Dunia menahan napas. Serangan gabungan Amerika Serikat dan Israel terhadap fasilitas nuklir utama Iran pada pertengahan Juni 2025 telah membuka gerbang terbuka skenario pembalasan dendam Iran diserang, memicu kekhawatiran serius akan eskalasi konflik yang tak terkendali di Timur Tengah. Operasi militer yang disebut AS sebagai “Operasi Godam Tengah Malam” ini, yang menargetkan situs-situs krusial seperti Fordow, Natanz, dan Isfahan, bukan sekadar respons, melainkan sebuah deklarasi yang mengubah dinamika geopolitik secara drastis. Artikel ini akan mengupas tuntas berbagai kemungkinan respons dari Teheran, menganalisis dampaknya terhadap stabilitas regional dan global, serta menelaah upaya-upaya diplomatis di tengah ketegangan yang memuncak.
Titik Balik Agresi: Serangan AS-Israel dan Dampaknya
Pada Minggu dini hari, 22 Juni 2025, dunia dikejutkan oleh ledakan 75 rudal, roket, dan bom AS yang menghantam jantung program nuklir Iran. Presiden AS Donald Trump menyatakan serangan ini telah “melenyapkan secara total dan menyeluruh” kemampuan pengayaan uranium Iran, menggambarkan langkah tersebut sebagai “tindakan tegas untuk perdamaian melalui kekuatan.” Namun, bagi Iran, ini adalah “pelanggaran aneh terhadap hukum internasional” dan sebuah agresi yang tak bisa diabaikan. Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi menegaskan bahwa negaranya akan mempertimbangkan semua kemungkinan respons, dan pintu negosiasi tidak lagi terbuka dalam situasi seperti ini.
Serangan ini menandai intervensi militer Barat terbesar terhadap Republik Islam Iran sejak revolusi 1979, sekaligus mengakhiri fase “paksaan tanpa komitmen” yang selama ini menjadi ciri strategi AS dan Israel terhadap Iran. Dengan pasar AS yang tutup saat serangan dilancarkan, Washington tampak berupaya memitigasi guncangan langsung pada Wall Street, sebuah “teater strategi khas era Trump” yang menunjukkan dominasi sambil menciptakan ketidakpastian. Namun, di balik perhitungan cermat ini, implikasi nyata bagi kawasan tak terhindarkan. Amerika Serikat bahkan telah mengeluarkan peringatan serius kepada warganya di luar negeri, mengindikasikan peningkatan risiko keamanan dan potensi demonstrasi, sebuah cerminan kecemasan akan dampak lanjutan.
Dilema Teheran: Pilihan Sulit di Tengah Tekanan
Pasca-serangan, Teheran berada di persimpangan jalan yang penuh ketegangan. Presiden Iran Masoud Pezeshkian dengan tegas menyatakan bahwa AS “harus menerima tanggapan atas agresi mereka,” sementara Wakil Tetap Iran di PBB, Amir Saeid Iravani, menegaskan bahwa jalur diplomasi telah dihancurkan oleh Operasi Godam Tengah Malam. Militer Iran kini dihadapkan pada keputusan krusial: menahan diri dan melanjutkan kemajuan nuklir mereka, atau membalas dengan risiko spiral konflik yang tak terbayangkan.
Sejarah menunjukkan bahwa strategi Iran tidak pernah bertumpu pada balas dendam impulsif. Buku pedoman mereka dibangun di atas ambiguitas, asimetri, dan kesabaran. Namun, tekanan domestik dan regional untuk merespons dengan tegas demi mempertahankan kredibilitas rezim sangat besar. Pertanyaannya adalah, apakah para pemimpin Iran bersedia mempertaruhkan kelangsungan hidup nasional demi pembalasan? Para analis keamanan, seperti Michael A. Horowitz dan Sushant Sareen, telah mengidentifikasi beberapa skenario pembalasan yang mungkin dilakukan Iran, yang semuanya berpotensi memantik lingkaran kekerasan baru di Timur Tengah.
Skenario Pembalasan Iran: Membuka Kotak Pandora
Para ahli geopolitik dan keamanan telah mengidentifikasi setidaknya tiga hingga lima skenario utama yang mungkin ditempuh Iran sebagai balasan atas serangan AS-Israel. Masing-masing opsi membawa risiko dan konsekuensi yang berbeda, baik bagi Iran maupun bagi stabilitas global.
1. Serangan Langsung terhadap Aset AS dan Israel
Salah satu skenario yang paling dikhawatirkan adalah pembalasan langsung terhadap pangkalan militer AS yang tersebar di seluruh Timur Tengah, termasuk di Kuwait, Uni Emirat Arab, Qatar, Suriah, Bahrain, dan Irak. Iran memiliki persenjataan rudal balistik yang cukup besar, termasuk rudal Sejjil ultra-berat, dan kemampuan pesawat nirawak yang dapat menargetkan fasilitas-fasilitas ini. Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) bahkan telah mengumumkan penembakan rudal Sejjil ke Israel, menyebutnya sebagai “pembukaan gerbang neraka” bagi rezim Zionis, mengklaim rudal tersebut menembus pertahanan udara Israel dengan mudah.
Iran juga memiliki “daftar target berisi 20 pangkalan AS di Timur Tengah.” Meskipun serangan langsung berisiko menimbulkan eskalasi besar, Iran memiliki preseden untuk melakukan serangan terukur yang dirancang untuk menghindari korban jiwa di pihak Amerika, seperti yang terjadi pasca-pembunuhan Qassem Soleimani pada 2020. Namun, kali ini, dengan Teheran merasa kedaulatannya diinjak-injak, intensitas respons bisa jadi lebih parah. Sasaran pembalasan tak hanya AS, tetapi juga negara-negara yang digunakan AS sebagai pangkalan untuk melancarkan serangan.
2. Penutupan Selat Hormuz
Selat Hormuz adalah jalur vital bagi perdagangan minyak dunia, tempat hampir seperlima minyak global lewat setiap harinya. Penutupan selat ini akan memiliki dampak ekonomi global yang sangat besar, memengaruhi semua negara. Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio telah menegaskan bahwa langkah seperti itu akan menjadi eskalasi besar-besaran yang membutuhkan respons tegas dari AS dan negara-negara lain.
Iran telah lama menyimpan opsi ini sebagai katup tekanan utama. Penutupan total memang akan mengundang pembalasan internasional, namun kampanye gangguan maritim yang bertahap dan ambigu—misalnya melalui penebaran ranjau atau serangan terhadap kapal-kapal—sepenuhnya berada dalam jangkauan strategi Iran. Ini adalah permainan bayangan yang akan mendahului setiap pembicaraan tentang penutupan total, atau akan terjadi jika keamanan nasional Iran benar-benar dipertaruhkan.
3. Serangan Terkoordinasi Melalui Proksi
Iran secara tradisional membalas melalui kelompok proksi, yang memungkinkan penyangkalan yang masuk akal dan fleksibilitas taktis. Opsi ini diperkirakan akan menjadi serangan langsung terkoordinasi dari Iran dan negara-negara lain tempat Iran memiliki pasukan sekutu, seperti Yaman (Houthi), Suriah, dan Irak (milisi seperti Kataib Hizbullah).
Hezbollah di Lebanon, meskipun diklaim dilemahkan oleh kampanye udara Israel, masih memiliki kekuatan militer yang luar biasa, dengan perkiraan lebih dari 150.000 roket dan rudal. Pemimpin Hezbollah, Sayyed Hassan Nasrallah, telah mengancam Israel untuk membalas kematian petinggi seniornya, Fuad Shukr, dan menyatakan perang telah memasuki “fase baru.” Houthi di Yaman juga telah menunjukkan kemampuan menyerang jauh ke Tel Aviv dengan pesawat nirawak berjangkauan 2.000 kilometer. Serangan terkoordinasi ini dapat meluas dan menyasar target-target terkait Israel dan sekutunya AS di luar negeri, menciptakan efek maksimal di berbagai lini.
4. Operasi Siber dan Rahasia
Kemampuan siber Iran yang signifikan menyediakan metode pembalasan yang relatif berisiko rendah namun berdampak tinggi. Serangan siber sebelumnya telah menargetkan infrastruktur minyak Saudi, bank-bank AS, dan sistem air Israel. Perang siber memungkinkan Iran untuk melewati pertahanan tradisional, dan tindakan rahasia seperti sabotase atau pembunuhan terhadap target lunak AS atau Israel tetap menjadi pilihan. Meskipun ada risiko atribusi, Iran telah menjadi mahir dalam menimbulkan kerusakan melalui cara-cara digital yang dapat disangkal, sehingga menghindari perang skala penuh secara konvensional.
5. Eskalasi Nuklir dan Penarikan Diri dari NPT
Serangan terhadap fasilitas nuklir Iran memiliki dampak simbolis yang sangat besar. Iran dapat menanggapi dengan meninggalkan Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT), melanjutkan pengayaan uranium penuh, atau secara terbuka mengejar senjata nuklir. Beberapa anggota parlemen Iran telah mengusulkan penarikan diri dari NPT, mengutip Pasal 10 perjanjian yang mengizinkan penarikan diri jika ada kejadian luar biasa yang mengancam kepentingan nasional.
Meskipun Iran mengklaim sebagian besar material nuklirnya telah dipindahkan sebelum serangan, langkah ini akan menandai eskalasi signifikan, karena hanya Korea Utara yang sebelumnya keluar dari NPT. Apakah ini merupakan langkah nyata menuju bom atau gertakan politik masih belum pasti, tetapi setiap ambisi nuklir yang dirasakan dapat memicu tindakan militer Israel atau Amerika lebih lanjut dan memperdalam isolasi diplomatik Iran.
6. Balas Dendam yang Diperhitungkan (Delayed Response)
Skenario lain yang mungkin adalah Iran memilih untuk tidak melakukan apa pun secara instan, namun membalasnya nanti pada waktu yang dipilihnya sendiri. Ini berarti menunggu hingga ketegangan saat ini mereda dan meluncurkan serangan mendadak saat pangkalan AS tidak lagi dalam keadaan siaga maksimum. Pilihan ini akan menyelamatkan Iran dari serangan AS lebih lanjut dan mungkin membuka jalur diplomatik kembali, tetapi juga berisiko membuat pemerintah Iran tampak lemah di mata domestik dan regional setelah ancaman pembalasan yang mengerikan.
Dampak dan Kekhawatiran Global
Lingkaran kekerasan baru yang dipicu oleh serangan ini telah menimbulkan kekhawatiran serius di seluruh dunia. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres dan Direktur Jenderal Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) Rafael Grossi telah berulang kali mengecam eskalasi militer di Timur Tengah. Guterres menyatakan, “Kita sekarang berisiko terjerumus ke dalam lubang pembalasan demi pembalasan,” sementara Grossi memperingatkan bahwa jika kesempatan diplomasi tertutup, “kekerasan dan kehancuran bisa sampai pada tingkat yang tidak terpikirkan dan rezim nonproliferasi global bisa runtuh.” Ia juga mengingatkan bahwa serangan bersenjata terhadap fasilitas nuklir tidak boleh terjadi karena bisa mengakibatkan pelepasan radioaktif dengan konsekuensi serius.
Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar. Negara-negara Teluk yang menampung pangkalan militer AS, seperti Arab Saudi, sudah siaga satu, mempersiapkan diri menghadapi skenario terburuk dari serangan balas dendam Iran. Amerika Serikat sendiri telah memerintahkan keberangkatan staf yang tidak penting dari Kedutaan Besar AS di Lebanon dan meningkatkan status risiko perjalanan ke Timur Tengah bagi warganya. Maskapai penerbangan telah membatalkan penerbangan ke Tel Aviv dan Beirut, dan beberapa negara Barat telah memperingatkan warganya untuk menjauhi kawasan tersebut.
Upaya diplomasi pun dilancarkan. Rusia, China, dan Pakistan telah mengedarkan rancangan resolusi di Dewan Keamanan PBB yang mengecam serangan terhadap fasilitas nuklir dan menyerukan “gencatan senjata segera” di Iran. Rusia, yang memiliki hubungan erat dengan Iran, bahkan telah meminta Teheran untuk menahan diri. Namun, Dewan Keamanan PBB terpecah, dengan Perancis dan Inggris yang justru meminta Iran untuk menahan diri. Di Washington, Presiden AS Joe Biden terus berusaha mendorong gencatan senjata di Gaza sebagai upaya meredam eskalasi konflik yang lebih luas, menyadari bahwa konflik di Timur Tengah telah mencapai titik didih.
Menuju Masa Depan yang Tak Pasti
Situasi saat ini mencerminkan dilema yang dihadapi oleh semua pihak: eskalasi berulang tanpa jalan keluar strategis yang jelas. Seperti yang disoroti oleh beberapa analis, serangan AS terhadap Iran dapat menyerupai “cermin Netanyahu” di Gaza, di mana siklus provokasi dan pembalasan hanya meninggalkan puing-puing dan retorika. Tanpa strategi keluar yang kredibel atau jalur diplomatik yang realistis, Washington berisiko mengulangi frustrasi yang sudah biasa: menerapkan tekanan luar biasa tanpa mencapai hasil yang menentukan.
Di sisi lain, Iran telah menunjukkan kesiapan strategis. Seorang pejabat senior mengonfirmasi bahwa sebagian besar uranium yang sudah sangat diperkaya di Fordow telah dipindahkan sebelum serangan, menunjukkan bahwa Teheran telah mengantisipasi agresi semacam ini. Doktrin militer Iran menekankan pencegahan melalui kemampuan asimetris, termasuk pasukan rudal, strategi anti-akses angkatan laut, dan perang proksi, yang mengimbangi keterbatasan militer konvensionalnya. Rezim tersebut memandang AS sebagai ancaman eksistensial dan siap untuk menanggapi dengan tegas provokasi yang dirasakan untuk memastikan kelangsungan hidupnya.
Kesimpulan: Di Ambang Ketidakpastian Global
Serangan AS-Israel terhadap fasilitas nuklir Iran telah secara definitif membuka gerbang terbuka skenario pembalasan dendam Iran diserang, membawa Timur Tengah ke ambang konflik regional yang lebih luas dan tak terduga. Pilihan-pilihan yang dihadapi Teheran—mulai dari serangan langsung, penutupan Selat Hormuz, pemanfaatan proksi, hingga eskalasi nuklir—semuanya memiliki konsekuensi yang mendalam dan berpotensi mengubah tatanan keamanan global.
Kekhawatiran komunitas internasional sangat beralasan. Lingkaran kekerasan tanpa henti dapat meruntuhkan rezim nonproliferasi global, memicu krisis kemanusiaan yang lebih parah, dan menciptakan ketidakstabilan ekonomi yang meluas. Meskipun upaya diplomasi terus digulirkan, jalan menuju de-eskalasi tampak samar di tengah retorika keras dan aksi militer yang tak terhindarkan.
Masa depan Timur Tengah kini sangat bergantung pada keputusan Iran dan respons dari aktor-aktor global. Apakah akal sehat akan menang, ataukah kita akan menyaksikan terbukanya “gerbang neraka” yang tak bisa ditutup lagi? Hanya waktu yang akan menjawab, namun satu hal yang pasti: dunia harus tetap waspada dan mendesak semua pihak untuk menahan diri demi mencegah bencana yang lebih besar.
Bagaimana menurut Anda, skenario mana yang paling mungkin terjadi? Bagikan pemikiran Anda di kolom komentar di bawah.