Konflik geopolitik yang memanas di Timur Tengah, khususnya antara Iran dan Israel, telah menciptakan gelombang ketidakpastian yang berdampak pada banyak aspek kehidupan, termasuk keselamatan warga negara asing yang berada di wilayah tersebut. Di tengah ketegangan yang meningkat, kisah heroik evakuasi warga negara Indonesia (WNI) dari Iran menjadi sorotan. Sebuah perjalanan yang tak hanya menguras energi fisik, tetapi juga mental, menempuh jalur darat selama total 6 hari, adalah bukti nyata ketahanan dan upaya luar biasa dalam menghadapi situasi krisis. Artikel ini akan mengupas tuntas pengalaman para WNI, menyoroti liku-liku perjalanan panjang mereka, serta tantangan yang harus dihadapi demi mencapai kembali Tanah Air.
Mengapa Evakuasi Jalur Darat Menjadi Pilihan Utama?
Eskalasi konflik antara Iran dan Israel memicu penutupan sementara sejumlah wilayah Flight Information Region (FIR) di Timur Tengah. Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Indonesia sendiri telah mengonfirmasi bahwa penutupan ruang udara ini berdampak signifikan pada sejumlah penerbangan internasional, termasuk rute dari dan menuju Indonesia. Maskapai nasional diminta untuk memonitor kondisi ruang udara dan melakukan penyesuaian jalur penerbangan, bahkan menyusun skenario alternatif untuk meminimalkan gangguan operasional, termasuk penerbangan haji dan umrah.
Situasi ini secara langsung menjelaskan mengapa evakuasi melalui jalur udara menjadi sangat sulit, bahkan mustahil, dalam beberapa kasus. Dengan terbatasnya atau bahkan tidak adanya akses udara yang aman, jalur darat menjadi satu-satunya opsi yang memungkinkan untuk membawa pulang para WNI dari zona konflik. Keputusan ini, meskipun menantang, adalah langkah pragmatis demi menjamin keselamatan mereka.
Liku-liku Perjalanan Enam Hari: Dari Mashhad hingga Jakarta
Kisah perjalanan evakuasi ini paling jelas terungkap dari penuturan para WNI yang mengalaminya langsung. Salah satunya adalah Sulthon Fathoni (43), seorang pria asal Samarinda yang tinggal di Kota Mashhad, Iran. Bersama keluarganya, Sulthon memulai perjalanan evakuasi sejak Kamis, 19 Juni 2025, yang berarti total prosesnya mencapai enam hari penuh hingga tiba di Bandara Soekarno-Hatta pada Selasa, 24 Juni 2025.
Perjalanan Sulthon mencerminkan kompleksitas evakuasi jalur darat:
- Fase Pertama: Dari Mashhad ke Teheran. Kota Mashhad, meskipun tidak menjadi sasaran langsung serangan bom Israel, beberapa kali melihat drone melintas yang berhasil ditembak jatuh oleh pertahanan Iran. Bandara Mashhad, yang hanya sekitar 10 menit dari tempat tinggal Sulthon, sempat menjadi target serangan drone. Perjalanan dari Mashhad menuju titik kumpul Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Teheran memakan waktu satu hari penuh. Jarak yang jauh dan medan yang mungkin tidak selalu mulus menjadi tantangan awal.
- Fase Kedua: Menunggu di KBRI Teheran. Setibanya di KBRI Teheran, Sulthon dan rombongan harus menginap satu malam. Ini adalah waktu krusial untuk menunggu WNI lain dari kota-kota berbeda berkumpul, serta untuk koordinasi lebih lanjut dengan pihak KBRI. Suasana di Teheran sendiri cukup mencekam, seperti yang diceritakan oleh Ali Murtado (20), seorang mahasiswa asal Gresik yang juga dievakuasi. Ali, yang sempat menginap di gedung KBRI, menyaksikan langsung kondisi yang tegang dengan serangan Israel yang kadang berhenti sejenak lalu berlanjut. Meskipun demikian, serangan tersebut berhasil dihalau oleh sistem pertahanan Iran, sehingga tidak ada yang sampai menghantam tanah.
- Fase Ketiga: Perjalanan Darat Menuju Perbatasan Azerbaijan. Setelah semua WNI berkumpul, perjalanan dilanjutkan kembali melalui jalur darat menuju perbatasan Iran dan Azerbaijan. Fase ini juga memakan waktu satu hari penuh. Ini adalah bagian yang paling intens dari perjalanan darat lintas negara.
- Fase Keempat: Melintasi Perbatasan dan Transit di Azerbaijan. Setibanya di perbatasan, para WNI harus melewati proses imigrasi dan pemeriksaan yang memakan waktu cukup lama. Ali Murtado menceritakan, di perbatasan tersebut banyak juga warga asing lain yang ikut menyeberang, sehingga antrean panjang tak terhindarkan. Namun, ia memastikan bahwa prosesnya berjalan lancar tanpa gangguan dari aparat militer setempat. Setelah berhasil melintasi perbatasan, rombongan WNI dibawa menuju Baku, ibu kota Azerbaijan. Mereka menginap selama dua hari di Baku, masa yang mungkin digunakan untuk memulihkan diri setelah perjalanan panjang dan mempersiapkan diri untuk fase selanjutnya.
- Fase Kelima: Penerbangan Menuju Indonesia. Dari Baku, rombongan WNI diterbangkan menuju Istanbul, Turki, menggunakan maskapai Turkish Airlines. Ini menandai berakhirnya perjalanan darat yang melelahkan dan dimulainya fase udara. Dari Istanbul, mereka melanjutkan penerbangan langsung menuju Jakarta, Indonesia.
Perjalanan yang terstruktur namun penuh tantangan ini menunjukkan betapa rumitnya proses evakuasi di tengah krisis.
Detik-detik Mencekam dan Terputusnya Akses Informasi
Pengalaman para WNI di Iran selama konflik bukan hanya tentang perjalanan fisik, tetapi juga pergulatan mental menghadapi ketidakpastian dan ancaman. Ali Murtado, yang menempuh studi di Al-Mustafa International University di Kota Qom, merasakan langsung dampak konflik. Meskipun Kota Qom tempatnya tinggal tidak mendapat serangan langsung, Ali menyaksikan kepanikan di Teheran, di mana sebagian besar masyarakatnya memilih keluar kota karena ketakutan akan serangan malam hari.
Salah satu kesulitan terbesar yang dihadapi para WNI selama konflik adalah terputusnya akses informasi dan komunikasi. Pemerintah Iran sempat memutus akses internet, membuat para WNI kesulitan mendapatkan berita terkini dari luar atau bahkan menghubungi keluarga di Tanah Air. Ali Murtado mengaku baru bisa berkomunikasi dengan keluarganya dan mengetahui berita terbaru setelah tiba di Azerbaijan.
“Karena di sana sempat diputus internet. Kita nggak bisa dapat berita masuk dari Iran. Ketika diputus, sulit. Saya bisa informasi dengan keluarga itu, mendapat informasi setelah berada di Azerbaijan,” ungkap Ali.
Kondisi ini menambah berat beban psikologis para WNI. Bayangkan berada di tengah zona konflik, dengan suara serangan terdengar, dan terisolasi dari informasi serta orang-orang terkasih. Keadaan ini tentu memicu kecemasan yang mendalam, membuat setiap momen evakuasi terasa seperti sebuah perjuangan.
Peran Krusial Pemerintah dan Apresiasi dari WNI
Di balik kisah perjalanan yang melelahkan, ada peran krusial dari pemerintah Indonesia, khususnya Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Teheran. KBRI menjadi titik kumpul, pusat koordinasi, dan jembatan bagi para WNI untuk bisa kembali ke Tanah Air. Informasi mengenai rencana evakuasi disebarkan melalui grup percakapan komunitas WNI, bahkan sebelum situasi memanas sepenuhnya, menunjukkan kesiapsiagaan pihak kedutaan.
Setibanya di Tanah Air, Sulthon Fathoni dan Ali Murtado kompak menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam kepada pemerintah Indonesia.
“Terutama untuk pemerintah Indonesia, terima kasih. Kita sekarang merasa aman dan tiba di Indonesia secara selamat,” ungkap Ali Murtado di Terminal 3, Bandara Soekarno Hatta.
Apresiasi ini menjadi bukti bahwa upaya keras pemerintah dalam melindungi dan mengevakuasi warganya di luar negeri telah membuahkan hasil. Ini juga menegaskan komitmen negara dalam memastikan keselamatan setiap WNI, di mana pun mereka berada, terutama dalam situasi darurat.
Tantangan yang Masih Tersisa: Evakuasi Gelombang Berikutnya
Meskipun 11 WNI telah berhasil dievakuasi dalam gelombang pertama, perjalanan belum berakhir sepenuhnya. Ali Murtado menginformasikan bahwa masih ada sekitar 100 mahasiswa Indonesia yang berada di Kota Qom dan belum ikut dalam evakuasi tahap pertama. Ada rencana untuk evakuasi gelombang kedua, dan harapan besar agar mereka semua juga bisa kembali dengan selamat ke Indonesia.
Situasi ini menyoroti bahwa proses evakuasi adalah upaya berkelanjutan yang memerlukan koordinasi dan sumber daya yang tidak sedikit. Pemerintah Indonesia, melalui perwakilan diplomatiknya, terus memantau kondisi dan berupaya maksimal untuk menjangkau setiap WNI yang membutuhkan bantuan.
Pembelajaran dari Krisis: Kesiapsiagaan dan Solidaritas
Kisah evakuasi WNI dari Iran ini menawarkan beberapa pembelajaran penting:
- Pentingnya Kesiapsiagaan Dini: Informasi dan koordinasi yang cepat dari KBRI sangat vital dalam situasi krisis. Adanya grup komunikasi WNI juga membantu penyebaran informasi dan arahan.
- Ketahanan dan Adaptabilitas: Para WNI menunjukkan ketahanan luar biasa dalam menghadapi perjalanan panjang dan kondisi yang tidak menentu. Kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan rencana dan kondisi di lapangan adalah kunci.
- Peran Vital Jalur Darat: Dalam kondisi di mana ruang udara tidak aman, jalur darat menjadi penyelamat, meskipun dengan segala tantangannya. Ini menunjukkan pentingnya memiliki berbagai skenario evakuasi.
- Solidaritas dan Dukungan: Baik dari sesama WNI maupun dari pemerintah, dukungan moral dan logistik sangat berarti. Rasa aman yang dirasakan setelah tiba di Tanah Air adalah hasil dari upaya kolektif ini.
Kesimpulan: Sebuah Kisah Ketahanan dan Kepulangan yang Bermakna
Perjalanan evakuasi WNI dari Iran, yang memakan waktu 6 hari melalui jalur darat yang melelahkan dan penuh ketidakpastian, adalah testimoni nyata akan ketahanan manusia di tengah badai geopolitik. Dari Mashhad, Teheran, melintasi perbatasan Azerbaijan, hingga akhirnya tiba kembali di Indonesia, setiap langkah adalah perjuangan yang tak terlupakan. Kisah Sulthon Fathoni dan Ali Murtado bukan sekadar narasi tentang kepulangan, melainkan cerminan dari keberanian, kesabaran, dan harapan di tengah situasi mencekam.
Di satu sisi, pengalaman ini mengingatkan kita akan dampak nyata dari konflik global terhadap individu. Di sisi lain, ia juga menyoroti peran krusial pemerintah dalam melindungi warganya di luar negeri, serta pentingnya solidaritas sesama WNI. Semoga kisah ini menjadi pengingat akan pentingnya perdamaian dan keselamatan, serta dorongan bagi kita untuk selalu menghargai perjalanan pulang yang aman. Bagi mereka yang masih menunggu evakuasi gelombang berikutnya, semoga perjalanan mereka juga lancar dan aman hingga kembali ke pelukan keluarga di Tanah Air.