Yogyakarta, zekriansyah.com – Siapa sangka, dunia sepak bola yang gemerlap dengan transfer pemain bernilai fantastis ternyata menyimpan kisah perjuangan hukum yang tak kalah sengit. Kali ini, sorotan tertuju pada Lassana Diarra, mantan gelandang tangguh yang pernah membela klub-klub raksasa seperti Chelsea dan Real Madrid. Diarra kini secara resmi menuntut FIFA dan Federasi Sepak Bola Belgia dengan nilai fantastis: Rp 1,2 triliun!
Mantan gelandang Chelsea dan Real Madrid, Lassana Diarra, menggugat FIFA dan Federasi Sepak Bola Belgia senilai Rp 1,2 triliun terkait sengketa kontrak dan sanksi FIFA yang telah berlangsung selama satu dekade.
Gugatan ini bukan sekadar sensasi, melainkan babak baru dari pertarungan hukum yang sudah berlangsung lebih dari satu dekade. Bagi Anda yang penasaran mengapa seorang pemain bintang harus menempuh jalur ekstrem ini, dan apa dampaknya bagi masa depan sepak bola, mari kita selami lebih dalam ceritanya. Ini adalah kisah tentang keadilan, hak-hak pemain, dan bagaimana satu kasus bisa mengguncang fondasi organisasi sepak bola terbesar di dunia.
Awal Mula Gugatan: Kasus Kontroversial di Lokomotiv Moskow
Semua bermula pada tahun 2014, ketika Lassana Diarra berselisih dengan klubnya saat itu, Lokomotiv Moskow. Saat itu, ia menolak pengurangan gaji yang ditawarkan klub. Akibatnya, kontrak Diarra diputus secara sepihak oleh Lokomotiv. Namun, yang lebih parah, klub Rusia itu meminta FIFA untuk melarang Diarra bermain di klub lain selama perselisihan belum tuntas.
Tak hanya itu, Diarra juga diwajibkan membayar denda sebesar €10 juta kepada Lokomotiv Moskow dan €110 ribu kepada Pengadilan Arbitrase Olahraga (CAS). Ia bahkan dibekukan selama 15 bulan dan gajinya ditangguhkan. Bayangkan saja, seorang pemain profesional tak bisa bermain dan gajinya ditahan! Hukuman bertubi-tubi ini membuat Diarra kesulitan mencari klub baru. Klub Belgia, Charleroi, yang sempat tertarik merekrutnya, akhirnya membatalkan niat karena aturan FIFA yang mengharuskan Diarra membayar kompensasi terlebih dulu ke Lokomotiv Moskow.
Perjuangan Hukum Berbuah Kemenangan di Eropa
Merasa terus dirugikan, Lassana Diarra tak tinggal diam. Ia memutuskan untuk melawan dan mengajukan tuntutan balik. Sasaran utamanya adalah FIFA sebagai induk organisasi sepak bola dunia, serta Federasi Sepak Bola Belgia. Dasar hukum yang digunakan Diarra cukup kuat: Undang-Undang Ketenagakerjaan Uni Eropa, yang menjamin hak seseorang di negara anggota untuk bekerja tanpa batasan.
Titik balik datang pada Oktober 2024. Pengadilan Eropa (CJEU) mengeluarkan putusan penting yang memenangkan Diarra. Pengadilan menyatakan bahwa aturan FIFA terkait pemutusan kontrak pemain melanggar hukum Uni Eropa. Mengapa? Karena regulasi tersebut dinilai menciptakan risiko finansial dan olahraga yang merugikan banyak pihak, serta menghambat kebebasan mobilitas pekerja. Ini adalah kemenangan besar bagi hak-hak pemain!
Mengapa Diarra Menuntut FIFA Sebesar Itu?
Angka Rp 1,2 triliun (setara €65 juta) yang dituntut Lassana Diarra tentu bukan jumlah main-main. Ini adalah kompensasi atas kerugian finansial dan karier yang ia alami selama bertahun-tahun akibat aturan FIFA yang dianggap tidak adil. Diarra dan tim pengacaranya, Dupont Hissel, memperjuangkan haknya atas kerugian yang diderita sejak 2014.
Lebih dari sekadar uang, Diarra menegaskan bahwa perjuangannya ini memiliki makna lebih dalam.
“Saya melakukan ini untuk diri saya sendiri dan jika saya mampu bertahan melawan FIFA, itu karena saya memiliki karier yang baik,” kata Diarra, yang juga mantan pemain Timnas Prancis. “Tapi saya juga melakukannya untuk semua pemain yang sudah datang dan lebih dulu, yang tidak memiliki sarana keuangan dan psikologis, untuk menantang FIFA di hadapan hakim sesungguhnya.”
Pernyataan ini menunjukkan bahwa gugatan mantan gelandang Chelsea dan Real Madrid ini adalah bentuk solidaritas dan upaya untuk menciptakan keadilan bagi seluruh pesepak bola.
Dampak Luas: Gugatan Class Action dan Masa Depan Aturan Transfer
Putusan Pengadilan Eropa dalam kasus Lassana Diarra ini memicu efek domino yang lebih besar. Meskipun FIFA sempat mengubah aturan transfer pada Desember 2024 sebagai respons atas putusan tersebut, langkah ini dinilai belum cukup.
Kini, serikat pemain dunia, Justice for Players, mengajukan gugatan class action yang jauh lebih masif. Mereka mewakili sekitar 100 ribu pesepak bola yang merasa dirugikan karena aturan transfer FIFA sejak tahun 2002. Analisis independen menunjukkan bahwa aturan lama FIFA tersebut bisa mengurangi potensi pendapatan jangka panjang para pemain hingga 8 persen!
Gugatan ini didampingi oleh Jean-Louis Dupont, pengacara ternama yang juga dikenal sebagai tokoh kunci dalam kasus Bosman ruling pada 1995. Kasus Bosman mengubah cara transfer pemain di Eropa secara radikal, dan banyak pihak berharap kasus Diarra ini akan memiliki dampak serupa. FIFA sendiri menyatakan telah bekerja dengan pemangku kepentingan untuk mengubah peraturannya, namun menolak berkomentar lebih jauh mengenai masalah hukum yang sedang berlangsung.
Kesimpulan
Kisah Lassana Diarra dan gugatannya terhadap FIFA adalah pengingat penting bahwa di balik gemerlapnya dunia sepak bola, ada perjuangan panjang untuk keadilan dan hak-hak individu. Eks gelandang Chelsea dan Real Madrid ini telah menunjukkan keberanian luar biasa dalam menantang sistem yang dianggap merugikan.
Meskipun proses hukum ini diperkirakan akan memakan waktu 12 hingga 15 bulan ke depan untuk mencapai keputusan akhir, gugatan ini sudah menjadi tonggak sejarah. Ini bukan hanya tentang kompensasi Rp 1,2 triliun bagi Diarra, tetapi tentang harapan bagi ribuan pemain lain yang mungkin tidak memiliki suara. Kita tunggu saja, bagaimana babak baru ini akan mengubah lanskap aturan transfer dan keadilan bagi para pemain di masa depan.