panggilan untuk posisi teknis di Ajax yang tak kunjung datang, PSSI berhasil menawarkan kesempatan yang sesuai dengan keinginan dan passion Simon. Ikatan emosional dengan tanah leluhur, ditambah ambisi besar Timnas Indonesia untuk tampil di Piala Dunia, menjadi faktor pendorong utama bagi Simon untuk menerima tawaran ini, menolak berbagai tawaran lain yang mungkin datang.

Sebagai Kepala Pemandu Bakat, Simon Tahamata akan bekerja sama erat dengan semua pelatih timnas di berbagai level, termasuk Patrick Kluivert (Timnas Senior), Gerald Vanenburg (Timnas U-23), dan Nova Arianto (Timnas U-17). Kolaborasi ini diharapkan dapat membentuk sistem yang terintegrasi, mampu melahirkan generasi emas Garuda tanpa perlu terus-menerus bergantung pada pemain naturalisasi. Ini adalah langkah strategis PSSI untuk menciptakan keberlanjutan, kualitas, dan perkembangan sepak bola Indonesia dari akarnya.

Kejutan di Lapangan: Peran Ganda sebagai Asisten Pelatih Timnas U-23

Meskipun telah menjabat sebagai Kepala Pemandu Bakat, publik sepak bola dikejutkan dengan kehadiran Simon Tahamata di sesi pemusatan latihan (TC) Timnas Indonesia U-23 pada Senin (23/6/2025) di Stadion Madya. Ia tidak hanya hadir sebagai pengamat, melainkan langsung terlibat aktif di lapangan sebagai salah satu asisten pelatih, mendampingi pelatih kepala Gerald Vanenburg. Hal ini dibenarkan oleh Manajer Timnas Indonesia U-23, Ahmed Zaki Iskandar.

Penunjukan Simon Tahamata sebagai asisten pelatih ini adalah manifestasi konkret dari istilah “turun gunung”. Dari posisi strategis di balik meja yang berfokus pada sistem jangka panjang, ia kini berada di garis depan, berinteraksi langsung dengan para pemain muda. Ahmed Zaki Iskandar menjelaskan bahwa alasan utama penunjukan ini adalah untuk memberikan pendampingan secara langsung kepada para pemain. “Pengalaman panjang dan karakter kuat Simon dibutuhkan untuk membimbing para pemain muda secara langsung,” ujarnya.

Dalam tim kepelatihan Timnas Indonesia U-23 untuk Piala AFF U-23 2025, Simon Tahamata bergabung dengan Frank van Kempen dan Zulkifli Syukur sebagai asisten Gerald Vanenburg. Kehadirannya menambah kental “nuansa Belanda” dalam staf kepelatihan, sebuah strategi yang diharapkan mampu menularkan filosofi dan etos kerja sepak bola Eropa kepada para pemain muda Indonesia. Dengan target juara di Piala AFF U-23 2025, kontribusi Simon yang “ikut ambil peran” dalam persiapan tim menjadi sangat vital. Ini menunjukkan bahwa PSSI tidak hanya menginginkan Simon membangun sistem, tetapi juga secara aktif terlibat dalam implementasinya, khususnya dalam membentuk mental dan kualitas pemain di level akar rumput.

Filosofi di Balik Langkah Strategis: Mengapa Peran Ganda Ini Penting?

Keputusan Simon Tahamata untuk “turun gunung” dan mengambil peran ganda ini bukan sekadar kebetulan, melainkan sebuah langkah strategis yang didasari oleh filosofi pembinaan yang mendalam dan visi jangka panjang. Ada beberapa alasan fundamental mengapa peran ganda ini dianggap krusial:

1. Sinergi Tak Terpisahkan antara Scouting dan Pembinaan Langsung

Posisi Simon sebagai Kepala Pemandu Bakat berarti ia adalah orang yang paling memahami peta talenta nasional, baik yang ada di dalam negeri maupun di diaspora. Dengan menjadi asisten pelatih, ia dapat secara langsung membimbing dan menguji bakat-bakat yang telah ia identifikasi. Ini menciptakan sebuah lingkaran sinergi: ia mencari, ia melatih, dan ia membentuk. Proses ini memungkinkan umpan balik yang lebih cepat dan adaptasi yang lebih baik dalam pengembangan pemain. Ia bisa melihat langsung bagaimana potensi yang ia temukan berinteraksi dengan sistem pelatihan, serta memberikan masukan yang lebih relevan untuk proses scouting selanjutnya.

2. Transfer Pengetahuan dan Etos Sepak Bola Eropa ke Lapangan

Simon Tahamata membawa segudang pengalaman dari salah satu akademi terbaik di dunia, Ajax Amsterdam. Pengalamannya selama 15 tahun di sana bukan hanya tentang teknik, tetapi juga tentang etos kerja, disiplin, mentalitas juara, dan filosofi bermain. Dengan berada langsung di lapangan sebagai asisten pelatih, ia dapat mentransfer pengetahuan dan etos ini secara langsung kepada para pemain muda Indonesia. Ini adalah kesempatan emas bagi para pemain untuk merasakan langsung sentuhan pelatihan standar Eropa, yang bisa jadi merupakan fondasi penting untuk pengembangan karir mereka di masa depan.

3. Pendampingan Personal dan Pembentukan Karakter

Ahmed Zaki Iskandar secara spesifik menyebutkan bahwa pengalaman panjang dan “karakter kuat” Simon dibutuhkan untuk membimbing pemain muda secara langsung. Di usia 69 tahun, Simon Tahamata adalah sosok senior yang bijaksana, yang bisa menjadi mentor, panutan, dan bahkan figur ayah bagi para pemain. Pendampingan personal ini sangat penting untuk pemain muda yang masih dalam tahap pembentukan, baik secara skill maupun mental. Ia bisa memberikan motivasi, kritik konstruktif, dan inspirasi yang mungkin tidak bisa didapatkan dari pelatih yang hanya berfokus pada taktik. Pembentukan karakter yang kuat adalah investasi jangka panjang yang krusial untuk menghadapi tekanan di level profesional.

4. Percepatan Reformasi Sepak Bola Nasional

PSSI, di bawah Erick Thohir, memiliki ambisi besar untuk membawa Timnas Indonesia ke Piala Dunia. Untuk mencapai tujuan tersebut, reformasi tidak bisa dilakukan setengah-setengah. Kehadiran Simon Tahamata dalam peran ganda menandakan keseriusan PSSI untuk mempercepat proses transformasi. Ia bukan hanya membangun sistem scouting dari hulu, tetapi juga memastikan bahwa bakat-bakat yang ditemukan mendapatkan pembinaan terbaik di hilir. Ini adalah upaya komprehensif untuk menciptakan ekosistem sepak bola yang sehat dan berkelanjutan, di mana talenta baru terus bermunculan dan siap bersaing di level internasional.

5. Ikatan Emosional sebagai Daya Dorong Utama

Darah Maluku yang mengalir dalam dirinya bukanlah sekadar identitas bagi Simon Tahamata, melainkan sebuah ikatan emosional yang kuat. Ia telah menyatakan kesiapannya untuk menolong sepak bola Indonesia ke jalan yang benar. Keinginan pribadi untuk berkontribusi pada tanah leluhurnya, dikombinasikan dengan passion seumur hidupnya pada sepak bola, menjadi daya dorong yang luar biasa. “Turun gunung” adalah wujud nyata dari totalitas dedikasinya, menunjukkan bahwa ia tidak hanya ingin menjadi perencana di belakang meja, tetapi juga seorang pejuang di garis depan yang siap berkorban demi kemajuan sepak bola Indonesia.

Prospek Masa Depan Sepak Bola Indonesia di Bawah Sentuhan Simon Tahamata

Kehadiran Simon Tahamata dalam peran ganda, sebagai Kepala Pemandu Bakat sekaligus asisten pelatih Timnas U-23, membawa optimisme besar bagi masa depan sepak bola Indonesia. Ini adalah langkah strategis yang diharapkan mampu melahirkan “generasi emas Garuda” yang kuat dan mandiri, tanpa ketergantungan pada pemain naturalisasi semata.

Sistem scouting yang optimal di bawah Simon akan memastikan bahwa tidak ada bakat tersembunyi yang luput dari pantauan, baik dari pelosok negeri maupun dari diaspora. Sementara itu, keterlibatannya langsung dalam pembinaan di level U-23 akan menjamin bahwa talenta-talenta muda ini mendapatkan polesan terbaik dengan standar Eropa. “Nuansa Belanda” yang semakin kental di Timnas Indonesia, dengan kehadiran Simon, Gerald Vanenburg, dan Patrick Kluivert, diharapkan mampu mentransformasi mentalitas dan gaya bermain sepak bola Indonesia menjadi lebih modern dan kompetitif.

Dengan target juara di Piala AFF U-23 2025, ini akan menjadi ujian pertama bagi sinergi tim kepelatihan yang baru. Namun, lebih dari sekadar gelar, yang terpenting adalah fondasi kuat yang sedang dibangun. Jika rencana ini berjalan sesuai harapan, Simon Tahamata akan menjadi salah satu arsitek utama di balik kebangkitan sepak bola Indonesia, membuka jalan bagi Timnas untuk bersaing di panggung global yang lebih tinggi, bahkan mewujudkan mimpi tampil di Piala Dunia.

Kesimpulan

Keputusan Simon Tahamata untuk “turun gunung” dari Kepala Pemandu Bakat menjadi asisten pelatih Timnas Indonesia U-23 adalah sebuah langkah yang penuh makna dan strategis. Ini bukan penurunan status, melainkan penegasan komitmen totalnya untuk memajukan sepak bola Indonesia. Dari latar belakangnya sebagai legenda Ajax dan Timnas Belanda, pengalaman panjangnya di pembinaan pemain muda, hingga ikatan emosionalnya dengan Maluku, semua faktor ini menyatu menjadi alasan kuat di balik peran ganda yang diemban.

Melalui sinergi antara scouting dan pembinaan langsung, transfer pengetahuan Eropa, pendampingan personal bagi talenta muda, serta percepatan reformasi sepak bola nasional, Simon Tahamata diharapkan dapat menjadi katalisator perubahan mendasar. Kehadirannya di lapangan adalah wujud nyata dari dedikasi untuk membangun fondasi yang kokoh, bukan hanya mencari bakat, tetapi juga membentuk mereka menjadi pemain berkarakter dan berkualitas.

Mari kita nantikan bagaimana sentuhan Simon Tahamata akan membentuk masa depan Timnas Indonesia. Dengan dukungan penuh dari PSSI dan antusiasme para penggemar, harapan untuk melihat Garuda terbang lebih tinggi di kancah internasional kini terasa semakin nyata. Perjalanan “turun gunung” Simon Tahamata adalah babak baru yang menjanjikan dalam sejarah sepak bola Indonesia.

Menguak Tabir: Mengapa Simon Tahamata ‘Turun Gunung’ dari Kepala Pemandu Bakat Menjadi Asisten Pelatih Timnas U-23 Indonesia? - zekriansyah.com