Dinamika geopolitik global seringkali terasa jauh dari kehidupan sehari-hari, namun nyatanya, riak-riak ketegangan di belahan dunia mana pun dapat langsung terasa di kantong dan portofolio investasi kita. Salah satu peristiwa yang baru-baru ini menyita perhatian adalah eskalasi konflik antara Iran dan Israel, yang dampaknya langsung mengguncang naik-turun IHSG dan Rupiah akibat perang Iran-Israel. Fenomena ini bukan sekadar berita ekonomi biasa; ia adalah cerminan kompleksitas pasar keuangan global yang saling terhubung, di mana setiap ketukan drum perang berpotensi mengubah arah investasi dan stabilitas ekonomi nasional.
Artikel ini akan mengupas tuntas bagaimana konflik di Timur Tengah ini memicu gejolak pada Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar Rupiah, serta faktor-faktor fundamental yang berperan di balik fluktuasi tersebut. Kami akan membahas reaksi awal pasar, momen-momen rebound yang rapuh, hingga proyeksi ke depan dan langkah-langkah yang diambil oleh otoritas keuangan Indonesia. Memahami seluk-beluk ini krusial, bukan hanya bagi investor, tetapi juga bagi setiap individu yang ingin lebih siap menghadapi ketidakpastian ekonomi global.
Gejolak Awal: Ketika Timur Tengah Memanas, IHSG dan Rupiah Terguncang
Ketika kabar eskalasi konflik antara Iran dan Israel mulai merebak, terutama dengan keterlibatan Amerika Serikat yang melancarkan serangan terhadap fasilitas nuklir Iran pada Sabtu malam (21/6/2025), pasar keuangan global sontak bereaksi dengan kecemasan. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menjadi salah satu barometer pertama yang menunjukkan respons negatif ini.
Pada Senin, 23 Juni 2025, IHSG dibuka anjlok lebih dari 2%, bahkan sempat melemah hingga 1,74% ke posisi 6.787,14 setelah ditutup melemah 120 poin pada hari sebelumnya. Dalam sepekan terakhir, IHSG bahkan tercatat jatuh hingga 5,5% dari 7.166 menjadi 6.749. Kapitalisasi pasar di Bursa Efek Indonesia (BEI) menyusut signifikan, dari sekitar Rp12.099 triliun menjadi sekitar Rp11.900 triliun. Pelemahan ini juga diikuti oleh bursa regional Asia lainnya seperti Hang Seng, Shanghai Composite, dan Straits Times Index yang kompak merosot.
Bersamaan dengan koreksi IHSG, nilai tukar Rupiah juga tak luput dari tekanan. Rupiah sempat melemah 96 poin atau 0,58% menjadi Rp16.492 per dolar AS pada Senin, 23 Juni 2025, dan bahkan diperkirakan bisa menembus level Rp16.500 hingga Rp16.600 per dolar AS dalam jangka pendek. Pada 16 Juni 2025, Rupiah juga tercatat turun 0,12% ke posisi Rp16.310 per dolar AS, dan sempat menyentuh Rp16.171 pada 16 April 2024.
Mengapa reaksi pasar begitu cepat dan tajam? Ada beberapa alasan fundamental di baliknya:
- Keterlibatan AS dan Risiko Eskalasi: Serangan AS ke fasilitas nuklir Iran meningkatkan kekhawatiran akan konflik yang meluas dan berpotensi melibatkan negara-negara adidaya lainnya, termasuk Rusia dan Tiongkok. Para investor cenderung mengambil sikap risk-off, menarik dana mereka dari aset berisiko.
- Ancaman Penutupan Selat Hormuz: Parlemen Iran dilaporkan telah menyetujui langkah untuk menutup Selat Hormuz, jalur transit global yang sangat vital. Selat ini mengangkut sekitar 20% pasokan minyak dunia dan 30-35% LNG global. Jika ditutup, dampaknya akan sangat masif.
- Lonjakan Harga Minyak Global: Kekhawatiran penutupan Selat Hormuz langsung memicu lonjakan harga minyak mentah dunia. Harga minyak Brent sempat naik lebih dari 8% dari posisi di bawah US$70 menjadi US$78 per barel, bahkan diproyeksikan bisa meroket hingga US$130 atau bahkan US$240 per barel jika penutupan berlangsung lama.
- Kekhawatiran Inflasi Global dan Penundaan Penurunan Suku Bunga: Kenaikan harga minyak secara drastis akan memicu inflasi di berbagai negara, terutama importir energi. Hal ini dapat menghapus peluang pemangkasan suku bunga acuan oleh bank sentral, termasuk Federal Reserve (The Fed) di AS, yang pada gilirannya akan membuat biaya pinjaman tetap tinggi dan menekan pertumbuhan ekonomi.
- Aksi Jual Investor Asing (Foreign Net Outflow): Di tengah ketidakpastian, investor asing cenderung menarik dananya dari pasar negara berkembang. Dalam tiga hari terakhir saja, terjadi arus keluar dana asing sebesar Rp4,6 triliun dari pasar saham Indonesia, dan bahkan mencapai Rp7,9 triliun pada periode 16-19 April 2024.
Napas Lega Sementara: Gencatan Senjata dan Rebound Pasar
Di tengah gelombang kekhawatiran yang melanda, secercah harapan muncul ketika Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengumumkan gencatan senjata antara Iran dan Israel pada Selasa dini hari, 24 Juni 2025. Kabar ini sontak disambut positif oleh pasar keuangan, memberikan sentimen rebound yang signifikan.
Pada Selasa sore, 24 Juni 2025, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat 82,03 poin atau 1,21% ke posisi 6.869,17. Kelompok 45 saham unggulan atau indeks LQ45 juga naik 1,40%. Sektor properti memimpin penguatan dengan kenaikan 3,2%, diikuti barang konsumen non-primer dan kesehatan. Saham-saham perbankan raksasa seperti BBCA, BMRI, BBRI, dan BBNI juga menjadi penggerak utama penguatan IHSG.
Tak ketinggalan, nilai tukar Rupiah juga menunjukkan respons positif yang kuat. Pada penutupan perdagangan Selasa, 24 Juni 2025, Rupiah menguat 139 poin atau 0,84% menjadi Rp16.354 per dolar AS dari sebelumnya Rp16.492. Kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia juga menguat ke level Rp16.370 per dolar AS. Penguatan Rupiah ini sejalan dengan pelemahan indeks dolar AS (DXY) sebesar 0,28%.
Faktor-faktor pendorong rebound ini meliputi:
- Harapan De-eskalasi Konflik: Pengumuman gencatan senjata menciptakan harapan akan meredanya ketegangan di Timur Tengah, mengurangi kekhawatiran akan risiko global yang sebelumnya mencemaskan pelaku pasar.
- Penurunan Harga Minyak Mentah: Seiring meredanya sentimen geopolitik, harga minyak Brent turun ke bawah level US$70, bahkan harga minyak mentah AS sempat merosot lebih dari 7% sehari sebelumnya. Normalisasi harga minyak ini meredakan kekhawatiran inflasi.
- Isyarat Potensi Penurunan Suku Bunga The Fed: Pernyataan pejabat Federal Reserve, Michelle Bowman, mengenai potensi penurunan suku bunga paling cepat pada Juli 2025, juga memberikan sentimen positif. Ini menunjukkan harapan bahwa kebijakan moneter yang lebih longgar dapat terjadi lebih cepat dari perkiraan, mengurangi daya tarik dolar AS sebagai aset safe haven.
- Rebound Bursa Global: Bursa Wall Street di AS dan bursa Eropa juga kompak terbang menguat, mencerminkan optimisme pasar global terhadap meredanya ketegangan geopolitik. Ini memberikan bekal positif bagi pasar keuangan Indonesia.
Namun, penting untuk dicatat bahwa rebound ini bersifat sementara dan rapuh. Trump sendiri kemudian menyatakan kekecewaannya, menuduh Israel dan Iran sama-sama telah melanggar perjanjian damai yang baru dibuat. Ini menunjukkan bahwa ketidakpastian masih membayangi pasar.
Di Balik Fluktuasi: Faktor-faktor Penentu dan Dinamika Pasar
Fluktuasi naik-turun IHSG dan Rupiah akibat perang Iran-Israel tidak hanya dipicu oleh sentimen sesaat, tetapi juga oleh interaksi kompleks berbagai faktor ekonomi dan geopolitik. Memahami faktor-faktor ini akan memberikan gambaran yang lebih komprehensif.
1. Ancaman Selat Hormuz dan Harga Minyak
Selat Hormuz adalah urat nadi perdagangan minyak dunia. Setiap ancaman terhadap kelancaran alirannya akan langsung memicu kepanikan di pasar energi. Iran diketahui mengontrol dua jalur pelayaran strategis: Selat Hormuz dan Laut Merah. Penutupan salah satunya saja dapat mengganggu sekitar 20% pasokan minyak dunia.
- Dampak Langsung: Lonjakan harga minyak mentah yang signifikan. Proyeksi Macquarie bahkan menyebut harga bisa mencapai US$240 per barel jika 15 juta barel minyak per hari terganggu.
- Dampak Turunan: Kenaikan harga minyak akan meningkatkan biaya produksi dan transportasi di berbagai sektor, memicu inflasi global. Bagi negara pengimpor energi seperti Indonesia, ini berarti beban subsidi BBM yang lebih besar dan potensi pelemahan daya beli masyarakat.
2. Kebijakan Moneter Global (The Fed)
Bank sentral Amerika Serikat, The Fed, memiliki pengaruh besar terhadap pasar keuangan global. Kebijakan suku bunga mereka kerap menjadi penentu arah aliran modal.
- Sikap Hawkish Jerome Powell: Ketua The Fed, Jerome Powell, menyatakan bahwa bank sentral tidak terburu-buru menurunkan suku bunga dan akan menunggu dampak tarif impor AS terhadap ekonomi. Sikap ini berlawanan dengan isyarat beberapa pejabat The Fed lainnya yang melihat peluang penurunan suku bunga pada Juli 2025.
- Dampak pada Rupiah: Jika suku bunga AS tetap tinggi, investor asing cenderung menarik dananya dari pasar negara berkembang yang menawarkan imbal hasil lebih rendah, termasuk Indonesia, yang pada akhirnya menekan nilai tukar Rupiah.
3. Faktor Domestik Indonesia
Meskipun faktor eksternal dominan, tekanan terhadap Rupiah juga disebabkan oleh faktor domestik yang telah ada sebelumnya:
- Pemburukan Current Account: Penurunan nilai ekspor komoditas telah menyebabkan defisit transaksi berjalan yang melebar.
- Perlambatan Pertumbuhan Ekonomi: Kondisi ekonomi domestik yang melambat juga memberikan tekanan.
- Penerimaan Negara Jauh dari Target: Kondisi fiskal yang kurang optimal menambah kerentanan.
- Tingkat Utang yang Makin Tinggi: Beban utang pemerintah yang meningkat juga menjadi perhatian.
- Kebijakan Pemerintah yang Belum Sinergis: Kurangnya sinergi dalam upaya mendorong pertumbuhan ekonomi juga dapat memperburuk situasi.
4. Peran Aset Safe Haven
Dalam situasi ketidakpastian dan perang, investor cenderung beralih ke aset yang dianggap aman (safe haven) untuk melindungi nilai aset mereka.
- Dolar AS dan Emas: Dolar AS dan emas adalah dua aset safe haven utama. Peningkatan ketegangan geopolitik akan memperkuat daya tarik dolar, mendorong penguatan terhadap mata uang negara berkembang seperti Rupiah. Harga emas juga melonjak tajam dalam kondisi seperti ini.
- Aset Kripto: Menariknya, aset kripto seperti Bitcoin juga menunjukkan tanda-tanda pemulihan pasca-serangan Israel. Karena tidak terkait langsung dengan negara atau pemerintah, aset kripto mulai dilihat sebagai pengaman nilai di tengah ketidakpastian ekonomi global.
Peluang di Tengah Ketidakpastian: Sektor yang Diuntungkan dan Resiliensi Pasar
Meskipun naik-turun IHSG dan Rupiah akibat perang Iran-Israel menciptakan volatilitas, tidak semua sektor terpukul sama rata. Bahkan, ada beberapa sektor yang justru diuntungkan oleh dinamika ini, sekaligus menunjukkan resiliensi pasar domestik.
1. Sektor yang Diuntungkan
Lonjakan harga minyak mentah dunia selama konflik memberikan angin positif bagi saham sektor energi dan material dasar.
- Sektor Energi (Migas): Emiten di sektor ini, seperti PT Surya Esa Perkasa Tbk (ESSA), Medco Energi Internasional Tbk (MEDC), Elnusa (ELSA), AKR Corporindo Tbk (AKRA), dan Rukun Raharja Tbk (RAJA), berpotensi mencetak keuntungan dari kenaikan harga komoditas minyak dan gas. Saham-saham ini sempat mencatatkan penguatan signifikan saat IHSG melemah.
- Sektor Material Dasar (Tambang): Saham-saham yang terkait dengan tambang logam, emas, minyak, dan gas juga menunjukkan ketahanan. Sektor material dasar mengalami penurunan paling rendah dibandingkan sektor lain saat pasar terkoreksi. Beberapa saham seperti PT Central Omega Resources Tbk (DKFT), PT Amman Mineral Internasional Tbk (AMMN), dan PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) bahkan mengalami kenaikan harga.
- Sektor Pertahanan: Jika eskalasi konflik meningkat, sektor pertahanan juga diperkirakan akan mendapat keuntungan.
2. Resiliensi Pasar Modal Indonesia
Meskipun volatilitas tinggi, Bursa Efek Indonesia (BEI) memperkirakan dampak konflik ini tidak akan berlangsung lama. Sejarah menunjukkan bahwa pasar modal Indonesia memiliki daya saing dan fundamental yang cukup kuat untuk menghadapi guncangan eksternal.
- Pembelajaran dari Konflik Sebelumnya: Mengaca pada konflik Rusia-Ukraina (Februari 2022) dan Israel-Hamas (Oktober 2023), IHSG memang sempat mengalami volatilitas tinggi di awal konflik, namun dua bulan setelahnya cenderung kembali ke arah positif dan bahkan naik.
- Peran Investor Domestik: Investor domestik cenderung memanfaatkan koreksi pasar untuk membeli saham yang dilepas investor asing. Fenomena ini menunjukkan adanya potensi pemulihan begitu sentimen membaik dan menjadi pilar penting dalam menjaga stabilitas pasar.
- Peluang Technical Rebound: Secara teknikal, setelah sempat menyentuh level double top yang menandakan penurunan, harapan terjadinya technical rebound terbuka lebar jika sentimen positif terus berlanjut.
3. Transparansi Pasar yang Meningkat
Dari sisi regulator, ada kabar baik yang berpotensi meningkatkan transparansi dan likuiditas pasar:
- Pembukaan Kode Domisili BEI: BEI akan membuka kembali kode domisili pada Juli 2025 mendatang, meskipun secara parsial pada akhir sesi I perdagangan. Ini akan memungkinkan trader mencermati aliran dana investor asing atau lokal lebih cepat, yang diharapkan meningkatkan efisiensi pasar.
Menghadapi Masa Depan: Strategi dan Harapan
Melihat naik-turun IHSG dan Rupiah akibat perang Iran-Israel serta ketidakpastian yang masih ada, otoritas keuangan dan pelaku pasar perlu mengadopsi strategi yang proaktif dan adaptif.
1. Peran Bank Indonesia dan Pemerintah
Stabilitas makroekonomi menjadi kunci utama dalam menghadapi gejolak eksternal.
- Intervensi Ganda Bank Indonesia: Bank Indonesia (BI) berpeluang besar melakukan intervensi ganda untuk menjaga stabilitas Rupiah, meliputi pasar valas, pasar obligasi negara, dan pasar spot. Intervensi yang agresif diperlukan jika tensi geopolitik terus meningkat untuk menjaga kepercayaan investor.
- Kebijakan Fiskal yang Hati-hati: Pemerintah perlu mewaspadai risiko inflasi akibat lonjakan harga energi. Kebijakan subsidi energi dan pengendalian harga pangan menjadi kunci untuk menjaga daya beli masyarakat dan menekan inflasi.
- Komunikasi Kebijakan yang Tegas dan Kredibel: Pemerintah dan otoritas keuangan harus segera menenangkan pasar dengan sinyal kebijakan yang tegas dan kredibel. Jika komunikasi tidak terjaga dengan baik, pasar bisa kehilangan pijakan fundamentalnya dan terjebak dalam kepanikan.
2. Prospek Jangka Pendek dan Panjang
Pasar berada dalam fase konsolidasi, menunggu konfirmasi apakah ketenangan yang ada akan bertahan lama.
- Volatilitas Jangka Pendek: Pelaku pasar tetap perlu mewaspadai potensi volatilitas, terutama menyusul pidato Ketua The Fed Jerome Powell yang masih menunjukkan sikap hawkish.
- Perhatian pada Data Ekonomi: Perhatian investor akan segera beralih pada arah suku bunga global dan prospek pertumbuhan ekonomi kuartal ketiga, terutama rilis data inflasi inti AS (Core PCE) dan pertumbuhan GDP.
- Strategi Adaptif: Investor dan pemerintah di seluruh dunia tidak bisa lagi sekadar mengandalkan ekspektasi jangka pendek. Mereka perlu strategi kebijakan yang kuat, proaktif, dan adaptif terhadap potensi disrupsi jangka panjang. Bagi investor domestik, fokus pada saham dengan fundamental kuat dan posisi teknikal menarik menjadi penting.
Kesimpulan
Gejolak naik-turun IHSG dan Rupiah akibat perang Iran-Israel adalah pengingat nyata betapa eratnya hubungan antara geopolitik dan pasar keuangan. Dari penurunan tajam yang dipicu oleh kekhawatiran perang meluas dan potensi blokade Selat Hormuz, hingga rebound sementara berkat harapan gencatan senjata dan isyarat kebijakan moneter yang lebih lunak, pasar Indonesia menunjukkan respons yang dinamis terhadap setiap berita dari Timur Tengah.
Namun, di balik fluktuasi ini, terdapat fondasi ekonomi yang perlu diwaspadai, mulai dari tekanan inflasi global, sikap hawkish The Fed, hingga tantangan domestik. Kendati demikian, pasar modal Indonesia juga menunjukkan resiliensi, dengan sektor-sektor tertentu yang justru diuntungkan dan peran aktif investor domestik yang memanfaatkan koreksi.
Memahami kompleksitas ini adalah langkah pertama untuk menavigasi ketidakpastian. Bagi investor, ini berarti tetap waspada, melakukan analisis mendalam, dan mempertimbangkan diversifikasi portofolio. Bagi masyarakat umum, ini adalah panggilan untuk menyadari bahwa stabilitas ekonomi kita tak lepas dari dinamika global. Dengan kebijaksanaan dan adaptasi, Indonesia dapat terus bergerak maju di tengah badai geopolitik, mengubah tantangan menjadi peluang.