Yogyakarta, zekriansyah.com – Tahukah Anda bahwa sebagian besar kasus malaria di Indonesia terkonsentrasi di satu wilayah? Ya, Papua menjadi sorotan utama dalam perjuangan nasional melawan penyakit yang ditularkan nyamuk ini. Dengan angka yang mengkhawatirkan, wilayah ini memegang rekor kasus malaria tertinggi di Indonesia. Lantas, apa sebenarnya penyebab kondisi ini dan begini pernyataan serta langkah konkret yang diambil pemerintah dan berbagai pihak untuk mengatasinya? Mari kita selami lebih dalam fakta dan upaya eliminasi malaria di Tanah Papua.
Mengapa Papua Menjadi Episentrum Malaria di Indonesia?
Data terbaru menunjukkan bahwa hampir 90 hingga 95 persen dari total kasus malaria nasional berasal dari Tanah Papua. Ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan kasus malaria terbesar kedua di Asia, setelah India, dengan total 418.546 kasus pada tahun 2023. Angka ini tentu bukan sekadar statistik, melainkan cerminan nyata dari beban kesehatan yang serius.
R. Tedjo Sasmono, Ketua Kelompok Riset Patobiologi Penyakit Emerging dan Tular Vektor BRIN, secara tegas menyebut Papua sebagai episentrum malaria di Indonesia. Beberapa daerah bahkan menjadi titik panas, seperti Kabupaten Mimika, Sarmi, dan Keerom. Di Papua Tengah, misalnya, Mimika mencatat 40.537 kasus malaria hanya dalam lima bulan pertama tahun 2025, menjadikannya daerah dengan kasus tertinggi di provinsi tersebut dan kedua tertinggi secara nasional setelah Keerom.
Kondisi ini tidak lepas dari berbagai faktor yang saling berkaitan:
- Lingkungan dan Geografis: Medan yang menantang dan dominasi hutan menciptakan habitat ideal bagi nyamuk Anopheles, sang penular parasit malaria.
- Sosial-Ekonomi dan Akses Kesehatan: Keterbatasan akses layanan kesehatan di daerah terpencil serta faktor sosial-ekonomi turut memperberat situasi.
- Jenis Parasit: Selain Plasmodium falciparum, yang sering menyebabkan malaria berat, Plasmodium vivax juga sangat dominan. Jenis ini memiliki tantangan unik karena kemampuannya bersembunyi di hati dalam bentuk dorman (hypnozoite), yang bisa aktif kembali dan menyebabkan kekambuhan (relapse) tanpa terdeteksi alat diagnostik biasa.
Tantangan Unik dalam Eliminasi Malaria di Tanah Papua
Upaya eliminasi malaria di Papua tidak semudah membalik telapak tangan. Ada beberapa tantangan spesifik yang membuat penanganan penyakit ini di sana jauh lebih kompleks dibandingkan wilayah lain di Indonesia.
Salah satu tantangannya adalah karakteristik parasit Plasmodium vivax. Peneliti ahli madya PRBM Eijkman BRIN, Rintis Noviyanti, menjelaskan bahwa parasit ini dapat bersembunyi dalam hati sebagai hypnozoite.
“Parasit ini mampu bersembunyi dalam hati berbentuk dorman atau hypnozoite yang tidak terdeteksi alat diagnostik biasa, namun dapat aktif kembali dan menyebabkan relapse. Sekitar 80 persen kasus vivax di dunia adalah relapse, bukan infeksi baru, dan ini beban ganda bagi pasien dan sistem kesehatan,” jelas Rintis Noviyanti.
Kondisi ini membuat pengobatan harus lebih radikal, termasuk penggunaan obat seperti Primaquine dan Tafenoquine, yang membutuhkan kepatuhan minum obat selama 14 hari. Sayangnya, banyak pasien sering tidak menghabiskan obat karena merasa sudah sehat, sehingga parasit kembali aktif dan menulari orang lain.
Selain itu, keberadaan berbagai jenis nyamuk Anopheles yang banyak dan adaptif, serta pembukaan hutan yang menyebabkan jenis malaria knowlesi (yang sebelumnya menjangkiti kera) kini mulai menyerang manusia, menambah daftar panjang rintangan yang harus dihadapi.
Siasat dan Inovasi Pemerintah untuk Eliminasi Malaria
Melihat seriusnya masalah ini, pemerintah melalui berbagai lembaga tidak tinggal diam. Berbagai siasat dan inovasi digencarkan untuk menekan angka kasus malaria di Papua dan mencapai target eliminasi nasional pada 2030.
Kepala Organisasi Riset Kesehatan BRIN, Indi Dharmayanti, menegaskan bahwa riset dan inovasi adalah kunci utama. Investasi berkelanjutan diperlukan, mulai dari pengembangan vaksin, tes diagnostik cepat, pengendalian vektor (seperti spatial repellent dan larval source management), hingga inovasi obat baru. BRIN juga mendorong penguatan surveilans berbasis data digital, GIS, dan machine learning agar intervensi lebih tepat sasaran.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) juga meluncurkan inovasi penting bernama Tempo Kas Tuntas. Singkatan dari “Tanggulangi Eliminasi Malaria melalui Periksa Darah, Obati dan Awasi Kepatuhan Pengobatan Sampai Tuntas”, program ini fokus pada:
- Penemuan kasus secara aktif.
- Pengobatan sesuai standar hingga tuntas.
- Pengawasan konsumsi obat.
- Pemantauan pasca-pengobatan.
- Intervensi vektor di daerah berisiko.
Tidak hanya itu, strategi Minum Obat Massal (MOMAL) juga diujicobakan di beberapa wilayah di Jayapura dan Keerom. Hasilnya sangat menjanjikan, dengan penurunan kasus lebih dari 50 persen. Upaya lain seperti pelatihan entomologi bagi petugas kesehatan di puskesmas juga dilakukan untuk meningkatkan kemampuan identifikasi dan pengendalian vektor nyamuk malaria.
Kolaborasi Multisektor: Kunci Menuju Papua Bebas Malaria 2030
Pemerintah menyadari bahwa eliminasi malaria tidak bisa dilakukan sendiri. Dibutuhkan kerja sama dan sinergi dari berbagai pihak. Plt Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit Kemenkes RI, drg. Murti Utami, MPH, menekankan pentingnya kolaborasi multisektor yang melibatkan peneliti, pemerintah daerah, industri, masyarakat, bahkan TNI-Polri dan mitra internasional.
“Percepatan eliminasi malaria tidak bisa dilakukan satu pihak saja. Kita perlu kerja bersama peneliti, pemerintah, industri, dan masyarakat, dan target 2030 hanya akan tercapai jika ada sinergi nyata lintas sektor,” tegas Elisabeth Farah Novita Coutrier dari PRBM Eijkman BRIN.
Komitmen ini ditunjukkan melalui forum Asia Pacific Leaders Malaria Alliance (APLMA), di mana Indonesia menjadi tuan rumah dan menegaskan kembali target eliminasi malaria nasional 2030. Peran para gubernur dari Tanah Papua serta pemangku kepentingan lintas sektor sangat krusial. Bahkan, Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono turut menjadi Penasihat Khusus Isu Malaria di kawasan Asia Pasifik, menunjukkan dukungan politik yang kuat.
Di tingkat lokal, pelibatan kader kampung sebagai Pendamping Minum Obat (PMO) telah terbukti efektif dalam memastikan pasien menuntaskan pengobatan, terutama untuk malaria vivax yang membutuhkan waktu lebih lama. Gubernur Papua Tengah Meki Fritz Nawipa juga mengajak semua kepala daerah di provinsinya untuk menjadikan penanggulangan malaria sebagai program prioritas dalam perencanaan pembangunan daerah.
Dampak Malaria yang Tak Terduga: Ancaman Stunting pada Anak-anak Papua
Malaria bukan hanya sekadar penyakit demam dan menggigil. Dampaknya bisa jauh lebih serius, terutama bagi ibu hamil dan anak-anak balita. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua, dr. Robby Kayame, menjelaskan bahwa malaria dapat menyebabkan anemia atau kekurangan darah.
Jika ibu hamil terinfeksi malaria berulang kali, risiko mengalami anemia akan meningkat. Kondisi ini pada gilirannya dapat menyebabkan anak terlahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR) dan berujung pada stunting, sebuah kondisi gagal tumbuh kembang pada anak.
“Meskipun ikan banyak, protein banyak, tapi karena ada malaria, malaria penyebab stunting tinggi, makanya kalau malaria turun, otomatis stunting turun,” pungkas dr. Robby Kayame.
Pernyataan ini menggarisbawahi bahwa penanganan malaria tidak hanya berdampak pada kesehatan langsung, tetapi juga pada kualitas sumber daya manusia Papua secara keseluruhan. Menurunnya angka malaria secara signifikan akan berkontribusi pada penurunan angka stunting, menciptakan generasi yang lebih sehat dan cerdas.
Menuju Papua Bebas Malaria 2030
Kasus malaria di Papua memang menjadi pekerjaan rumah besar bagi Indonesia. Namun, dengan pernyataan dan komitmen kuat dari pemerintah, lembaga riset, serta seluruh lapisan masyarakat, harapan untuk mencapai eliminasi malaria di Tanah Papua pada 2030 semakin nyata. Inovasi, kolaborasi, dan edukasi menjadi kunci utama untuk memastikan generasi Papua tumbuh sehat dan produktif, bebas dari ancaman malaria. Ini bukan hanya tentang membasmi nyamuk, tapi tentang membangun masa depan yang lebih baik bagi seluruh masyarakat Indonesia, khususnya di ujung timur negeri.