Pengumuman mengejutkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengenai gencatan senjata total antara Israel dan Iran pada Selasa (24/6/2025) telah mengirimkan gelombang kejut ke seluruh dunia. Klaim ini, yang datang setelah 12 hari konflik sengit yang memuncak dengan serangan rudal dan pengeboman fasilitas nuklir, memicu harapan sekaligus kebingungan. Di tengah ketidakpastian yang masih menyelimuti kondisi di lapangan, sorotan tajam tertuju pada respons China, yang dengan lugas menyerukan jalur resolusi politik dan dialog. Mengapa posisi Beijing begitu signifikan dalam pusaran konflik Timur Tengah yang rumit ini? Artikel ini akan mengupas tuntas dinamika di balik pengumuman gencatan senjata, realitas di lapangan, serta implikasi respons China dan dampaknya terhadap stabilitas geopolitik global.
Klaim Gencatan Senjata oleh Donald Trump: Sebuah Pengumuman Mengejutkan
Pada Senin (23/06) malam waktu AS, Presiden Donald Trump melalui platform Truth Social miliknya mengumumkan bahwa Israel dan Iran telah sepakat untuk gencatan senjata penuh dan total. Pengumuman ini disampaikan setelah 12 hari “Perang 12 Hari” yang telah menewaskan para pemimpin militer dan ilmuwan Iran, melibatkan serangan udara AS terhadap situs nuklir Iran, dan rentetan serangan rudal Iran ke Qatar serta Israel. Trump menyatakan bahwa kesepakatan ini akan berlaku secara bertahap, dimulai enam jam setelah pengumuman dengan Iran yang menginisiasi gencatan senjata, diikuti Israel pada jam ke-12, dan pada jam ke-24, “akhir resmi perang 12 hari akan disambut oleh dunia.”
Presiden Trump mengklaim bahwa ia berhasil menengahi kesepakatan ini melalui percakapan telepon langsung dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada hari Senin. Selain itu, Gedung Putih juga menyatakan bahwa Wakil Presiden JD Vance, Menteri Luar Negeri Marco Rubio, dan utusan khusus Steve Witkoff terlibat dalam komunikasi langsung maupun tidak langsung dengan Iran mengenai proposal gencatan senjata ini. Israel, menurut pejabat senior Gedung Putih, menyetujui gencatan senjata dengan syarat Iran tidak melancarkan serangan lebih lanjut, dan Iran disebut telah memberi sinyal positif untuk mematuhi syarat tersebut. Trump bahkan berterima kasih kepada Emir Qatar, Tamim bin Hamad bin Khalifa Al Thani, atas bantuannya dalam memediasi perjanjian gencatan senjata ini, menegaskan bahwa AS berhasil membuat Israel setuju dan meminta bantuan untuk membujuk Iran melakukan hal serupa. Dalam optimismenya, Trump mengucapkan selamat kepada Israel dan Iran atas “ketahanan, keberanian, dan kecerdasan mereka untuk mengakhiri apa yang seharusnya disebut sebagai ‘PERANG 12 HARI’,” sebuah konflik yang menurutnya bisa berlangsung bertahun-tahun dan menghancurkan seluruh Timur Tengah.
Realitas di Lapangan: Antara Klaim dan Serangan yang Terus Berlanjut
Meskipun Trump mengumumkan gencatan senjata total, kondisi di lapangan justru menunjukkan narasi yang jauh lebih kompleks dan membingungkan. Beberapa saat setelah pengumuman tersebut, saling serang masih terus terjadi, menimbulkan keraguan besar atas efektivitas kesepakatan yang diklaim. Media Iran melaporkan bahwa militer mereka menembakkan gelombang rudal kelima ke Israel setelah Israel menyerang Teheran pada Selasa pagi. Sirene peringatan serangan udara dilaporkan berbunyi di Israel utara dan Dataran Tinggi Golan, dengan tentara Israel (IDF) berupaya mencegat rentetan rudal terbaru. Tragisnya, layanan darurat Israel mengonfirmasi bahwa tiga orang tewas dalam serangan rudal Iran di Beersheba, Israel selatan, persis beberapa saat sebelum gencatan senjata yang diumumkan Trump seharusnya dimulai.
Kementerian Luar Negeri Iran, Seyed Abbas Araghchi, dengan cepat membantah adanya “kesepakatan” terkait gencatan senjata yang diklaim Trump. Melalui platform X, Araghchi menegaskan bahwa “sampai saat ini, TIDAK ada ‘kesepakatan’ mengenai gencatan senjata atau penghentian operasi militer.” Namun, ia memberikan pernyataan bersyarat: jika Israel menghentikan “agresi ilegalnya” terhadap rakyat Iran paling lambat pukul 4 pagi waktu Teheran (7:30 WIB), maka Iran “tidak berniat melanjutkan respons setelah itu.” Ironisnya, operasi militer Iran berlanjut hingga menit terakhir sebelum batas waktu yang ditetapkannya sendiri. Sementara itu, militer Israel mengeluarkan seruan evakuasi bagi warga di Distrik 6 dan 7 Teheran, beberapa jam sebelum gencatan senjata sementara dijadwalkan berlaku, diikuti oleh laporan serangkaian ledakan dahsyat di ibu kota Iran tersebut.
Konteks “Perang 12 Hari” ini juga melibatkan serangan AS terhadap fasilitas nuklir Iran di Fordo, Natanz, dan Isfahan pada Minggu (22/06), menggunakan bom GBU-57A Massive Ordnance Penetrator
atau “penghancur bunker.” Trump menyebut serangan ini “sangat sukses” dan mengklaim bekerja sebagai “tim” dengan Netanyahu untuk menghilangkan “ancaman mengerikan bagi Israel.” Iran menanggapi dengan serangan rudal “simbolis” ke pangkalan udara AS terbesar di Timur Tengah, Al Udeid di Qatar, yang menurut Trump telah diberitahukan sebelumnya dan menghasilkan “respons yang sangat lemah.” Analis militer Marina Miron dari King’s College London menyoroti bahwa serangan Iran ini adalah upaya untuk “menyelamatkan muka” tanpa memprovokasi eskalasi lebih lanjut, menunjukkan adanya upaya de-eskalasi yang hati-hati di balik layar, meskipun retorika publik tetap keras. Ketegangan yang terus berlanjut di lapangan dan pernyataan kontradiktif dari para pihak menggarisbawahi kerapuhan situasi dan kerumitan dalam mencapai perdamaian sejati di kawasan tersebut.
Suara Beijing: Seruan untuk Resolusi Politik di Tengah Gejolak
Di tengah riuhnya klaim dan realitas di lapangan, China muncul dengan respons yang tegas dan konsisten, menyerukan de-eskalasi dan resolusi politik. Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Guo Jiakun, mendesak Iran dan Israel untuk “kembali ke jalur resolusi politik yang benar sesegera mungkin.” Pernyataan ini disampaikan pada Selasa (24/6/2025), beberapa jam setelah pengumuman Trump dan di tengah laporan berlanjutnya serangan.
Pernyataan Guo Jiakun menyoroti filosofi diplomatik China yang telah lama dipegang: “Fakta telah membuktikan bahwa cara militer tidak dapat membawa perdamaian dan dialog serta negosiasi adalah jalan yang tepat untuk menyelesaikan masalah.” Pendekatan ini mencerminkan pandangan Beijing bahwa konflik militer, terutama di kawasan sensitif seperti Timur Tengah, hanya akan memperparah situasi dan menghambat stabilitas jangka panjang. China, sebagai kekuatan global yang semakin berpengaruh dan memiliki kepentingan ekonomi serta strategis di Timur Tengah, secara konsisten menyerukan pengekangan diri dari semua pihak.
Lebih lanjut, Guo Jiakun menegaskan komitmen China untuk berkontribusi pada perdamaian dan stabilitas regional: “Pihak China bersedia bekerja sama dengan masyarakat internasional untuk berkontribusi dalam upaya menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan Timur Tengah.” Seruan ini tidak hanya bersifat retoris, melainkan juga menggarisbawahi peran yang ingin dimainkan China sebagai mediator dan penyeimbang. Berbeda dengan AS yang mengambil posisi lebih langsung dalam mendukung salah satu pihak dan melakukan tindakan militer, China cenderung memposisikan diri sebagai pihak yang netral namun konstruktif, mendorong dialog multilateral dan solusi yang berkelanjutan. Keterlibatan China dalam isu-isu global semakin menonjol, dan kemampuannya untuk berdialog dengan berbagai aktor, termasuk mereka yang memiliki hubungan tegang dengan Barat, memberikan Beijing posisi unik untuk memfasilitasi komunikasi dan mencari titik temu.
Dampak Global dan Regional: Dari Pasar Keuangan hingga Ketegangan Warga
Pengumuman gencatan senjata yang diklaim Trump, terlepas dari validitasnya di lapangan, segera memicu reaksi signifikan di pasar keuangan global, mencerminkan bagaimana ketegangan geopolitik secara langsung memengaruhi ekonomi. Harga emas, yang sering dianggap sebagai aset safe haven di masa ketidakpastian, langsung terjun bebas begitu berita gencatan senjata tersiar. Di sisi lain, kontrak berjangka S&P 500 naik, dan harga minyak mentah AS turun ke level terendah dalam lebih dari seminggu pada jam-jam awal perdagangan Asia, meredakan kekhawatiran akan gangguan pasokan di wilayah tersebut.
Di Indonesia, dampaknya terasa positif: Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar Rupiah menguat. Bursa Saham Asia secara keseluruhan juga kompak menguat, dengan Indeks KOSPI di Korea Selatan terbang tinggi 2,81%, SETI Thailand melesat 2,22%, NIKKEI 225 meninggi 1,28%, CSI 300 China menguat 1,13%, Shanghai China melejit 1,05%, dan TOPIX menghijau 0,81%. Reaksi pasar ini menunjukkan betapa besar harapan investor akan stabilisasi di Timur Tengah, yang merupakan jalur vital bagi perdagangan energi global.
Namun, di tingkat regional dan personal, situasi jauh dari kata tenang. Di Teheran, meskipun televisi pemerintah Iran mengonfirmasi adanya gencatan senjata dan ribuan warga mulai kembali ke rumah setelah ancaman serangan Trump, kehidupan tetap dipenuhi ketegangan dan ketidakpastian. Warga melaporkan internet mati selama tiga hari, ketakutan akan serangan, dan kerusakan besar di Teheran serta kota-kota lain akibat serangan Israel beberapa jam sebelum pengumuman gencatan senjata, yang bahkan menewaskan sembilan orang di provinsi Gilan. Keamanan di jalan-jalan diperketat dengan pos pemeriksaan dan polisi yang memeriksa kendaraan serta ponsel. Televisi pemerintah juga melaporkan puluhan penangkapan atas tuduhan spionase dan kolaborasi dengan Israel, menambah ketakutan warga akan potensi eksekusi tanpa pengadilan yang adil. Kekhawatiran akan pecahnya kembali perang, terutama dengan keterlibatan langsung Amerika Serikat, dan kemungkinan serangan terhadap fasilitas nuklir yang dapat memicu bencana seperti Chernobyl, masih menghantui pikiran warga Iran.
Sekretaris Jenderal PBB António Guterres juga telah memperingatkan akan “risiko yang semakin besar” bahwa konflik ini dapat dengan cepat menjadi tidak terkendali, dengan konsekuensi yang sangat buruk bagi warga sipil, kawasan, dan dunia. Dia menekankan bahwa “tidak ada solusi militer” dan “satu-satunya jalan ke depan adalah diplomasi. Satu-satunya harapan adalah perdamaian.” Ketegangan yang berlarut-larut juga mendorong negara-negara Asia Tenggara untuk bergegas mengevakuasi warganya dari wilayah konflik, menunjukkan betapa luasnya dampak dari ketidakstabilan di Timur Tengah.
Analisis Mendalam: Kompleksitas di Balik Narasi Gencatan Senjata
Klaim Donald Trump tentang gencatan senjata antara Israel dan Iran adalah narasi yang kompleks, terjalin antara manuver diplomatik, realitas militer yang kacau, dan kepentingan geopolitik yang mendalam. “Perang 12 Hari” yang dia sebutkan, meskipun singkat, sarat dengan eskalasi yang cepat, termasuk serangan terhadap fasilitas nuklir dan pangkalan militer, yang menunjukkan betapa dekatnya kawasan ini dengan konflik berskala penuh.
Salah satu elemen paling membingungkan adalah diskoneksi antara pengumuman Trump dan situasi di lapangan. Sementara Trump mengklaim kesepakatan total, Iran secara eksplisit membantah adanya “kesepakatan” dan terus melancarkan serangan sampai batas waktu yang mereka tetapkan sendiri. Israel, di sisi lain, juga mengeluarkan perintah evakuasi dan melanjutkan operasi militer. Ini menunjukkan beberapa kemungkinan:
- Kesalahpahaman atau Interpretasi Berbeda: Mungkin ada perbedaan signifikan dalam pemahaman “gencatan senjata” antara pihak-pihak yang terlibat, atau Trump mungkin telah mengumumkan terlalu cepat sebelum koordinasi sepenuhnya tercapai.
- Manufer Politik dan Penyelamatan Muka: Pengumuman Trump bisa jadi merupakan upaya untuk mengklaim kemenangan diplomatik dan meredakan ketegangan pasar, sementara Iran perlu menunjukkan kekuatan militer untuk “menyelamatkan muka” di hadapan publik domestiknya setelah serangan AS.
- Mediasi Rahasia yang Rentan: Proses mediasi melalui Qatar dan komunikasi tidak langsung dengan Iran mungkin sangat rapuh, di mana setiap pihak memiliki agenda dan kondisi yang berbeda.
- Tekanan Internal: Kedua belah pihak mungkin menghadapi tekanan internal untuk menunjukkan ketegasan, yang membuat komitmen gencatan senjata penuh menjadi sulit diimplementasikan secara instan.
Meskipun Trump mengklaim bahwa ia telah menghilangkan “ancaman eksistensial ganda” dari program nuklir dan rudal balistik Teheran, isu inti program nuklir Iran dan keamanan Israel tetap menjadi akar konflik yang belum terselesaikan. Iran bersikeras bahwa program nuklirnya adalah untuk tujuan damai dan kemampuannya untuk membela diri tidak dapat dinegosiasikan, sementara Israel memandangnya sebagai ancaman eksistensial dan telah menyatakan tidak akan berhenti menargetkan fasilitas nuklir Iran sampai dibongkar. Israel bahkan mengklaim telah memundurkan kemampuan nuklir Iran setidaknya selama dua tahun melalui serangannya.
Peran AS sebagai mediator dan juga aktor militer langsung dalam konflik ini sangat unik. Tindakan AS, seperti pengeboman fasilitas nuklir Iran, yang oleh beberapa anggota kongres AS disebut “pelanggaran berat” terhadap konstitusi, semakin memperumit situasi. Pada saat yang sama, AS berupaya menengahi gencatan senjata. Ini menunjukkan strategi “tongkat dan wortel” yang ekstrem, di mana tekanan militer dikombinasikan dengan upaya diplomatik.
Dalam konteks ini, respons China yang menyerukan resolusi politik dan dialog menjadi sangat penting. Beijing menawarkan alternatif narasi dan pendekatan yang berfokus pada diplomasi multi-pihak, bukan konfrontasi militer. China, yang memiliki hubungan ekonomi erat dengan Iran dan Arab Saudi, serta kepentingan dalam stabilitas regional, berpotensi menjadi fasilitator yang lebih diterima oleh semua pihak jika pendekatan unilateral AS terus memicu ketidakpastian. Seruan China juga menggemakan kekhawatiran PBB akan eskalasi yang tak terkendali, menekankan bahwa tidak ada solusi militer yang berkelanjutan untuk masalah ini. Kompleksitas ini menyiratkan bahwa gencatan senjata yang diklaim Trump mungkin hanyalah jeda sementara dalam konflik yang lebih besar, dan jalan menuju perdamaian sejati di Timur Tengah masih panjang dan berliku.
Kesimpulan: Menuju Stabilitas yang Rapuh di Timur Tengah
Pengumuman gencatan senjata antara Israel dan Iran oleh Presiden Donald Trump adalah peristiwa yang penuh paradoks. Di satu sisi, ia memicu kelegaan di pasar keuangan global dan harapan akan de-eskalasi di Timur Tengah. Di sisi lain, realitas di lapangan yang menunjukkan berlanjutnya serangan dan bantahan dari pihak Iran menggarisbawahi bahwa klaim tersebut lebih merupakan aspirasi daripada kenyataan yang sepenuhnya kokoh. “Perang 12 Hari” ini telah menunjukkan betapa rapuhnya keseimbangan di kawasan tersebut, di mana setiap tindakan militer dapat dengan cepat memicu eskalasi yang tak terkendali.
Dalam lanskap geopolitik yang bergejolak ini, respons China yang lugas dan konsisten menyoroti urgensi untuk kembali ke jalur diplomasi dan negosiasi. Posisi Beijing yang menekankan bahwa “cara militer tidak dapat membawa perdamaian” adalah seruan yang beresonansi dengan banyak pihak yang mendambakan stabilitas. China, dengan posisinya sebagai kekuatan besar yang menolak intervensi militer langsung, menawarkan perspektif alternatif yang dapat menjadi jembatan bagi dialog di masa depan.
Meskipun gencatan senjata yang diumumkan Trump masih diselimuti ketidakpastian dan ketegangan di lapangan, reaksi pasar yang positif mengisyaratkan optimisme global terhadap prospek perdamaian. Namun, pengalaman pahit warga sipil dan pernyataan kontradiktif dari para aktor utama menunjukkan bahwa jalan menuju stabilitas yang langgeng masih panjang. Ke depan, perhatian harus tetap terfokus pada upaya diplomatik sejati, bukan hanya klaim, untuk memastikan bahwa Timur Tengah dapat melangkah maju dari lingkaran kekerasan menuju resolusi politik yang berkelanjutan. Peran kekuatan global seperti China, yang mendorong dialog dan resolusi damai, akan menjadi semakin krusial dalam menavigasi kompleksitas konflik ini.