Mengapa Perjanjian Sykes-Picot Kembali Menjadi Sorotan: Peringatan Keras Presiden Turki dan Implikasinya bagi Timur Tengah

Dipublikasikan 24 Juni 2025 oleh admin
Berita Dunia

Dalam lanskap geopolitik Timur Tengah yang bergejolak, sebuah nama perjanjian lama tiba-tiba kembali bergema, memicu kekhawatiran dan diskusi mendalam: Perjanjian Sykes-Picot. Peringatan ini datang langsung dari Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, yang menegaskan tidak akan membiarkan terbentuknya “tatanan Sykes-Picot baru” di kawasan tersebut, terutama di tengah eskalasi konflik Israel-Gaza dan ketegangan Iran-Israel. Namun, apa sebenarnya Perjanjian Sykes-Picot itu, mengapa ia begitu ditakuti, dan mengapa peringatan Presiden Turki ini begitu relevan saat ini? Artikel ini akan mengupas tuntas sejarah, dampak, dan relevansi kontemporer dari perjanjian yang telah membentuk wajah Timur Tengah modern.

Mengapa Perjanjian Sykes-Picot Kembali Menjadi Sorotan: Peringatan Keras Presiden Turki dan Implikasinya bagi Timur Tengah

Memahami Perjanjian Sykes-Picot: Akar Geopolitik Timur Tengah Modern

Untuk memahami urgensi di balik pernyataan Presiden Erdogan, kita harus terlebih dahulu menyelami sejarah Perjanjian Sykes-Picot. Diresmikan pada Mei 1916, di tengah puncak Perang Dunia I, Sykes-Picot adalah sebuah konvensi rahasia yang disepakati oleh dua kekuatan besar Eropa kala itu: Inggris Raya dan Prancis, dengan persetujuan Kekaisaran Rusia. Tujuan utamanya adalah membagi-bagi wilayah Kekaisaran Ottoman yang kian melemah, berasumsi bahwa Sekutu akan memenangkan perang dan menguasai wilayah-wilayah Utsmaniyah.

Perjanjian ini dirumuskan oleh diplomat senior Inggris, Mark Sykes, dan diplomat senior Prancis, François Georges-Picot, setelah serangkaian survei dan negosiasi intensif yang dimulai sejak tahun 1915. Pada dasarnya, Sykes-Picot adalah blueprint kolonial untuk pasca-Ottoman Timur Tengah, sebuah upaya untuk mengamankan kepentingan strategis dan ekonomi Inggris dan Prancis di kawasan tersebut. Inggris membutuhkan akses aman ke India melalui Terusan Suez dan Teluk Persia, sementara Prancis memiliki investasi ekonomi serta hubungan strategis yang kuat di Suriah, khususnya di wilayah Aleppo.

Wilayah yang Dibagi dan Kepentingan Tersembunyi

Berdasarkan rancangan Perjanjian Sykes-Picot, peta Timur Tengah secara drastis akan diubah:

  • Penguasaan Langsung atau Zona Pengaruh Prancis: Suriah, Lebanon, dan wilayah Turki tenggara, termasuk area di sekitar Alexandretta.
  • Penguasaan Langsung atau Zona Pengaruh Inggris: Mesopotamia selatan (termasuk Baghdad), Irak, Yordania saat ini, dan daerah-daerah di Palestina sekitar pelabuhan utara Haifa dan Acre.
  • Status Internasional: Kota suci Yerusalem dan Betlehem di Palestina akan berada di bawah rezim internasional, bukan dikuasai oleh satu kekuatan tertentu.

Dalam kesepakatan awal, Kekaisaran Rusia juga dijanjikan wilayah Armenia dan sebagian Kurdistan, sebuah langkah yang juga merealisasikan ambisi lama Rusia untuk menguasai akses ke Laut Mediterania dari Laut Hitam melalui Selat Dardanella. Italia, sebagai sekutu lain, kemudian diberitahu tentang perjanjian ini pada tahun 1916 dan dijanjikan Anatolia selatan dan barat daya. Namun, perkembangan perang yang dinamis mengubah beberapa aspek kesepakatan ini. Rusia keluar dari perjanjian setelah Revolusi Bolshevik pada tahun 1917, dan janji kepada Italia tidak sepenuhnya terwujud setelah kemenangan kaum nasionalis Turki di bawah Mustafa Kemal Atatürk yang berhasil mempertahankan Semenanjung Anatolia.

Warisan Pembagian “Darah”: Dampak Jangka Panjang Sykes-Picot

Meskipun batas-batas yang disepakati dalam Perjanjian Sykes-Picot tidak secara resmi diadopsi dalam bentuk aslinya, semangat dan prinsip pembagian wilayahnya menjadi dasar bagi pembentukan negara-negara modern di Timur Tengah setelah Perang Dunia I, terutama melalui mandat Liga Bangsa-Bangsa. Suriah dan Lebanon menjadi mandat Prancis, sementara Yordania, Irak, dan Palestina (termasuk Yerusalem) berada di bawah mandat Inggris.

Dampak dari perjanjian rahasia ini sangat mendalam dan memicu konflik berkepanjangan yang masih terasa hingga saat ini:

  • Pengkhianatan Janji Kemerdekaan: Bangsa Arab, yang telah dijanjikan kemerdekaan oleh Inggris sebagai imbalan atas bantuan mereka melawan Kekaisaran Ottoman (melalui Korespondensi McMahon-Husayn 1915-1916), merasa dikhianati. Perjanjian Sykes-Picot secara terang-terangan bertentangan dengan janji-janji tersebut, memicu kemarahan dan ketidakpercayaan yang mendalam.
  • Batas Buatan yang Mengabaikan Realitas Etnis dan Sekte: Batas-batas negara yang ditarik oleh kekuatan kolonial seringkali mengabaikan realitas demografis, memisahkan komunitas etnis dan sekte yang sama atau justru menyatukan kelompok-kelompok yang memiliki sejarah konflik. Hal ini menciptakan ketegangan internal yang kronis dan menjadi bibit konflik di banyak negara.
  • Pembentukan Minoritas yang Terkatung-katung: Perjanjian ini dinilai membuat kelompok-kelompok seperti Kurdi dan Druze menjadi minoritas di tanah air mereka sendiri, terpecah-belah di beberapa negara tanpa identitas politik yang jelas, memicu perjuangan panjang untuk pengakuan dan otonomi.
  • Munculnya Pan-Arabisme: Sebagai reaksi terhadap pemaksaan imperialis dan pembagian wilayah yang artifisial, gerakan Pan-Arabisme menguat, menyerukan persatuan seluruh wilayah yang mayoritas berpenduduk Arab menjadi satu entitas politik. Meskipun ideologi ini tidak pernah sepenuhnya terwujud, ia tetap menjadi kekuatan pendorong dalam banyak gerakan politik di kawasan.
  • Fondasi Ketidakstabilan Regional: Pembagian wilayah ini, ditambah dengan intervensi asing yang berkelanjutan, menciptakan pola ketidakstabilan, kudeta, dan perang saudara yang terus menghantui Timur Tengah sepanjang abad ke-20 dan berlanjut hingga abad ke-21. Konflik Arab-Israel, perang di Irak, Suriah, dan Yaman, semuanya memiliki benang merah yang bisa ditarik kembali ke pembentukan negara-negara pasca-Ottoman ini.

Peringatan Keras Presiden Erdogan: Mengapa “Sykes-Picot Baru”?

Dalam Sidang ke-51 Dewan Menteri Luar Negeri Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) di Istanbul pada 21 Maret 2025, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dengan tegas menyatakan: “Kami tidak akan membiarkan terbentuknya tatanan Sykes-Picot baru di kawasan kami dengan batas-batas yang dibuat dengan darah.” Peringatan ini bukanlah retorika kosong, melainkan cerminan kekhawatiran mendalam terhadap dinamika geopolitik saat ini, terutama yang dipicu oleh konflik Israel-Gaza dan ketegangan yang meningkat antara Iran dan Israel.

Erdogan menyoroti serangan brutal Israel di Gaza yang telah menewaskan lebih dari 55.000 warga Palestina, di mana 65 persen di antaranya adalah perempuan dan anak-anak, serta melukai 128.000 lainnya. Ia bahkan menyamakan kondisi 2 juta warga Gaza dengan kamp konsentrasi Nazi. Bagi Erdogan, kekerasan yang sedang berlangsung ini bukan hanya krisis kemanusiaan, tetapi juga upaya sistematis untuk membentuk kembali peta kawasan demi kepentingan tertentu, mirip dengan apa yang terjadi satu abad lalu.

Paralel Sejarah dan Ambisi Zionis

Presiden Erdogan melihat paralel yang mengkhawatirkan antara kondisi saat ini dengan era Perang Dunia I yang melahirkan Sykes-Picot. Konflik bersenjata dan destabilisasi regional, menurutnya, digunakan sebagai alat untuk menciptakan pengaruh politik baru dan batas-batas yang ditentukan oleh kekuatan eksternal atau ambisi internal yang merusak.

Ia secara eksplisit menuding ambisi Zionis yang dimiliki Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, sebagai pemicu utama. Erdogan menyatakan bahwa pemerintahan Netanyahu adalah “hambatan terbesar bagi terciptanya perdamaian di kawasan” dan bahwa kebijakan Israel saat ini bertujuan “menyeret tidak hanya Timur Tengah, tetapi juga dunia internasional ke dalam konflik yang lebih luas.” Ia menyerukan negara-negara yang memiliki pengaruh terhadap Israel untuk tidak terhasut oleh provokasi dan mendorong penyelesaian damai melalui dialog.

Erdogan juga menegaskan pentingnya solidaritas negara-negara Islam. Ia menyerukan agar negara-negara OKI bersatu dan Suriah kembali ke OKI untuk mengatasi serangan Israel. Selain itu, ia menyatakan keyakinannya pada ketahanan rakyat Iran dalam menghadapi serangan yang tengah berlangsung, sebuah pernyataan yang menunjukkan keprihatinan Turki terhadap stabilitas regional secara keseluruhan.

Geopolitik Kontemporer: Pertarungan Membentuk Kembali Timur Tengah

Konsep “Sykes-Picot baru” yang diutarakan Erdogan bukan sekadar metafora historis, melainkan analisis terhadap pertarungan geopolitik yang sedang berlangsung di Timur Tengah pasca-Musim Semi Arab. Sejak 2010-2011, guncangan politik, keamanan, dan ekonomi telah mengancam eksistensi negara-negara bangsa yang tercipta dari Sykes-Picot lama, bahkan beberapa di antaranya, seperti Libya, Suriah, Lebanon, Yaman, dan Irak, telah secara de facto ambruk atau sangat tidak stabil.

Kekosongan kekuasaan ini membuka peluang bagi kekuatan regional dan internasional untuk melakukan intervensi dan berebut pengaruh, menciptakan peta politik dan ekonomi yang baru:

  • Ambisi Turki (Neo-Ottomanisme): Turki, yang merasa dirugikan oleh Sykes-Picot lama, kini berusaha mengubur perjanjian tersebut dan menggantinya dengan realitas baru yang sesuai dengan kepentingannya. Erdogan sering disebut berupaya membangun kembali pengaruh Dinasti Ottoman. Ini terlihat dari:

    • Libya: Perjanjian keamanan dan kemaritiman dengan Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) Libya pada November 2019, menancapkan pengaruh langsung di Mediterania dan Afrika Utara.
    • Suriah: Pendudukan wilayah luas di Suriah utara, termasuk Provinsi Idlib, dengan dalih memerangi milisi Kurdi (YPG/PKK).
    • Laut Mediterania Timur: Eksploitasi ladang gas yang ditentang Yunani dan Prancis, menunjukkan upaya Turki untuk mengamankan sumber daya dan pengaruh di kawasan maritim strategis.
    • Lebanon: Tawaran bantuan besar untuk pembangunan kembali pelabuhan Beirut setelah ledakan dahsyat, juga sebagai upaya menanamkan pengaruh.
  • Ekspansi Pengaruh Iran: Iran, melalui loyalisnya, juga disebut telah memperluas pengaruhnya hingga menguasai empat ibu kota Arab:

    • Beirut (Lebanon): Melalui Hezbollah.
    • Sana’a (Yaman): Melalui kelompok Houthi.
    • Damaskus (Suriah): Melalui hubungan strategis dengan rezim Bashar al-Assad.
    • Baghdad (Irak): Melalui kekuatan politik pro-Iran.
    • Gerakan Iran ini sering dikaitkan dengan upaya menghidupkan kembali pengaruh dinasti Persia.
  • Aliansi Penyeimbang: Menghadapi ekspansi Turki dan Iran, kekuatan lain juga berupaya melindungi kepentingannya dan membangun penyeimbang:

    • Duet Israel-Uni Emirat Arab (UEA): Normalisasi hubungan diplomatik pada 2020 adalah bagian dari upaya UEA dan Israel untuk membentuk aliansi strategis melawan pengaruh Iran dan Turki di kawasan.
    • Koordinasi Segitiga Mesir-Yordania-Irak: Pertemuan puncak antara para pemimpin ketiga negara ini pada Agustus 2020 dinilai sebagai upaya membangun koalisi Arab baru untuk melawan intervensi asing (baik Turki maupun Iran) dan melindungi kepentingan bangsa Arab di tengah peta politik yang terus berubah.
  • Intervensi Kekuatan Internasional: Selain kekuatan regional, aktor internasional seperti Rusia, Amerika Serikat, dan Prancis juga terus berupaya melindungi kepentingan mereka di Timur Tengah, semakin memperumit dinamika dan potensi re-drawing perbatasan pengaruh.

Dalam konteks inilah peringatan Presiden Erdogan menjadi sangat relevan. Ia melihat konflik yang terjadi, termasuk ketegangan Iran-Israel dan krisis di Gaza, sebagai peluang bagi pihak-pihak tertentu untuk memanfaatkan kekacauan guna membentuk ulang tatanan regional, yang berpotensi menciptakan “batas-batas baru yang dibuat dengan darah” dan mengorbankan kedaulatan serta stabilitas negara-negara kawasan.

Implikasi dan Jalan ke Depan: Menjaga Stabilitas Kawasan

Peringatan Presiden Erdogan tentang “Sykes-Picot baru” adalah seruan untuk kewaspadaan dan solidaritas di antara negara-negara Islam, serta ajakan kepada komunitas internasional untuk mendorong solusi damai. Konsekuensi dari Perjanjian Sykes-Picot yang asli telah menunjukkan betapa berbahayanya pembagian wilayah tanpa mempertimbangkan realitas sosial, budaya, dan sejarah masyarakat lokal.

Masa depan Timur Tengah akan sangat bergantung pada kemampuan para pemimpin regional untuk mengatasi perbedaan, membangun dialog konstruktif, dan menolak intervensi eksternal yang hanya memperkeruh suasana. Tanpa upaya kolektif untuk meredakan ketegangan, menghormati kedaulatan, dan mencari keadilan bagi semua pihak, wilayah yang kaya akan sejarah dan peradaban ini mungkin akan terus terjebak dalam siklus konflik yang tak berkesudahan, mengulang babak kelam sejarah yang telah terbukti merugikan seluruh umat manusia. Peringatan Erdogan bukan sekadar narasi ulang sejarah, melainkan refleksi mendalam tentang bahaya yang mengancam jika pelajaran dari masa lalu diabaikan.

Sebagai penutup, memahami apa perjanjian Sykes-Picot Presiden Turki peringatkan negara adalah kunci untuk menguraikan kompleksitas geopolitik Timur Tengah saat ini. Ini bukan hanya tentang sejarah, tetapi tentang masa kini dan masa depan sebuah kawasan yang terus berjuang untuk stabilitas dan keadilan di tengah bayang-bayang warisan kolonial dan ambisi kekuasaan yang tak kunjung padam.