Ketegangan geopolitik di Timur Tengah kembali mencuat ke permukaan, memicu kekhawatiran global, terutama terkait keselamatan warga negara asing yang berada di wilayah konflik. Di tengah eskalasi antara Iran dan Israel, kisah evakuasi Warga Negara Indonesia (WNI) menjadi sorotan utama. Salah satu narasi paling personal dan menggugah datang dari Ali Murtado, seorang mahasiswa Indonesia yang berhasil dievakuasi dari Teheran, mengungkap kondisi mencekam yang dialaminya sebelum akhirnya kembali ke Tanah Air. Artikel ini akan mengupas tuntas pengalaman Ali, proses evakuasi yang kompleks, serta peran pemerintah Indonesia dalam melindungi warganya di tengah pusaran konflik.
Latar Belakang Konflik yang Memanas: Mengapa Teheran Mencekam?
Konflik yang telah lama membara antara Iran dan Israel mengalami peningkatan eskalasi yang signifikan pada pertengahan Juni 2025. Israel melancarkan serangan udara ke Iran, menyasar fasilitas militer, nuklir, bahkan area berpenduduk, dengan klaim “keselamatan” di balik tuduhan pengembangan nuklir Iran. Tidak tinggal diam, Iran membalas dengan gempuran drone dan rudal balistik, termasuk serangan ke pangkalan militer Amerika Serikat di Qatar. Amerika Serikat sendiri, sebagai sekutu utama Israel, turut menyerang fasilitas nuklir Iran.
Situasi yang semakin memanas ini menciptakan kondisi yang sangat tidak stabil di kawasan. Wilayah udara Iran ditutup, menyulitkan mobilitas dan komunikasi. Bagi warga sipil, termasuk WNI yang berada di sana, eskalasi ini berarti ancaman nyata dan ketidakpastian yang mendalam. Ibu kota Teheran, khususnya, menjadi titik fokus ketegangan, sering kali menjadi sasaran serangan dan memicu kepanikan di antara penduduknya.
Kesaksian Langsung dari Jantung Ketegangan: Pengalaman Ali Murtado di Teheran
Ali Murtado (20), seorang mahasiswa asal Gresik, Jawa Timur, yang menempuh pendidikan di Al-Mustafa International University, Iran, menjadi saksi mata langsung dari kondisi mencekam ini. Selama ini, Ali tinggal di Kota Qom, sebuah kota yang relatif aman dan jauh dari bombardir Israel. Namun, situasi berubah drastis ketika ia harus menuju Teheran untuk proses evakuasi.
Informasi mengenai evakuasi pertama kali diterima Ali melalui grup WhatsApp yang beranggotakan sesama WNI di Iran. “Kita di Iran ada grup WNI ya, yang mana sebelum penyerangan Iran dan Israel itu, sebelum memanasnya, ada berita-berita di grup WNI bahwa WNI di Iran akan dievakuasi,” tutur Ali. Tanpa menunda, ia segera berangkat dari Qom menuju Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Teheran, yang menjadi pusat koordinasi evakuasi.
Malam yang dihabiskan Ali di gedung KBRI Teheran menjadi pengalaman yang tak terlupakan. “Saya menginap di sana semalam, dan kondisi di sana cukup mencekam karena ada serangan dari Israel di beberapa saat, dan berhenti beberapa saat, dan kadang-kadang lanjut,” kenangnya. Suara-suara ledakan silih berganti menghiasi malam, menciptakan suasana yang mengerikan. Meskipun demikian, berkat kesigapan sistem pertahanan udara Iran, serangan-serangan itu berhasil ditepis oleh drone dan rudal tidak ada yang mampu menghantam tanah Teheran, termasuk area sekitar KBRI. “Tidak ada yang masuk, memukul tanah, masuk ke dalam tanah karena serangan berhasil ditepis oleh sistem pertahanan udara Iran,” jelas Ali, mengungkapkan rasa syukurnya.
Kondisi ini sangat kontras dengan ketenangan di Qom. Ali melihat sendiri bagaimana banyak warga asli Teheran memilih untuk meninggalkan wilayah tersebut, mungkin karena ketakutan akan serangan yang terjadi hampir setiap malam. Pengalamannya menjadi cerminan nyata dari dampak psikologis konflik terhadap penduduk sipil, yang terpaksa hidup dalam bayang-bayang ancaman dan ketidakpastian.
Jalur Evakuasi Dramatis: Sebuah Perjalanan Penuh Tantangan
Proses evakuasi Ali dan WNI lainnya bukanlah perkara mudah. Setelah menginap semalam di KBRI Teheran, perjalanan panjang dan melelahkan pun dimulai. Rombongan WNI diberangkatkan pada pukul 7 pagi menuju perbatasan Iran-Azerbaijan menggunakan transportasi darat. Perjalanan darat ini memakan waktu lebih dari 16 jam, sebuah indikasi betapa sulitnya keluar dari zona konflik.
Di perbatasan, Ali dan rombongan harus bersabar menunggu cukup lama, karena banyak warga asing dari berbagai negara juga berjuang untuk menyeberang. Namun, proses perlintasan batas tersebut berjalan lancar tanpa hambatan berarti, bahkan tidak ada gangguan dari pihak militer. “Enggak, enggak ada pihak militer. Enggak ada gangguan di sana, alhamdulillah berjalan dengan lancar,” tegas Ali.
Dari perbatasan, mereka melanjutkan perjalanan ke Baku, ibu kota Azerbaijan, tempat mereka menginap selama sekitar dua hari. Momen ini dimanfaatkan untuk memulihkan diri sebelum melanjutkan penerbangan. Dari Baku, rombongan diterbangkan ke Istanbul, Turki, dan akhirnya menaiki pesawat kepresidenan RI atau maskapai komersial (Turkish Airlines) menuju Jakarta. Ali tiba di Bandara Soekarno-Hatta pada Selasa (24/6/2025) sore, sekitar pukul 17.35 WIB, dalam keadaan sehat meski melalui perjalanan yang panjang dan melelahkan.
Salah satu tantangan terbesar selama proses evakuasi ini adalah terputusnya akses komunikasi. Pemerintah Iran sempat memutus akses internet sebagai langkah pengamanan selama konflik berlangsung. Kondisi ini membuat Ali kesulitan menghubungi keluarganya di Indonesia. “Sulit, enggak bisa. Saya bisa informasi dengan keluarga itu mendapat informasi setelah berada di Azerbaijan,” ungkapnya. Baru setelah tiba di Baku, ia akhirnya bisa mengabari keluarga bahwa dirinya selamat, disambut dengan respons positif dan kelegaan yang luar biasa.
Negara Hadir: Peran Pemerintah Indonesia dalam Misi Evakuasi
Misi evakuasi WNI dari Iran ini merupakan bukti nyata kehadiran negara dalam melindungi warganya di tengah krisis global. Direktur Jenderal Protokol dan Konsuler Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI, Andy Rachmianto, serta Direktur Perlindungan WNI Judha Nugraha, menyambut langsung kedatangan Ali dan rombongan di Bandara Soekarno-Hatta.
Judha Nugraha menjelaskan bahwa proses evakuasi ini merupakan arahan langsung dari Presiden RI, Prabowo Subianto, dan telah disiapkan sejak awal konflik pecah. Pemerintah Indonesia telah meningkatkan status Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Teheran dari Siaga II menjadi Siaga I pada 19 Juni 2025, sebagai respons terhadap peningkatan intensitas serangan Israel yang menargetkan tidak hanya fasilitas militer tetapi juga sipil.
Dari total 386 WNI yang tercatat berada di Iran (mayoritas pelajar di Qom dan Teheran), sebanyak 97 WNI dan satu warga negara asing (pasangan WNI) berhasil dievakuasi pada gelombang pertama. Sebanyak 11 WNI tiba lebih dahulu di Jakarta pada Selasa (24/6), sementara sisanya masih dalam proses pemulangan bertahap. Judha mengungkapkan bahwa 18 WNI lainnya sempat mengalami hambatan penerbangan akibat penutupan sementara wilayah udara Qatar, yang menyebabkan pesawat dialihkan ke Jeddah, Arab Saudi, sebelum akhirnya diterbangkan ke Doha dan dijadwalkan segera ke Jakarta. Sekitar 68 WNI lainnya saat ini masih berada di Baku dan tengah menunggu jadwal penerbangan ke Indonesia. KBRI di Teheran dan Baku terus bekerja keras untuk mempercepat proses kepulangan mereka.
Pemerintah Indonesia juga terus memantau kondisi geopolitik di kawasan Teluk, menyusul eskalasi militer yang melibatkan Iran, Israel, dan Amerika Serikat. Kemlu telah membentuk tim lintas kementerian yang siaga 24 jam untuk memastikan perlindungan WNI di luar negeri. Bahkan, Kedutaan Besar Iran di Jakarta menyatakan kesiapan mereka untuk memberikan bantuan dan pelayanan guna mempermudah proses evakuasi bagi WNI, menjamin dukungan dan perlindungan.
Bukan Hanya Ali: Kisah-kisah Lain di Balik Evakuasi WNI dari Iran
Kisah Ali Murtado hanyalah salah satu dari banyak pengalaman WNI yang terdampak konflik ini. Sultan Fathoni, WNI asal Samarinda, Kalimantan Timur, yang telah menetap hampir empat tahun di Kota Mashhad, Iran, juga merasakan langsung dampak perang. Meskipun rumahnya hanya berjarak 10 menit dari Bandara Mashhad yang diserang drone, ia bersyukur tidak ada ledakan bom di wilayahnya. Namun, ia menyaksikan beberapa kali drone melintas dan menghadapi lumpuhnya beberapa fasilitas, termasuk internet yang dinasionalisasi oleh pemerintah Iran, sehingga situs-situs luar tidak bisa dibuka. Sultan Fathoni juga ikut dalam evakuasi gelombang pertama.
Di Teheran, ada pula Fatimah (nama samaran), seorang WNI yang mengaku “ngeri bercampur khawatir” ketika serangan terjadi. Ia kesulitan berkomunikasi dengan teman dan kerabat karena sinyal dan internet yang tidak stabil. Fatimah mendengar ledakan hampir setiap malam dan melihat pasukan keamanan berjaga. Ia juga menyaksikan kemacetan parah di jalanan utama keluar kota, menyulitkan upaya mengungsi, dan menekankan bahwa WNI serta rakyat Iran adalah orang tak berdosa yang seharusnya tidak menjadi korban.
Kementerian Luar Negeri juga mencatat adanya WNI di Israel. Sebanyak 194 WNI tercatat di Israel, dengan mayoritas (157 pelajar) yang sedang magang di wilayah Arava, selatan Israel. Selain itu, 42 WNI peziarah sempat terjebak di Tel Aviv setelah Bandara Ben Gurion ditutup, namun berhasil dievakuasi ke Yordania melalui upaya KBRI Amman. Ini menunjukkan cakupan luas dari upaya perlindungan WNI yang dilakukan pemerintah Indonesia di seluruh kawasan.
Harapan di Tengah Ketidakpastian: Menanti Gelombang Evakuasi Lanjutan
Meskipun telah tiba dengan selamat di Indonesia, Ali masih menyimpan kekhawatiran mendalam terhadap rekan-rekan senegaranya yang belum dievakuasi. Menurut data, masih ada lebih dari 100 WNI yang berada di Kota Qom dan belum ikut serta dalam gelombang pertama evakuasi. “Rencana ada evakuasi gelombang kedua. Dan mungkin mereka akan mendaftar dan kembali ke tanah air,” ungkap Ali, menaruh harapan besar bagi sesama WNI.
Pemerintah Indonesia terus mengimbau WNI yang masih berada di negara-negara terdampak untuk tetap tenang, mengikuti arahan KBRI, dan segera mendaftarkan diri jika membutuhkan evakuasi. Komitmen negara untuk hadir dan tidak tinggal diam dalam melindungi warganya di tengah krisis global menjadi prioritas utama. Sementara itu, upaya diplomatik juga terus digencarkan, dengan harapan agar ketegangan konflik dapat dibawa ke meja perundingan dan perdamaian abadi dapat tercapai, sehingga tidak ada lagi warga tak berdosa yang menjadi korban.
Kisah Ali Murtado adalah pengingat yang kuat akan realitas pahit konflik bersenjata dan pentingnya solidaritas kemanusiaan. Ia bukan hanya seorang mahasiswa yang dievakuasi, tetapi juga representasi dari ratusan WNI lainnya yang menghadapi ketidakpastian di tengah gejolak global. Dengan dukungan pemerintah dan doa dari tanah air, diharapkan semua WNI yang masih berada di Iran dan wilayah konflik lainnya dapat segera kembali dengan selamat ke pangkuan keluarga.