Dunia internasional baru-baru ini dikejutkan dengan eskalasi ketegangan di Timur Tengah, khususnya setelah serangkaian serangan yang menargetkan fasilitas nuklir Iran oleh Amerika Serikat dan Israel. Peristiwa ini, meskipun terjadi ribuan kilometer dari Semenanjung Korea, ternyata memiliki resonansi yang mendalam dan signifikan bagi Pyongyang. Bagi banyak pengamat geopolitik, arti serangan Iran, Korea Utara, dan Kim Jong-un adalah sebuah korelasi strategis yang kompleks, di mana insiden di satu wilayah dapat memperkuat atau mengubah kalkulasi keamanan di wilayah lain. Artikel ini akan mengupas tuntas bagaimana Pyongyang menginterpretasikan agresi terhadap Teheran, mengapa Kim Jong-un melihatnya sebagai pembenaran atas ambisi nuklirnya, dan bagaimana hal ini turut membentuk dinamika aliansi global yang baru.
Latar Belakang Geopolitik: Ketika Iran Menjadi Target
Pada Minggu, 22 Juni 2025, Presiden AS Donald Trump mengumumkan serangan militer yang menyasar tiga fasilitas nuklir Iran di Fordow, Natanz, dan Isfahan. Washington bersikeras bahwa serangan ini bertujuan untuk “menghancurkan” program nuklir Iran tanpa berniat menggulingkan rezimnya. Kementerian Luar Negeri Iran segera mengutuk tindakan ini sebagai pelanggaran berat hukum internasional. Tidak lama berselang, Iran membalas dengan merudal pangkalan militer AS di Qatar, meskipun serangan ini disebut Trump sebagai “lemah” dan mungkin merupakan pesan simbolis belaka.
Peristiwa ini menandai babak baru dalam ketegangan yang sudah berlangsung lama antara Iran, Israel, dan Amerika Serikat. Bagi Teheran, serangan ini bukan hanya ancaman terhadap kedaulatan, tetapi juga potensi pemicu konflik yang lebih luas di Timur Tengah, bahkan mengarah pada skenario perang global baru jika tidak ditangani dengan hati-hati. Dalam konteks inilah, negara-negara lain, terutama yang memiliki sejarah ketegangan dengan AS dan sekutunya, turut mengamati dengan saksama. Salah satunya adalah Korea Utara.
Reaksi Korea Utara: Sebuah Kecaman Tegas dan Peringatan
Menyusul serangan terhadap Iran, Korea Utara tidak tinggal diam. Pyongyang, melalui juru bicara Kementerian Luar Negerinya, mengutuk keras serangan AS dan Israel, menyebutnya sebagai pelanggaran terhadap Piagam PBB dan hukum internasional yang membahayakan stabilitas global. Kecaman ini tidak hanya ditujukan kepada AS, tetapi juga secara khusus menargetkan Israel, yang disebut sebagai “keberanian Israel yang sembrono” dan “kanker yang mengancam perdamaian di Timur Tengah.”
Pernyataan dari Pyongyang ini, meskipun disampaikan oleh pejabat tingkat menengah, mencerminkan kalkulasi strategis yang matang. Seperti yang diungkapkan oleh Presiden Universitas Studi Korea Utara, Yang Moo-jin, hal ini adalah cara Korea Utara untuk:
- Menjauhkan diri dari hubungan langsung dengan situasi Iran secara retoris, namun tetap menunjukkan solidaritas.
- Menangkis narasi “Iran hari ini, Korea Utara besok,” sekaligus menolak perbandingan langsung antara kedua negara dalam konteks kerentanan.
Namun, di balik retorika diplomatik, ada pesan yang jauh lebih dalam. Korea Utara, yang selama puluhan tahun menjadi sasaran sanksi dan isolasi internasional serupa dengan Iran, melihat serangan ini sebagai peringatan keras. Ini adalah momen di mana Pyongyang menegaskan kembali posisinya, bukan hanya sebagai pendukung Iran, tetapi juga sebagai entitas yang memandang intervensi asing semacam ini sebagai ancaman eksistensial.
Interpretasi Kim Jong-un: Nuklir sebagai Jaminan Kedaulatan Mutlak
Bagi Pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un, serangan terhadap fasilitas nuklir Iran merupakan justifikasi paling gamblang atas kebijakan Songun (militer di atas segalanya) dan program senjata nuklirnya. Insiden ini memperkuat keyakinannya bahwa senjata nuklir adalah satu-satunya jaminan terbaik untuk kelangsungan rezimnya dan kedaulatan negaranya.
Mempercepat Ambisi Nuklir dan Rudal
Sejak kegagalan KTT dengan Donald Trump di Hanoi pada Februari 2019, Kim Jong-un telah menyatakan tekad untuk terus berinvestasi dalam deterensi nuklir dan membangun strategi pertahanan nasional yang “mandiri.” Serangan terhadap Iran menjadi pengingat yang nyata akan kemampuan negara adidaya, terutama terhadap fasilitas nuklir bawah tanah. Profesor Lim Eul-chul dari Universitas Kyungnam berpendapat bahwa serangan ini “mengkatalisasi perubahan dalam kebijakan luar negeri Korea Utara, khususnya dengan mempercepat dan memperdalam kerja sama militer dengan Rusia.”
Kim Jong-un telah berulang kali menyerukan kesiapan persenjataan nuklir Korea Utara, mendesak pasukannya untuk mempertahankan kesiagaan tinggi. Dengan perkiraan 40 hingga 50 hulu ledak nuklir dan sejumlah rudal balistik antarbenua (ICBM) yang mampu mencapai AS, Pyongyang sudah memiliki sarana untuk melakukan pembalasan yang menghancurkan. Uji coba rudal jelajah jarak jauh yang mampu menghantam sebagian besar wilayah Jepang, yang disebut sebagai “senjata strategis,” menunjukkan bahwa rezim itu berniat untuk menempatkan hulu ledak nuklir pada senjata tersebut, menandai diversifikasi dan penyempurnaan kemampuan nuklir mereka.
Pelajaran dari Sejarah Pergantian Rezim
Dalam pikiran para pemimpin Iran dan, secara paralel, Korea Utara, sangat berbahaya jika tidak membalas serangan AS, karena dapat memberi pesan buruk kepada lawan-lawan mereka, termasuk di dalam negeri, bahwa mereka lemah. Mereka tidak akan membiarkan kesan itu muncul, karena sama halnya dengan membuka skenario keruntuhan rezim, seperti Revolusi Islam Iran menumbangkan Shah Iran pada 1979, atau nasib Saddam Hussein di Irak dan Muammar Gaddafi di Libya.
Retorika AS dan Barat mengenai “pergantian rezim” yang berusaha diaplikasikan terhadap Iran sangat tidak nyaman bagi Korea Utara. Pyongyang memahami bahwa tidak ada pergantian rezim secara paksa yang berhasil membuat sebuah negara lebih baik; sering kali, hal itu hanya melumpuhkan lawan dan menghasilkan diktator-diktator baru. Oleh karena itu, serangan terhadap Iran bukan hanya urusan hidup mati bagi Teheran, tetapi juga menjadi ancaman terhadap negara-negara yang berkawan dengan Iran, termasuk Korea Utara, yang melihat pola yang sama dalam upaya pelemahan dan isolasi.
Mempererat Poros Anti-Barat: Hubungan Pyongyang-Teheran-Moskow
Serangan terhadap Iran juga memperkuat tren geopolitik yang telah lama terbentuk: semakin eratnya hubungan antara Korea Utara, Iran, dan Rusia. Ketiga negara ini, yang sama-sama menghadapi sanksi dan tekanan dari Barat, menemukan titik temu dalam upaya menantang hegemoni AS dan sekutunya.
Sinergi Militer dan Teknologi
Kunjungan delegasi Korea Utara yang dipimpin oleh menteri kabinet untuk perdagangan internasional ke Iran memicu spekulasi tentang kerja sama militer yang lebih dalam. Korea Utara dan Iran telah lama dicurigai bekerja sama dalam program rudal balistik, bertukar keahlian teknis dan komponen. Laporan intelijen AS pada 2019 menunjukkan bahwa rudal balistik Shahab-3 Iran dikembangkan berdasarkan rudal Rodong jarak menengah Korea Utara, dan rudal Khorramshahr Iran diyakini terkait secara teknis dengan rudal Musudan milik Korea Utara.
Selain itu, kedua negara juga dikenal sebagai penyedia utama senjata bagi Moskow dalam perang di Ukraina. Korea Utara diduga memasok jutaan amunisi dan rudal ke Rusia, sementara Iran menyediakan sejumlah besar rudal balistik dan drone serang Shahed-136. Sebagai imbalannya, Pyongyang diperkirakan menerima bantuan penting seperti makanan, bahan bakar, mata uang asing, dan yang paling krusial, teknologi militer canggih, termasuk teknologi satelit yang dapat membantu program rudal mereka.
Menantang Hegemoni Barat
Kerja sama yang semakin erat ini, termasuk pakta pertahanan komprehensif antara Rusia dan Korea Utara yang ditandatangani oleh Vladimir Putin dan Kim Jong-un, menegaskan komitmen untuk saling membantu jika terjadi “agresi” terhadap salah satu negara. Kesepakatan ini dapat membuka pintu bagi kerja sama yang lebih luas, termasuk kemungkinan tentara Korea Utara membantu Rusia di Ukraina, dan teknologi militer canggih Rusia mengalir ke Pyongyang.
Aliansi ini memperkuat pandangan dunia “multipolar” yang didorong oleh Rusia, Tiongkok, dan negara-negara lain, sebagai alternatif terhadap tatanan internasional yang dipimpin oleh AS dan sekutu Barat. Bagi Kim Jong-un, ini adalah kesempatan untuk mengurangi dampak sanksi internasional dengan menciptakan jaringan teman dan mitra alternatif, seraya memperkuat posisi tawar Korea Utara di panggung global.
Dampak Global: Menuju Skenario Perang yang Lebih Luas?
Arti serangan Iran, Korea Utara, dan Kim Jong-un melampaui dinamika regional. Peristiwa ini mengirimkan gelombang kejut ke seluruh sistem keamanan global, berpotensi memicu skenario perang yang lebih luas.
- Deterensi Nuklir sebagai Paradigma: Serangan terhadap Iran menggarisbawahi bahwa bagi negara-negara yang merasa terancam oleh intervensi Barat, senjata nuklir dilihat sebagai ultimate deterrent. Logika ini tidak hanya membuat Israel kebal dari serangan tetangga, tetapi juga memberikan “kemewahan” untuk menyerang tanpa dikoreksi oleh komunitas internasional karena dukungan AS. Ini mendorong negara-negara lain, seperti Pakistan (meskipun bersekutu dengan AS), untuk khawatir menjadi sasaran berikutnya jika dominasi nuklir regional Israel tidak terganggu.
- Standar Ganda dan Keangkuhan: Iran mungkin merasa tengah merepresentasikan aspirasi global mengenai perlunya mengoreksi standar ganda AS dan “laku pongah Israel” di Timur Tengah. Ketika AS menyerang Iran tanpa otorisasi parlemen, sambil tetap merangkul rezim-rezim otoriter lain karena kepentingan strategis, narasi demokrasi yang sering diusung Barat menjadi makin terkuak.
- Risiko Eskalasi: Jika balasan Iran mengundang serangan lanjutan dari AS yang lebih dahsyat, maka skenario perang yang lebih luas dari sekadar perang antara Iran dan Israel akan sulit dihindari. Dalam skenario terburuk, dunia dapat terjerumus ke dalam perang global baru. Namun, harapan tetap ada jika para pemimpin yang terlibat terlalu waras untuk tidak mempedulikan skenario buruk tersebut, dan dialog untuk gencatan senjata dapat terwujud.
Kesimpulan
Serangan Amerika Serikat dan Israel terhadap fasilitas nuklir Iran telah mengirimkan pesan yang gamblang kepada Korea Utara: bahwa di tengah tekanan dan isolasi, kepemilikan senjata nuklir dianggap oleh Kim Jong-un sebagai satu-satunya benteng pertahanan yang tak tergoyahkan. Arti serangan Iran, Korea Utara, dan Kim Jong-un bukanlah tentang konfrontasi langsung antar mereka, melainkan tentang bagaimana insiden di Timur Tengah menguatkan tekad Pyongyang untuk mempercepat program nuklir dan rudalnya, sekaligus mendorongnya semakin erat ke dalam poros strategis dengan Rusia dan Tiongkok.
Dampak dari peristiwa ini sangat luas, mulai dari perubahan kalkulasi keamanan di Semenanjung Korea hingga percepatan pembentukan tatanan dunia multipolar yang menantang hegemoni Barat. Ini adalah sebuah pengingat bahwa konflik di satu sudut dunia dapat memicu reaksi berantai yang kompleks dan tak terduga di sudut lainnya, menegaskan betapa saling terkaitnya keamanan global. Ke depan, komunitas internasional perlu memahami bahwa setiap tindakan agresi dapat memiliki konsekuensi yang jauh melampaui target langsungnya, memperkuat narasi deterensi nuklir, dan membentuk aliansi baru yang berpotensi mengubah lanskap geopolitik secara fundamental.
Bagaimana menurut Anda, apakah ketegangan global ini akan terus meningkat ataukah ada celah untuk diplomasi dan resolusi damai? Bagikan pandangan Anda di kolom komentar di bawah.