Di jantung Asia Tenggara, dua negara tetangga yang memiliki ikatan sejarah dan budaya yang dalam, Thailand dan Kamboja, kembali menghadapi gelombang ketegangan yang mengkhawatirkan. Frasa “ancaman perang tetangga makin panas Thailand Kamboja” bukan lagi sekadar tajuk berita sensasional, melainkan refleksi dari serangkaian insiden dan kebijakan yang secara nyata meningkatkan risiko konflik. Dari penutupan perbatasan hingga embargo perdagangan, serta gejolak politik internal, krisis ini mengancam stabilitas regional dan menimbulkan pertanyaan mendalam tentang masa depan hubungan bilateral kedua negara. Artikel ini akan mengupas tuntas akar permasalahan, perkembangan terbaru, serta implikasi multidimensional dari ketegangan yang terus memanas ini, memberikan pemahaman komprehensif bagi pembaca umum yang ingin menyelami kompleksitas geopolitik di kawasan.
Akar Konflik yang Tak Pernah Padam: Sengketa Perbatasan dan Kuil Preah Vihear
Konflik antara Thailand dan Kamboja bukanlah fenomena baru. Akarnya terhunjam dalam sejarah panjang perebutan wilayah, khususnya di sepanjang perbatasan sepanjang 817 kilometer yang dipetakan secara ambigu oleh Prancis pada era kolonial awal abad ke-20. Namun, episentrum utama yang secara konsisten memicu ketegangan adalah sengketa atas Kuil Preah Vihear, sebuah situs kuno abad ke-11 yang megah.
Pada tahun 1962, Mahkamah Internasional (ICJ) telah memutuskan bahwa kuil tersebut secara hukum adalah milik Kamboja. Keputusan ini diperkuat pada tahun 2013, di mana ICJ menegaskan kembali bahwa wilayah di sekitar kuil juga menjadi bagian dari kedaulatan Kamboja. Namun, Thailand, yang tidak mengakui yurisdiksi ICJ sejak tahun 1960, terus mengklaim kepemilikan atas sebagian kecil wilayah di sekitar kuil tersebut, yang oleh Kamboja disebut sebagai daerah seluas 4,6 kilometer persegi.
Ketegangan memuncak secara signifikan sejak tahun 2008, ketika UNESCO menganugerahkan status Situs Warisan Dunia kepada Kuil Preah Vihear atas nama Kamboja. Keputusan ini memicu kemarahan kaum nasionalis Thailand dan sejak saat itu, konflik bersenjata sporadis sering kali meletus di wilayah perbatasan. Baku tembak yang mematikan telah terjadi berkali-kali, menyebabkan sedikitnya 28 kematian sejak 2008. Peristiwa ini menunjukkan bagaimana warisan sejarah dan identitas nasional dapat menjadi pemicu perselisihan yang berlarut-larut, bahkan mengancam perdamaian.
Eskalasi Terbaru: Rangkaian Kebijakan dan Insiden yang Memicu Ketegangan Juni 2025
Gelombang ketegangan terbaru yang membuat “ancaman perang tetangga makin panas Thailand Kamboja” menjadi sorotan utama terjadi pada bulan Juni 2025. Serangkaian insiden dan kebijakan responsif dari kedua belah pihak telah menciptakan spiral eskalasi yang mengkhawatirkan.
Langkah Kamboja: Pembatasan Ekonomi dan Seruan Internasional
Pemicu langsung eskalasi terbaru adalah insiden baku tembak mematikan pada 28 Mei 2025 di wilayah perbatasan yang dikenal sebagai Segitiga Zamrud, di mana perbatasan Kamboja, Thailand, dan Laos bertemu. Insiden ini mengakibatkan seorang tentara Kamboja tewas. Sebagai respons, Kamboja mengambil langkah-langkah drastis:
- Embargo Ekonomi: Perdana Menteri Kamboja, Hun Manet, memerintahkan penghentian impor bahan bakar, gas, serta buah dan sayuran dari Thailand mulai Senin, 23 Juni 2025. Kebijakan ini merupakan pukulan telak bagi perdagangan bilateral, mengingat Thailand adalah mitra dagang terbesar Kamboja. Hun Manet menjamin pasokan energi bagi warganya akan tetap terpenuhi dengan mengimpor dari negara lain.
- Pembatasan Budaya dan Informasi: Kamboja juga melarang penayangan drama Thailand dan memutus jaringan internet dari negara tetangga tersebut. Langkah ini menunjukkan dimensi konflik yang melampaui batas militer dan ekonomi, menyentuh ranah budaya dan informasi.
- Evakuasi Warga: Sebagai langkah antisipasi, Kamboja telah memindahkan hampir 3.850 warganya dari wilayah perbatasan yang rawan konflik, mengindikasikan keseriusan situasi.
- Seruan Hukum Internasional: Kamboja secara resmi mengajukan pengaduan ke Mahkamah Internasional (ICJ) untuk menyelesaikan sengketa perbatasan di empat titik, termasuk tiga kuil kuno. Meskipun ICJ telah memutuskan pada tahun 2013 bahwa wilayah sengketa milik Kamboja, langkah ini menunjukkan upaya Kamboja untuk mencari resolusi melalui jalur hukum internasional.
- Insiden Provokatif: Ketegangan juga dipicu oleh insiden di Kuil Prasat Ta Krabey di mana sekitar 30 wisatawan Kamboja menyanyikan lagu kebangsaan Kamboja dan menyebarluaskannya di media sosial. Aksi ini dianggap provokatif oleh militer Thailand dan menjadi alasan penutupan salah satu titik penyeberangan.
Respon Thailand: Penutupan Perbatasan dan Krisis Domestik
Thailand tidak tinggal diam menghadapi serangkaian tindakan Kamboja. Respon mereka menunjukkan keseriusan dalam mengelola situasi yang memanas:
- Penutupan Perbatasan Massal: Militer Thailand menutup sebagian besar perlintasan perbatasan dengan Kamboja di enam provinsi (Surin, Buriram, Sri Sa Ket, Sa Kaeo, Chanthaburi, dan Trat) mulai Senin, 23 Juni 2025. Penutupan ini berlaku untuk semua kendaraan dan pejalan kaki, termasuk warga lokal dan wisatawan asing, kecuali pelajar dan pasien medis. Ini merupakan langkah signifikan yang membatasi pergerakan orang dan barang.
- Pembatasan Jam Operasional: Selain penutupan total di beberapa titik, Thailand juga memangkas jam operasional di 10 dari 17 titik penyeberangan resmi yang mereka operasikan. Jam operasional yang semula pukul 06.00-22.00 dipersingkat menjadi 08.00-16.00 waktu setempat, membatasi aktivitas lintas batas secara drastis.
- Protes Diplomatik: Thailand memanggil duta besar Kamboja pada Jumat sebelumnya untuk menyampaikan protes resmi, menunjukkan ketidakpuasan diplomatik atas pernyataan dan tindakan Kamboja.
- Krisis Politik Internal: Ketegangan di perbatasan turut mengguncang stabilitas politik dalam negeri Thailand. Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra, yang baru sekitar 10 bulan menjabat, menghadapi tekanan publik dan parlemen setelah bocornya percakapan telepon pribadinya dengan mantan pemimpin Kamboja, Hun Sen. Dalam percakapan tersebut, Paetongtarn menyapa Hun Sen dengan sebutan “Paman” dan disinyalir meremehkan militer Thailand, bahkan menawarkan “kode diskon diplomasi”. Skandal ini memicu kemarahan publik dan membuat salah satu partai koalisi, Partai Bhumjathai, keluar dari pemerintahan, mengancam stabilitas koalisi Paetongtarn dan memicu spekulasi tentang perombakan kabinet atau bahkan pemilu dini.
Sementara Kamboja ingin membawa sengketa ini ke Mahkamah Internasional, Thailand tetap berkomitmen pada jalur perundingan bilateral melalui Komite Batas Bersama (JBC), yang akan berfokus pada titik-titik sengketa dan insiden penembakan terbaru. Perbedaan pendekatan ini menjadi salah satu penghambat utama penyelesaian konflik.
Dampak Multidimensi: Ekonomi, Politik, dan Kemanusiaan
Ketegangan yang terus meningkat antara Thailand dan Kamboja membawa dampak yang luas dan kompleks, tidak hanya bagi kedua negara tetapi juga bagi stabilitas regional Asia Tenggara.
Pukulan Ekonomi Lintas Batas
Keputusan Kamboja untuk menghentikan impor bahan bakar, gas, buah, dan sayuran dari Thailand, ditambah dengan penutupan perbatasan oleh Thailand, adalah pukulan serius bagi ekonomi kedua negara. Berdasarkan data Bank Dunia tahun 2022, Thailand adalah mitra dagang terbesar Kamboja, dengan nilai impor mencapai 3,8 miliar dollar AS. Pembatasan ini akan sangat memengaruhi pasokan dan harga komoditas di Kamboja, meskipun Hun Manet menjamin pasokan akan dialihkan dari negara lain.
Perusahaan-perusahaan Thailand dengan investasi besar di Kamboja juga akan merasakan dampaknya. Contohnya adalah PTT Oil & Retail Business milik pemerintah Thailand yang memiliki jaringan stasiun pengisian bahan bakar dan kedai kopi “Cafe Amazon” di seluruh Kamboja. Terganggunya rantai pasok dan operasional bisnis akan menyebabkan kerugian signifikan bagi sektor swasta. Di sisi lain, pedagang kecil dan pekerja lintas batas dari kedua negara akan kehilangan mata pencarian, memperburuk kondisi ekonomi masyarakat di wilayah perbatasan.
Gejolak Politik Internal Thailand
Skandal telepon Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra telah menciptakan gejolak signifikan dalam politik domestik Thailand. Hubungan yang terlalu akrab dengan Hun Sen, ditambah nada yang dianggap meremehkan militer, memicu kemarahan publik dan sentimen nasionalis. Mundurnya Partai Bhumjathai dari koalisi telah mengguncang pemerintahan Paetongtarn, menempatkannya di bawah tekanan besar untuk mundur atau menggelar pemilu lebih awal. Perombakan kabinet yang direncanakan akan selesai akhir bulan Juni ini menunjukkan upaya Paetongtarn untuk menstabilkan posisinya, namun kepercayaan publik dan soliditas koalisi masih menjadi tanda tanya besar. Ketidakstabilan politik semacam ini dapat melemahkan kapasitas negara dalam menghadapi krisis eksternal.
Potensi Krisis Kemanusiaan dan Keamanan Regional
Evakuasi warga Kamboja dari wilayah perbatasan adalah indikasi awal potensi krisis kemanusiaan jika konflik terus memburuk. Pembatasan pergerakan orang dan barang juga akan memengaruhi akses terhadap layanan dasar, pendidikan (kecuali pelajar), dan perawatan medis (kecuali pasien medis).
Di tingkat regional, ketegangan antara dua anggota ASEAN ini menjadi perhatian serius. ASEAN memiliki tujuan untuk memelihara perdamaian, keamanan, dan stabilitas di kawasan. Konflik bersenjata yang berkepanjangan antara Thailand dan Kamboja dapat mengikis kepercayaan antarnegara anggota dan mengganggu upaya integrasi regional. Meskipun ASEAN telah mendesak kedua negara untuk menyelesaikan sengketa secara damai melalui mekanisme yang ada, prinsip non-intervensi ASEAN terkadang menjadi tantangan dalam mengambil tindakan yang lebih tegas.
Jalan Menuju Solusi: Diplomasi Bilateral vs. Hukum Internasional
Dalam menghadapi ancaman perang tetangga makin panas Thailand Kamboja, jalan menuju solusi damai menjadi semakin krusial namun penuh tantangan. Perbedaan mendasar dalam pendekatan penyelesaian sengketa menjadi batu sandungan utama.
Kamboja, dengan keputusannya untuk mengajukan pengaduan ke Mahkamah Internasional (ICJ), menunjukkan preferensinya terhadap resolusi melalui jalur hukum internasional. Menteri Luar Negeri Kamboja, Prak Sokhonn, menyatakan bahwa mengingat kompleksitas, sifat historis, dan sensitivitas sengketa, dialog bilateral saja mungkin tidak lagi cukup untuk menghasilkan solusi yang komprehensif dan langgeng. Kamboja berpegang pada keputusan ICJ tahun 1962 dan 2013 yang mengukuhkan kepemilikan mereka atas Kuil Preah Vihear dan wilayah sengketa di sekitarnya.
Sebaliknya, Thailand secara konsisten menolak yurisdiksi ICJ sejak tahun 1960 dan bersikeras pada penyelesaian bilateral melalui Komite Batas Bersama (JBC). Wakil PM sekaligus Menteri Pertahanan Thailand, Phumtham Wechayachai, menegaskan komitmen negaranya terhadap jalur JBC, dengan fokus pada titik-titik perbatasan yang masih menjadi sengketa dan insiden penembakan terbaru. Bagi Thailand, masalah perbatasan adalah urusan kedaulatan yang harus diselesaikan secara langsung antara kedua negara.
Perbedaan fundamental ini menciptakan kebuntuan diplomatik. Meskipun ada kesepakatan awal untuk meredakan ketegangan dan mengembalikan pasukan ke posisi sesuai kesepakatan 2024, penolakan Kamboja untuk menarik pasukannya seperti yang diminta Thailand menunjukkan bahwa kepercayaan masih rapuh.
Dalam konteks ini, peran ASEAN sebagai organisasi regional sangat penting. ASEAN telah berulang kali mendorong dialog damai dan menawarkan mediasi. Namun, prinsip non-intervensi dalam urusan internal negara anggota seringkali membatasi efektivitas ASEAN dalam memaksa penyelesaian. Meskipun demikian, tekanan diplomatik dan fasilitasi pertemuan bilateral maupun multilateral oleh anggota ASEAN lainnya tetap menjadi harapan untuk meredakan ketegangan. Dialog yang berkelanjutan, dengan komitmen kuat dari kedua belah pihak untuk mencari solusi yang saling menguntungkan dan menghormati hukum internasional, adalah satu-satunya jalan untuk mencegah eskalasi lebih lanjut dan memastikan perdamaian abadi di perbatasan.
Kesimpulan: Menatap Masa Depan di Tengah Ketidakpastian
Ancaman perang tetangga makin panas Thailand Kamboja adalah cerminan dari kompleksitas hubungan geopolitik yang berakar dalam sejarah, identitas, dan kedaulatan. Sengketa perbatasan yang belum tuntas, khususnya di sekitar Kuil Preah Vihear, terus menjadi bara dalam sekam yang siap menyala kapan saja. Eskalasi terbaru pada Juni 2025, yang ditandai dengan penutupan perbatasan, embargo ekonomi, hingga gejolak politik internal Thailand, menunjukkan betapa rapuhnya perdamaian di kawasan ini.
Dampak dari ketegangan ini meluas, memukul sektor ekonomi, menciptakan ketidakstabilan politik domestik di Thailand, dan berpotensi memicu krisis kemanusiaan. Di tengah perbedaan pendekatan penyelesaian—Kamboja memilih jalur hukum internasional melalui ICJ, sementara Thailand berpegang pada dialog bilateral—pentingnya peran diplomasi dan mediasi regional tidak bisa diabaikan.
Meskipun saat ini situasi belum sepenuhnya mengarah pada konflik berskala penuh, setiap insiden dan kebijakan responsif memperkeruh suasana dan meningkatkan risiko. Masa depan hubungan Thailand dan Kamboja akan sangat bergantung pada kemauan politik para pemimpinnya untuk mengesampingkan perbedaan dan memprioritaskan dialog konstruktif. Stabilitas Asia Tenggara, dan kesejahteraan jutaan warganya, sangat bergantung pada kemampuan kedua negara untuk menemukan solusi damai dan langgeng bagi sengketa yang telah berlangsung selama berabad-abad ini. Hanya dengan pendekatan yang bijaksana dan saling pengertian, ancaman perang tetangga yang makin panas Thailand Kamboja dapat diredakan, membuka jalan bagi era koeksistensi yang lebih harmonis.
Bagaimana menurut Anda, langkah apa yang paling efektif untuk meredakan ketegangan ini? Bagikan pandangan Anda di kolom komentar!